Di beberapa kasus, dalam sebuah diskusi atau obrolan warung kopi, ada orang-orang yang sebetulnya bisa memberikan komentar atau pendapat. Tapi ia memilih diam. Bukan karena ia ingin hindari perdebatan. Hanya saja lidahnya keluh. Benar-benar tak sepatah katapun yang bisa ia ungkap. Sesudah ada orang lain yang memaparkan pendapat yang sama seperti yang ia pikirkan, orang itu akan bilang: "Ahaa, nah itu yang mau Aku omongin tadi".
Pernah? Saya pernah. Barangkali anda juga pernah. Bolehlah beberapa kali kita memaklumi kealpaan pengetahuan kita dalam bidang-bidang tertentu. Tapi apakah anda akan tetap berdiam diri saat itu berbicara tentang dunia yang anda geluti atau sukai? Tentu tidak, kan?
Ada kalanya orang ingin mendengar komentar, pengalaman, atau hasil analisis yang sudah kita gali. Atau bahkan, justru ada saatnya orang lain wajib mendengar itu langsung dari kita, meski mereka tak meminta.
Ada seorang kawan pernah mengomentari ihwal buku yang sedang saya baca. Menurutnya, buku yang saya baca isinya biasa-biasa saja, tak ada informasi baru, tidak ada keanggunan sastra, dan terlalu menye-menye. Saya terima komentar itu dengan santai dan tertawa tipis.
Orang seperti ini biasa disebut kaum "book-snob". Mereka suka sekali memandang minor judul dan genre buku yang orang lain baca. Ia mengukur kualitas buku dari seleranya sendiri.
Tulisan ini untuk membalas itu. Bagi saya, membaca bukan sekedar untuk menambah informasi baru. Tapi untuk menjelaskannya kepada orang lain.
Tak banyak pembaca buku yang pandai menjelaskan isi buku yang ia baca kepada orang lain dengan baik. Ada pembaca buku-buku berat tapi sesudah membaca, ia seperti orang bodoh yang terjebak dalam imajinasinya sendiri. Ia beronani dengan pikiran-pikirannya sendiri. Tanpa bisa mengkomunikasikannya kepada orang lain. Ia tidak bicara di forum diskusi, ia tidak menulis, dan penyendiri. Retorika atau kemampuan bicaranya mangkak.
Pembaca buku yang gagal adalah pembaca yang masih gagap dalam bicara, menulis, dan bersosial. Untuk apa membaca buku-buku berat, hanya untuk disebut keren? Bukankah kita membaca untuk mencerahkan orang lain?
Untuk itu, membaca buku itu mesti punya misi. Pertama untuk screening informasi baru, kedua untuk menangkap makna. Menjadi paham. Agar suatu waktu diminta untuk menjelaskan tema yang sama, kita sudah terbiasa layaknya para ekspert (ahli).
Membaca itu untuk memperbaiki retorika. Sebab, dalam buku, struktur bahasa tersusun rapi dibanding saat mendengarkan orang bicara. Paduan kata-katanya logis, dan yang terpenting, kita terbantu untuk menyusun kerangka berfikir yang sistematis.
Jadi membacalah! Jangan takut penilaian orang lain perihal buku yang kita baca. Barangkali dengan buku-buku sederhana dan ringan itu, kita terbantu untuk menyusun kata-kata dalam pikiran kita. Menjadi tabungan verbal. Hingga jika kelak diminta untuk bicara, kita bisa menjelaskannya dengan rapih.
Membacalah untuk berbagi. Mudahkan cara memberi. Bangun kontruksi kata-kata yang mudah diterima. Cerahkan pendengar dan pembaca anda.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H