Mohon tunggu...
Ahmad Risani
Ahmad Risani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membuat PR Anak Sekolahan Jadi Lebih Berfaedah

5 Agustus 2018   19:47 Diperbarui: 29 September 2018   10:41 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi: Foto Anak Sekolahan, Adek Gue Sendiri Muhammad Zaire

Setelah sering bikin kesel dedek-dedek siswa se-Indonesia raya, akhirnya pemerintah (eh jangan sebut pemerintah dink ntar ada yang ngamuk), mendikbud maksud saya, mewacanakan untuk menghapus PR.

Sebuah upaya epic comeback yang baik, lantaran sebelumnya mendikbud banyak di kritik. Mulai dari urusan UNBK, dimana mendikbud kita, di bully abis-abisan berkat soal UN yang dinilai tak masuk akal dan mengada-ada.

Masih ingatkan, bagaimana siswa-siswi cuit-cuitan protes soal UNBK? Barangkali ini akan menjadi salah satu catatan lucu dunia pendidikan kita.

"Harga siomay di masa yang akan datang log10 x 5log125, kembalinya 3log27 + 2log4. Emang kalo mo beli siomay pake logaritma?" Curhat siswa seusai UNBK.

"Pak, ngocok dadu sampe 600 kali. Itu tangan apa blender?" Cuit siswa lainnya.

"Baru kali ini ngerjain soal kayak ngerjain teka-teki cak lontong. Serba salah".

Dan masih banyak kegokilan lainnya.

Usai UNBK, beberapa waktu lalu kita juga di sibukkan dengan kebijakan zonasi PPDB. Kebijakan ini banyak juga sih diprotes oleh sekolah yang ngerasa mereka unggulan. Juga para emak-emak yang gengsi anaknya sekolah di sekolahan dekat rumah tak berkualitas.

Kebijakan zonasi ini juga menyeret para wali murid untuk membikin SKTM (surat keterangan tidak mampu). Se-Indonesia mendadak jadi miskin, biar keterima di sekolah favorit terdekat dari rumah.

Dan.. sekarang, PR akan di lenyapkan dari muka bumi Indonesia. Yakinlah, setidaknya wacana ini akan sedikit membuat kita semua tertawa girang bahagia. Merayakan kebebasan sepulang sekolah yang menjemukan.

Dulu, saat jaman sekolahan, saya pikir sekolah tanpa PR itu mustahil. Tapi ternyata itu biasa dan lumrah-lumrah aja. Sekolah-sekolah berbasis fullday sudah lama hapuskan PR. Bahkan siswa-siswanyapun anti-PR.

Dulu, saat saya masih ngajar di fullday school (dan entah kenapa saya kok bisa pernah jadi guru ), saya sempat salah bicara untuk menyebut nama tugas tambahan tersebut. Niat saya hanya untuk memberi tugas baca buku. Tidak harus buku sekolah. Buku-buku motivasi, sastra, atau yang menurut mereka menarik. Biasanya saya akan menanyakan ke siswa perihal isi buku yang ia baca seminggu sekali. Menceritakannya di depan kelas. Itu untuk intermeso. Ini salah satu bentuk PR yang biasa saya minta ke siswa.

Tapi karena saya menyebut tugas itu dengan sebutan PR. Sekelas mendadak gaduh. Dan "huuuuuuuuh..." Saya dihakimi massa abis-abisan. Sejak saat itu saya trauma. Hehehe.

Sekolah fullday mungkin cocok sih untuk tak ber-PR. Tapi bisa jadi sekolah halfday yang umum mungkin tetap perlu. Barangkali dengan porsi yang lebih ringan dan kontekstual.

Maksudnya? Yah kebanyakan guru ngasih PR yang tak berfaedah. Cuma nyuruh nyatet yang disalin dari buku ajar. Atau ngejawab soal-soal yang harusnya bisa dikerjakan di jam pelajaran.  Yah, cuma ini-ini aja PR yang biasa kita temukan. Kalau gak nyatet, yah jawab soal.

Padahal, PR yang baik harusnya membuat siswa mencari dan menemukan sesuatu yang tak bisa ia temukan di sekolah. Ia berpertualang untuk menyelesaikan PR-nya. Sebuah PR yang membuat ia keluar dari rumah. PR yang menghidupkan imajinasi mereka. PR yang bikin berkeringat. Dan PR yang membuat mereka mengerti: mengapa PR ini harus saya kerjakan di luar jam sekolah?.

Menyuruh mereka belajar gitar dan piano, bermain bola di lapangan komplek, menulis diary di buku harian, atau sekedar hunting foto terus upload di IG dengan caption yang seru, itu lebih baik untuk pertumbuhan kreatifitas mereka.

Yah, tentunya disesuaikan dengan konteks mata pelajarannya. Masa' iya cuma nyatet dan jawabin soal donk. Gak asyik banget sekolah begitu. Wajar saja kalau lulus sekolah udah kayak kelar masa kurungan dan merayakannya dengan corat coret baju. Lha, wong mereka merasa di lapas geh selama ini.

Ayolah, anak-anak butuh itu, bapak ibu guru. Jangan jadikan sekolah dan rumah seperti penjara. Dimana-mana PR, tugas, bla bla bla.

Selebihnya, maafkan ocehan dari anak nakal dan bandel ini. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun