Sesuai judulnya, "membela keterpurukan", yah begitu. Artinya keterpurukan SFC memang harus ada. Itu perlu. Bahkan mesti ada sedari dulu.
Mengapa begitu? Begini, ibarat sebuah bom, SFC ini sejak dulu menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Tak terduga. Duarr!
Pertama, faktor internal manajemen. Kita semua paham, meskipun kita cuma duduk nonton bola, kita tahu ini unsur politisnya kuat. Bauknya menyengat. Tapi kita maklum. Gak apa-apa.
Mengapa maklum? Karena korporat hanya akan bantu investasi dengan perjanjian politis, bukan bisnis. Itulah kenapa sebagian besar klub sepakbola Indonesia "dibina" oleh pejabat daerah. Ada dan tak ada klub bola, korporat akan anggap bisnis mereka tetap akan jalan. Makanya perlu pejabat untuk amankan bisnis, bukan butuh klub. Mereka tak butuh SFC, mereka butuh Alex.
Oke, itu kita kritik manajemen.
Kedua, faktor eksternal. Yaitu, iklim investasi bisnis yang lemah di bidang sepak bola.
Inilah yang paling andil bikin SFC jadi tim pesakitan. Bukan cuman SFC, juga segenap klub-klub di Liga 1 yang terkendala investasi dan finansial. Jadi tak sepenuhnya ini salah presiden klub atau PT SOM yang membawahi SFC. (Yeah terpaksa gue belain deh) .
Tau siapa yang salah? Sistem. Sistem kompetisi Liga 1 inilah yang memaksa beberapa manajamen klub akhirnya gigit jari.
Adanya kabar pemain telat dibayar, itu potret magkraknya sistem investasi di bidang sepak bola. Kenapa begitu? Apakah format kompetisi yang makan biaya besar? Atau sponsor Liga yang monopolis? Atau masyarakat ogah bayar tiket? Atau malah klub bola cuma buat "memenuhi kewajian biaya pengabdian" perusahaan besar? Daripada korporat bayar ke calo, mending investasi buat bola. Terpaksa.
Itu semua tanda tanya. Dan masalah SFC ini, sejatinya masalah seluruh klub bola di Indonesia. Tak ada korporat yang benar-benar ikhlas investasi untuk klub dan Liga.
Nah, SFC dan manajemen hanyalah korban sistem. Tugas siapa cari solusi? Itu tugas PSSI. Masa tugas gue. Gue kan cuman penonton bola. Kalau nyuruh gue kasih solusi yah itu cara gue warga biasa ini memberikan solusi. Atau kalau gak ya kasih gue kesempatan urus klub bola aja, atau pengurus PSSI. Situ malah nanti bilang bisa apa lu?. Kan serba salah. Wkwkwk.
Nah, jadi solusi SFC ini yang paling jangka pendek adalah cari investor yg kuat. Yang ikhlas untuk bangun sumsel. Bukan yang cuma menggugurkan kewajiban dan kongkalikong dengan pejabat. Untuk semua sektor bukan cuma urusan bola. Dan juga bukan korporat yang cuma mau investasi kalau gubernur jagoannya di pilkada menang. Kan ini sama saja gak selesai. Pilkada berikutnya ganti gubernur ganti manajemen ujung-ujungnya. Ngambek gak kepilih lagi, SFC jadi korban.
Solusi jangka panjangya? PSSI mesti benahi sistem, agar investor tak sungkan kasih saham untuk klub bola di Indonesia. Baik itu sistem kompetisi, sistem pembiayaan, dan sistem pembinaan.
Gak bisa? Ya udah sini gue aja jadi ketua umum PSSI.
**
Saya sekedar muncul sebagai warga biasa, wong kito yang katonyo sedulur galo. SFC itu tak bisa lepas dari peran fans, supporter, dan animo masyarakat. Anggaplah yang protes ke SFC itu, walopun bukan orang manajemen atau pengurus merchandise, setidaknya bagian dari warga pecinta SFC. Jadi punyo hak buat bicara.
Padahal, dua minggu lalu, kami masih yakin SFC bisa jadi kampiun. Sesuai jargon kito, #KitoPacak. Tapi, kabar bedebis pemain banyak dilepas, gaji tetunggak, dan adanya tendensi politis di tubuh manajemen, telah melululantahkan harapan fans.
Fans murka. Venue Asian Games jadi korban. Ini salah. Tapi kesalahan manajemen dan PSSI yang telah menahun dan mengakar tak bisa impas hanya karena fans ngamuk.
Sekarang, cukup berharap SFC idak terdegradasi bae lah jadilah. Tausah nak lebih.
Oke, begitulah. Salam ta'zim kepada mafia bola sekalian.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H