Oleh: A. Rifai
Maju, dalam KBBI didefinisikan berjalan (bergerak) ke muka, atau tampil ke muka; menjadi lebih baik, atau berkembang. Berkemajuan---masih menilik KBBI---bermakna memiliki kemajuan (hal ihwal maju). Maju di era kekinian ditautkan maknanya dengan kata modern, senada dengan moto pondok---Pondok Pesantren Modern Daarul Arqom. Secara substansial Gerakan Nabi Muhammad mengandung nilai-nilai kemajuan. Ia, memberantas sikap-sikap jahil (bodoh) yang menghambat kemajuan. Tentu, yang paling jamak diketahui: penghambaan kepada arca-arca yang mereka ciptakan sendiri. Perilaku menyimpang itu yang mendorong Muhammad melakukan refleksi mendalam di gua hira sampai pada taraf diwahyukan sebuah ajaran agama baru dengan misi dan cita yang kemudian akan mengubah tatanan sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan.
Pindah ke masa awal perintisan Muhammadiyah. Sejak awal Gerakan Muhammadiyah mengusung 'tema' kemajuan. Ahmad Darwis---begitu sapaan beliau sebelum diubah oleh gurunya Sayyid Abu Bakar Syata pengarang Ianat al-Thalibin saat ia belajar di Mekah---murni tamatan Pendidikan pesantren. Ia mulazamah ke beberapa kyai besar di jawa, sebelum kemudian melanjutkan Pendidikan lanjutannya di Mekah. Pikiran-pikiran reformisnya dipengaruhi oleh Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, ia juga dipengaruhi oleh gagasan islam "rasional" Rasyid Ridha. Barangkali interaksi dengan wacana kemodernan yang membuatnya lain cita dengan 'saudaranya', Hasyim Asyari.
Seorang Muslim---sebelum Mbah Dahlan---membaca al-maun. Dari era sahabat hingga masanya, semua tau surah al-Maun. Namun, hanya Dahlan yang mulai berangkat dari aksioma al-Maun yang ia manifestasikan pada Gerakan sosial: Pendidikan, Kesehatan, dan Keantisipasibencanaan. Suatu giat yang belum pernah dipikirkan oleh 'pembaca' al-Maun sebelumnya. Menariknya, ia "hanya" membaca tafsir. Ahmad Toha Faz---penemu matermatika detik asal Tegal---sering mengulang-ulang: aksioma tidak perlu dibuktikan, justru ia harus digunakan untuk membuktikan. Iman, adalah aksioma. Alquran, adalah aksioma, pasti benar. Tapi, apakah ia hanya berhenti pada doktrin? Dahlan membuktikan aksioma itu benar, tidak hanya sebagai teks, tetapi bahkan saat ia mewujud dalam konteks. Ia bermanfaat, menebar Rahmat kepada umat bukan sebagai doktrin ideologi 'saja' tetapi mewujud dalam amal usaha. Alquran berkali-kali mengatakan: "amanu wa amilu al-salihat", iman menuntut amal saleh.
Peradaban 'Iqro'
Wahyu pertama yang diterima Muhammad di dalam gua hira selama masa refleksi mendalamnya tak menyuruhnya melakukan ibadah formal: salat, zakat, sedekah, haji. Ayat pertama yang ia terima dengan susah payah karena pertemuannya dengan Jibril asing baginya. Tak pernah ia mendapati suatu entitas selain manusia. Ia ketakutan, ia menggigil. "Bacalah!" kat Jibril. Ia mengulangnya tiga kali. "Aku tiada bisa membaca," kata Muhammad berkali-kali menegaskan. "Bacalah, dengan nama Tuhamu!" perlahan-lahan ia bisa membaca karena dipaksa untuk membaca.
Kata perintah pada umumnya mengenai objek yang disasar. Muhammad membaca kitab. Kata "kitab" menjadi objek bagi pekerjaan membaca Muhammad. Menariknya pada kalimat Iqro' bismirabbikallazi khalaq, tiada ada objek; menunjukkan keumuman apa yang dibaca. Tidak hanya membaca ayat suci secara verbal, kata Pak Haidar, namun lebih kepada melakukan taaqul, tadabur, tanadzor, dengan kajian yang luas. Mereka yang membaca jiwa, melahirkan psikologi. Mereka yang membaca relasi kuasa, melahirkan politik. Mereka yang membaca relasi non-kuasa, melahirkan sosiologi, dan mereka yang membaca awal penciptaan alam semesta hingga ajalnya, melahirkan kosmologi, dsb. Jadi, inheren di dalam ajaran islam perintah untuk umatnya menjadi umat yang berkemajuan.
Apa yang membedakan membacanya mukmin dengan membacanya tidak mukmin. Iqro seorang mukmin karena dengan dan atas nama Tuhan, beruansa tauhidi. Iqro tauhidi. Ia tidak lepas dari nilai-nilai ketuhanan. Tidak hanya tauhidi, aktifitas membaca seorang mukmin juga bercorak profetik, yang selalu terikat dengan nilai-nilai yang dissebarkan oleh Nabi Muhammad.
Di dalam Alquran begitu banyak ayat yang mengulas soal alam semesta: al-nahl (lebah), al-naml (semut), al-ankabut (laba-laba), bahr (laut), al-hadid (tambang). Sedangkan, ayat-ayat hukum prosentasenya hanya 5,8 persen. Lebih sedikit daripada ayat-ayat yang bercorak sains dan humaniora. Pak Haidar mendorong kita untuk mengkaji secara serius ayat-ayat semesta---dalam bahasanya Prof. Agus Purwanto---agar umat islam menjadi umat yang mampu memimpin peradaban manusia. Awal mula pembacan sekuleris, saat manusia melepaskan 'iqro' dengan bismirabbika. Hasil bacaan tidak bernuansa tauhidi (transenden) atau profetik, justru bernuansa profan dan sekuler. Barangkali itulah yang terjadi di Barat hari ini.
Madinah al-Munawaroh merupakan peradaban. Ia tidak hanya kota yang dihuni oleh sebagian besar kaum muslim. Nabi tidak begitu banyak mewariskan bangunan mewah. Satu-satunya warisan mulia yang ditinggalkan Nabi kepada saabatnya adalah nalar berpikir, ilmu. Peradaban, atau dalam Bahasa melayu disebut Tamadun, didasari dengan kata 'dien' atau agama. Prof. Alatas---dalam Islam dan Sekulerisme---menjelaskan 'dien' bisa bermakna agama dengan seluruh komponen pembentuknya---akidah, syariah, dan akhlak, dan 'dien' katanya, merujuk ke Ibnu Mandzur, bermakna utang. Ya, utang manusia di muka bumi ini kepada Tuhan adalah beribadah. Dalam konteks peradaban, manusia diamanahi untuk menglola bumi, sebagai khalifah fil-ardhi. Mereka ditugaskan untuk memakmurkan bumi dengan Amanah, dengan berlandaskan akhlakul karimah.
Selain pembacaan sekuler, anti tuhan. Dan pembacaan tauhidi, yang menautkan Tuhan dalam aktifitas pembacaan. Ada pula kecenderungan umat islam yang pembacaan serba Tuhan. Pembacaan jenis ketiga ini anti kemajuan. Singkat kata, ia anti sains! Ia tidak mendorong lahirnya kerja-kerja ilmiah di segala bidang. Dalam konteks percakapan para ahli 'konspirasi' mereka selalu mengaitkan setiap fenomena besar di dunia dengan konspirasi elit global. Ada pula yang berkecenderungan sufistik radikal. Ia enggan melakukan Upaya-upaya kongret, sebab kata mereka, segala yang terjadi adalah atas kehendak Tuhan. Cara berpikir inilah yang kemudian dikenal dengan jumud atau statis.
Signifikansi 'Talabul Ilmi' bagi Guru
Teknologi telah berkembang pesat. Teknologi adalah anak kandung dari sains, sedangkan sains adalah anak kandung dari filsafat. Jadi, kita bisa menyebut teknologi adalah cucu kandung dari filsafat yang telah dirintas sejak era filosof alam Yunani, Tales. Abad pencerahan dimulai ketika lahirnya Rene Decartes kemudian disusul David Hume, Francis Bacon, dan beberapa saintis seperti Galileo.
Informasi tersebar dengan cepat. Dulu tidak pernah dibayangkan akan terjadi peluberan informasi. Orang bisa merasa ahli teori sosial hanya dengan membaca satu dua jurnal di google. Bagi mereka yang mampu memanfaat teknologi dengan maksimal, mudah baginya mendapatkan maklumat.
Guru, kata Pak Haidar, akan tertinggal oleh murid dalam aspek penguasaan wawasan dan definisi. Itu kalau kita andaikan mereka mampu memanfaatkan teknologi. Namun, apa yang tidak dimiliki siswa daripada guru? Ya, tentu, kepekaan metodologis. Guru yang mengusai metodologi ilmu, akan dengan cerdas memain-mainkan data, dan wawasan. Di sinilah pentingnya guru: mengantarkan murid kepada ilmu dan pemahaman. Mereka---murid---mungkin tau hukum wudhu dari internet, tetapi mereka tak akan tau---jika tak belajar kepada guru---seluk -beluk: mengapa hukumnya itu, mengapa tidak yang lain? Bagaimana proses penyimpulannya? Dsb. Maka dari itu, talabul ilmi menjadi aktifitas yang tidak terpisahkan dari sosok guru. Tidak hanya menambah wawasan, namun melatih kepekaan metodologi dengan membaca dasar-dasar ilmu pengetahuan, metodologinya, filsafatnya, dll.
Guru, pesan Ketum, perlu meluaskan bacaan. "Jangan takut membaca! Bahkan buku merah sekalipun." Dengan bacaan yang multidisiplin, guru serta siswa diharapkan mampu melihat berbagai persoalan secara multiperspektif.Â
Kalimatu Tafdhil (kalimat superlative)
"Tiada mungkin sekelompok kecil menakhlukan kelompok besar bilamana Allah memberi izin." Terjemah ayat itu disitir oleh Pak Haidar. Itu kalimat tafdil (kalimat utama) atau kalimat superlative. Kalimat itu semacam aforisma, atau pesan pendek yang padat isi. Kalimat pendek itu merupakan keyword (kata kunci) kemajuan sebuah bangsa atau umat.
Islam menempati peringkat pertama agama di Indonesia yang paling banyak di anut oleh penduduknya. Tetapi, kita yang memiliki pedoman Alquran, kita tahu kata kunci kemenangan ada semua di dalamnya, namun kalah dengan kelompok kecil sebagaimana yang terrtera rapih di dalam Alquran. Kata Nabi, "Umatku kelak di jaman akhir berjumlah banyak, namun bak buih---hadir dan adanya tak memberi pengaruh kemajuan." Ini risalah akhir zaman dari Nabi.
Kelompok Tolut yang kecil namun militant dan berkualitas dapat menguasai kelompok Jalut yang mayoritas. Pertama, karena mereka berkualitas. Kedua, karena Allah mengizinkan.
Kemenangan Tolut membawa keberkahan sebab mereka diizinkan Allah. Maka apa yang bisa dilakukan oleh kaum muslim? Pesan Ketua PP Muhammadiyah tersebut: ikutilah etos dan mentalitas kelompok kecil tersebut! Bahkan, kalau mampu, etos dan mentalitas kita harus berada di atas mereka.
Sekilas Epistemologi Islam
Dalam studi filsafat kita mengenal pembabakan bahasan dalam tiga cabang kajian: 1.) ontology, membahas segala hal yang ada, hingga ke akar-akarnya, dan kea rah mana akar itu merambat, serta tahu peta akar itu akan berkembang. 2.) epistmologi, mengulas bagaimana manusia bisa mengetahui yang ada, apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk tahu yang ada. 3.) aksiologi, ia membahas segala hal yang baik dan buruk, indah tidak indah, benar dan salah; biasanya, orang-orang mempertanyakan di dalam ruang kajian aksiologi: bagaimana cara hidup yang baik.
Buya Haidar menegaskan ada tiga nalar dalam islam. Di barat, hanya menerima dua saja sumber ilmu pengetahuan: akal dan Indera. Wahyu, tidak termasuk. Islam mengenalkan epistemology yang beda dengan yang dikenal di Barat. Ilmuan muslim sejak Al-Farabi hingga Seyyed Hosein Nasr, tentu tak pernah lepas dari nalar tersebut. Pertama, Bayani (teks wahyu), Burhani (rasio), Irfani (rasa). Ketiga nalar berpikir muslim inilah yang hari ini perlu kita gaungkan Kembali untuk didalami di sekolah-sekolah, khususnya di Muhamadiyah. Burhani, biasanya kita mendapati percakapan tersebut di dalam kajian ilmu-ilmu rasional: matematika, logika, sains. Bayani, kita secara tidak sadar, telah mendalaminya di dalam kajian-kajian ilmu islam: tafsir, hadits, ilmu hadits, dll---walau dalam perumusan ilmu keislaman tersebut tidak lepas dari logika tradisional Aristotelian. Adapun yang terakhir, Irfani, terdapat di dalam ruang lingkup akhlak, tasawuf, seni, dan sastra.
Mengapa harus harus memadukan ketiga epistem tersebut? Kita tahu, barat yang digdaya dengan peradaban "fisiknya" tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan moral dam kesehatan mental. Burhan (rasional-empirik) lebih dominan menjadi mode berpikir mereka. Timur, yang diwakili oleh negara-negara islam, yang cenderung dominan pada bayani dan irfani, tak kunjung lepas dari perselisihan antar mazhab fikih dan tasauf. Pendidikan islam yang memadukan ketiga nalar berpikir tersebut, khususnya sekolah-sekolah Muhamadiyah, dapat menjadi pelopor bangkitnya peradaban islam yang tidak hanya kuasa dalam menalar secara rasional dan empirik, namun juga tak lepas dari wahyu serta rahsa yang kaitannya dengan hubungan inter-sebjektif antar sesama manusia. Rahmatan lilalamin, begitu peradaban islam seharusnya: maju secara material, pun jua mapan secara spiritual dan seni.
Wallahualam bishawab...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H