Abbasiyah yang memiliki perpustakaan yang yang kita kenal dengan Bait Al-Hikmah sekaligus observatorium menjadi sentral pengembangan ilmu pengetahuan. Berkumpulnya para jntelektual yang mencintai ilmu dan kebijaksanaan (wisdom) mampu menelurkan ratuusan judul buku membuat peradaban abbasiyah menjadi semacam kota metropolitan dizaman itu. Bagaimana ilmu tidak berkembang sedangkan para ilmuan dan ulamanya diberikan fasilitas yang memadai untuk kemudian fokus menulis, meneliti, dan melakukan inovasi dengan sebuah pembiayaan yang fantastis. Data menarik yang ditulis sejarawan muslim mengatakan: “penerjemah yang sanggup menerjemahkan dengan berat buku satu kilo akan diberi imbalan sebesar berat buku tersebut. Memang terkesan positivis—mengukur dengan nominal—tapi begitulah cara pemimpin dahulu menghormati ilmu; alhasil islam memiliki izzah (kewibawah) dimata bangsa lain; al-islamu ya’lu wala yu’la alaihi: “islam tinggi dan tiada yang lebih tinggi”.
“Superioritas” islam sebagai sebuah peradaban yang maju dan beradab ditandai dengan “pluralitas” yang dijaga dengan standar toleransi yang sangat tinggi.. Peradaban barat yang belum terlalu dipertimbangkan sebagai sebuah kekuatan besar pada saat itu menjadi murid umat islam di andalusia, tercatat mereka yang berguru kepada ilmuan di Andalus tidak hanya umat muslim saja. Kesadaran atas pluralitas manusia islam membuka siapapun dari manapun dan beragama apapun untuk belajar sampai menjadi seorang expert dibidangnya.
Ibnu Rusyd, Ibn Sina, Al-Kindi dan yang lainnya adalah diantara ilmuan yang karyanya hingga saat ini masih dipellajari oleh dunia barat. Bahkan lebih dari dua abad kitab al-qanun fi al-tibb karangan Ibn Sina yang mengulas ilmu kedoteran masih terus dikaji bahkan sampai hari ini.. Karya Ibn Khaldun yang berjudul mukaddimah yang mengulas filsafat sejarah, sosiologi, ekonomi, dll sampai saat ini juga masih dikaji secara massif dibarat. Bahkan seorang founder FB menggunakan karya ilmuan asal yaman tersebut untuk membangun teori sosial baru untuk membaca realitas sosial kontemporer.
Ini berarti karya otentiknya ibn khaldun sangat penting sekali dalam khazanah pemikiran barat! Melihat betapa besar kontribusi yang dihasilkan, sayangnya dikalangan umat islam sendiri kitab ini tidak begitu diminati, pamornya kalah dengan turots-turots fikih. Padahal banyak sekali sarjana-sarjana muslim yang menelurkan karya dibidang ilmu alam dan sosial. Inii sebuah kesedihan sekaligus tamparan keras bagi kita! Begitu banyak karya ilmuan muslim yang tidak mendapat perhatian itu artinya kita meninggalkan banyak sekali khazanah keilmuan.
Kesimpulan dari premis diatas adalah kejayaan umat islam—dalam arti luas—bisa diukur dengan parameter kecintaan terhadap ilmu. Umat ‘iqro’ adalah sebutan yang layak disandang kaum muslimin bukan imma’ah (pengekor) untuk kaum muslimin sebagaimana sabda nabi:” Bersemangatlah dalam mencari segala hal yang mendatangkan manfaat”! Dalam konteks ini adalah mencintai ilmu dan pengetahuan.
Berharap sejarah yang agung itu menjadi semacam panduan dan kurikulum belajar untuk kembali membangunkan umat yang telah lama tertidur. Eksploitasi sejarah islam jangan berhenti menjadi semacam romantisme sejarah yang pad akhirnya tidak akan menghasilkan apa-apa.
Wallahualam
Sumber:
Raghib Al-Sirjani: Sumbangan Peradaban Islam Untuk Dunia
Fuad Basya: Sumbangan Keilmuan Islam Untuk Dunia
Kuntowijoyo: Paradigma Islam
Artikel republika: Zuckerberg terinspirasi buku The Mukaddimah; 9 juni 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H