Mohon tunggu...
Ahmad Rifai
Ahmad Rifai Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pembelajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Santri, Pesantren, dan Literasi

28 Juli 2024   12:50 Diperbarui: 28 Juli 2024   12:56 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tradisi menghafal yang menjadi ciri khas keilmuan islam adalah sebuah prestasi besar. Peradaban manapun yang sekarang bersanding dengan kaum muslimin pasti mengetahui bagaimana jerih payah sebagian umat islam yang menghafal al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan menghafal, keduanya terjaga karena dulu belum ada produksi kertas dan pena baru setelah Al-Qur’an dan Hadits dikodifikasi atas motivasi menjaga agar sumber kebenaran muslim tidak musnah. 

Syahidnya para qurro’ pada perang uhud adalah fase awal catatan al-Qu’an dikumpulkan. Walaupun sudah tersedia dimushaf tradisi menghafal masih terjaga hingga saat ini bahkan bisa dipastikan akan bertahan hingga Allah yang mencabutnya dari muka bumi menjelang kiamat. Alasannya sederhana, dalam agama Allah berikan keutamaan bagi penghafal al-Qur’an sehingga janji Allah untuk menjaga al-Qur’an terwujud salah satunya dengan lahirnya para penghafal.

Tidak sedikit kalangan sekularis yang antipati dengan satu tradisi intelektual islam ini. Lontaran kalimat yang keluar seringkali memojokkan dengan istilah: Tekstualis, males mikir, dll. Memang secara kasap mata huffadz al-qur’an hanya menghafal saja. Namun jangan dilupakan disamping menghafal ternyata variabel dalam mempelajari al-Qur’an dan al-Sunnah juga tergolong tidak mudah. Banyak disiplin ilmu yang harus dikuasai untuk bisa mengkaji dan mentadabburi al-Qur’an, semisal: Ilmu Tafsir, Ulumul Qur’an, Nasikh Mansukh, dll.

Kalau barat sekuler mengatakan tradisi intelektual harus rasional-empiris baru bisa dikatakan ilmiah. Bagi umat islam memiliki satu metodologi khusus yang menjadi tipologi bagi peradaban islam. Ternyata empiris-rasional tidak dihilangkan walaupun basis tradisi intelektual kita adalah believe (iman). 

Para intelektual muslim dimasa keemasan islam memulai tradisi ilmiahnya justeru dari believe (keyakinan). Banyak disiplin ilmu yang dilahirkan oleh mereka: Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah (Linguistik Arab), Ushul Fikih (Filsafat Hukum Islam), Ulumul Qur’an (Sains Al-Qur’an), Theology (Kalam), Natural Sains, Astronomi, Fisika, dll, yang justru dilahirkan dari basis believe/keimanan yang kuat pada wahyu Allah.

Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang kita yakini sebagai wahyu dari Allah, sebagaimana yang Dia firmankan: “Tidak ada keraguan didalamnya”. Menjadi satu legitimasi agar kita sebagai hambanya yang dianugerahi akal berusaha keras menggali sepenuh jiwa berbagai hikmah yang terkandung didalamnya. Apa yang tidak dibahas didalam al-Qur’an dan al-Hadits? Hampir seluruh aspek kehidupan dari yang paling kecil semisal masuk kamar mandi hingga urusan besar semisal pengaturan negara tidak ditinggalkan.

Persoalan yang sekarang terjadi adalah sebuah kemunduran kaum muslim yang tidak terlalu memperhatikan, atau lebih tepatnya tidak kembali menelusuri metode kejayaan umat terdahulu yang menggunakan wahyu sebagai basis teori/aksioma untuk mengembangkan sebuah teori. Menurut profesor Kuntowijoyo yang perlu kita lakukan adalah menteorisasi al-Qur’an agar ia “fungsional” sebagai alternatif solusi berbagai problem yang dihadapi manusia modern. 

Dalam istilahnya juga beliau menggunakan istilah Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi, dengan harapan wahyu tidak hanya berhenti didalam ruang-ruang sakral semacam masjid, mushola, dll, namun meluas hingga menyentuh seluruh sektor kehidupan. Asumsi ini juga relevan dengan firman Allah yang mengatakan: “Tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali untuk rahmat bagi seluruh alam”.

Jadi pada dasarnya problem fundamental umat islam hari ini disamping kesalahan dalam memandang ilmu pengetahuan atau dalam istilahnya profesor Muhammad Naqib Alattas tidak beradab pada ilmu, kita juga memiliki problem dalam minat baca, tulis, diskusi, dll, atau biasa kita sebut kecilnya minat literasi. Kecilnya minat literasi terutama membaca ini sudah dibuktikan oleh beberapa survei lembaga otoritatif yang dalam bahasa sederhana menempati pada posisi yang jauh dibawah negara yang notabene tidak beragama islam.

Tradisi islam yang tidak lepas dari wahyu bisa diwujudkan salah satunya melalui lembaga pendidikan pesantren. Sebagaimana yang kita tahu sudah banyak sekali pesantren yang menggunakan paradigma integratif, holistik, yang memadukan antara pendidikan agama dan umum secara integratif dan tidak dikotomis.

Artinya seorang santri tidak hanya menenteng kitab kuning yang membahas persoalan agama (fikih, akidah, akhlak, tasawuf) namun mereka juga memberi ruang untuk mengkaji ilmu rasional (matematik, logika, fisika: menurut pembagiannya ibnu sina). 

Kita juga banyak mengenal ilmuan muslim yang tidak hanya hafal kitab suci namun tidak otoritatif dibidang lain. Ibnu Sina tidak hanya mumpuni dibidang teologi islam namun beliau juga seorang filsuf sekaligus dokter, Ibnu Rusyd tidak ketinggalan beliau seorang fakih pun juga seorang filsuf dan dokter. 

Tentunya masih banyak ilmuan islam lain yang turut menyumbangkan keilmuannya didunia global. Perolehan prestasi tersebut ternyata tidak mengurangi religiusitas, sudah terbukti secara historis, jika masih ada yang menganggap ateisme/agnostik adalah syarat menjadi cerdas tentu klaim/statmen ini perlu dikritik lebih lanjut sebab secara silogisme tidak rasional.

Dalam diskursus filsafat barat beberapa dekade terakhir sebetulnya mereka sudah mulai jenuh dengan tradisi pure rasional-empiris. Kejenuhan itu dibuktikan banyak sekali krisis moral yang bermuara pada krisis identitas, alienasi diri dan alam, dan kehilangan orientasi hidup membuat mereka melakukan transformasi menuju satu pandangan hidup yang lebih spiritual. 

Seorang filsuf dari Austria yang bernama Fritjhof Capra menjelaskan bahwa salah satu faktor krisis dunia modern hari ini disebabkan oleh satu pandangan positivistik—semua harus bisa diukur secara materi—dan empiris-rasional yang berarti yang tidak bisa dipikirkan dan diuji empirik tidak diterima; ini kemudian yang membuat barat memandang alam berjalan secara mekanistis yang secara bebas bisa kita eksploitasi.

Fritjhof Capra mengajukan solusi dengan mengadopsi teori lama dalam filsafat taoisme (jepang) yang mengarah pada spiritualitas dan intuisi. Teori yang beliau ajukan tentunya sangat relevan dengan tradisi mistik dalam islam semisal tasawuf. Sehingga umat islam berpotensi memimpin kembali peradaban dunia dengan inovasi baru yang bisa diterima oleh peradaban modern.

Tentunya syarat utama untuk memimpin dunia adalah tingkat literasi yang tinggi; itu semua nampaknya juga sulit diwujudkan jika fasilitas tidak kunjung meningkat semisal akses ilmu pengetahuan yang minimum, sedikitnya buku-buku berkualitas, tingkat minat baca masih rendah. 

Dalam konteks pendidikan pesantren tentunya harus lebih diperhatikan sebab kita optimis santri termasuk entitas masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari kemerdekaan bangsa ini. Dan sebuah bangsa tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan, akan tetapi pemangku ilmu pengetahuan yang beradab dan beriman kepada Tuhannya sehingga variabel transenden ini akan turut mengawasi mereka dalam mengambil/memutuskan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan hajat banyak orang.

Kita berharap para ilmuwan muslim dimasa mendatang lahir dari rahim pesantren yang telah menempuh pendidikan integral sehingga pemahamannya terhadap realitas tidak dikotomis. Artinya ketika menyentuh problem keduniaan tidak memisahkannya dengan trandensitas (wilayah ketuhanan) begitupun tidak terlalu ghuluw (berlebihan) dalam memahami konsep-konsep ketuhanan. Upaya meningkatkan literasi dipondok pesantren adalah tugas kita bersama sebagai kaum muslimin yang memiliki cita-cita agung meninggikan peradaban islam diatas yang lainnya.

Perlu menjadi catatan, literasi pesantren tidak terbatas pada penguasaan kitab kuning dan turunannya. Sebab kemajuan zaman memerlukan pemecahan secara integral dan holistik, memadukan berbagaimacam disiplin ilmu pengetahuan, yang tidak bisa jika harus dipisah-pisah. 

Selain paham ilmu hadits, juga perlu penguasaan terhadap sosiologi agama, selain paham ilmu Alquran, perlu kiranya paham soal linguistik, swjarah, dan antropologi. Literasi merupakan satu tradisi membaca,berpikir, berdialektika secara dinamis dan konsisten dibutuhkan daya tahan yang kuat untuk membaca situasi terbaru dan mengembalikanya pada tradisi ilmiah sebagai penopangnya agar perkembangan apapun, baik di bidang santek atau sosial humanioran dibimbing dengan cahaya ilmu.

Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun