Kita juga banyak mengenal ilmuan muslim yang tidak hanya hafal kitab suci namun tidak otoritatif dibidang lain. Ibnu Sina tidak hanya mumpuni dibidang teologi islam namun beliau juga seorang filsuf sekaligus dokter, Ibnu Rusyd tidak ketinggalan beliau seorang fakih pun juga seorang filsuf dan dokter.Â
Tentunya masih banyak ilmuan islam lain yang turut menyumbangkan keilmuannya didunia global. Perolehan prestasi tersebut ternyata tidak mengurangi religiusitas, sudah terbukti secara historis, jika masih ada yang menganggap ateisme/agnostik adalah syarat menjadi cerdas tentu klaim/statmen ini perlu dikritik lebih lanjut sebab secara silogisme tidak rasional.
Dalam diskursus filsafat barat beberapa dekade terakhir sebetulnya mereka sudah mulai jenuh dengan tradisi pure rasional-empiris. Kejenuhan itu dibuktikan banyak sekali krisis moral yang bermuara pada krisis identitas, alienasi diri dan alam, dan kehilangan orientasi hidup membuat mereka melakukan transformasi menuju satu pandangan hidup yang lebih spiritual.Â
Seorang filsuf dari Austria yang bernama Fritjhof Capra menjelaskan bahwa salah satu faktor krisis dunia modern hari ini disebabkan oleh satu pandangan positivistik—semua harus bisa diukur secara materi—dan empiris-rasional yang berarti yang tidak bisa dipikirkan dan diuji empirik tidak diterima; ini kemudian yang membuat barat memandang alam berjalan secara mekanistis yang secara bebas bisa kita eksploitasi.
Fritjhof Capra mengajukan solusi dengan mengadopsi teori lama dalam filsafat taoisme (jepang) yang mengarah pada spiritualitas dan intuisi. Teori yang beliau ajukan tentunya sangat relevan dengan tradisi mistik dalam islam semisal tasawuf. Sehingga umat islam berpotensi memimpin kembali peradaban dunia dengan inovasi baru yang bisa diterima oleh peradaban modern.
Tentunya syarat utama untuk memimpin dunia adalah tingkat literasi yang tinggi; itu semua nampaknya juga sulit diwujudkan jika fasilitas tidak kunjung meningkat semisal akses ilmu pengetahuan yang minimum, sedikitnya buku-buku berkualitas, tingkat minat baca masih rendah.Â
Dalam konteks pendidikan pesantren tentunya harus lebih diperhatikan sebab kita optimis santri termasuk entitas masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari kemerdekaan bangsa ini. Dan sebuah bangsa tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan, akan tetapi pemangku ilmu pengetahuan yang beradab dan beriman kepada Tuhannya sehingga variabel transenden ini akan turut mengawasi mereka dalam mengambil/memutuskan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan hajat banyak orang.
Kita berharap para ilmuwan muslim dimasa mendatang lahir dari rahim pesantren yang telah menempuh pendidikan integral sehingga pemahamannya terhadap realitas tidak dikotomis. Artinya ketika menyentuh problem keduniaan tidak memisahkannya dengan trandensitas (wilayah ketuhanan) begitupun tidak terlalu ghuluw (berlebihan) dalam memahami konsep-konsep ketuhanan. Upaya meningkatkan literasi dipondok pesantren adalah tugas kita bersama sebagai kaum muslimin yang memiliki cita-cita agung meninggikan peradaban islam diatas yang lainnya.
Perlu menjadi catatan, literasi pesantren tidak terbatas pada penguasaan kitab kuning dan turunannya. Sebab kemajuan zaman memerlukan pemecahan secara integral dan holistik, memadukan berbagaimacam disiplin ilmu pengetahuan, yang tidak bisa jika harus dipisah-pisah.Â
Selain paham ilmu hadits, juga perlu penguasaan terhadap sosiologi agama, selain paham ilmu Alquran, perlu kiranya paham soal linguistik, swjarah, dan antropologi. Literasi merupakan satu tradisi membaca,berpikir, berdialektika secara dinamis dan konsisten dibutuhkan daya tahan yang kuat untuk membaca situasi terbaru dan mengembalikanya pada tradisi ilmiah sebagai penopangnya agar perkembangan apapun, baik di bidang santek atau sosial humanioran dibimbing dengan cahaya ilmu.
Wallahualam.