Mohon tunggu...
Likpai
Likpai Mohon Tunggu... -

Penglaju Tangerang-Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kasus Beras Maknyus, Semua Bermula dari Kerancuan Konsep dan Istilah (Bagian 1)

27 Juli 2017   07:29 Diperbarui: 29 Juli 2017   08:59 2440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu terakhir ini, publik dihebohkan oleh berita digeledahnya gudang PT Indo Beras Unggul (PT IBU) produsen beras merk Maknyus dan Cap Ayam Jago. Pada perkembangannya, saling tuduh dan bantah antara Mentan vs PT IBU terjadi. Masalah makin meruncing ketika perdebatan itu memancing publik untuk ikut menanggapi. Hal ini terjadi karena muncul istilah-istilah baru dan logika-logika yang susah dimengerti publik. Serial tulisan ini akan mengupas istilah, konsep, dan logika yang menyertai kasus ini.

Subsidi Input vs Subsidi Output

Salah satu tuduhan serius yang dilayangkan Mentan ke PT IBU adalah penggunaan beras bersubsidi dalam proses produksinya. Penggunaan beras bersubsidi sebagai bahan baku industri jelas pelanggaran hukum. Karena itu, sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap beras bersubsidi, Mensos Khofifah Indarparawansa buru-buru membantah tentang penyalahgunaan beras bersubsidi ini dalam kasus ini. Mungkin Mensos menduga, sebagaimana saya menduga ketika awal-awal kasus ini mencuat, bahwa beras yang disalahgunakan adalah beras bersubsidi sebagaimana istilah di keuangan negara yaitu beras sejahtera/rastra (dulu raskin).

Masalah berlanjut ketika Mentan merancukan konsep/definisi baru tentang beras bersubsidi. Menurutnya, termasuk dalam pengertian beras bersubsidi, adalah beras yang dihasilkan dari proses produksi yang faktor inputnya disubsidi. Menurutnya, beras model ini tidak layak dijual mahal sehingga konsumen menikmati beras murah. Faktor input pertanian yang disubsidi di APBN adalah pupuk dan benih padi. Sebagaimana umumnya subdisi, tentu para penerima subsidi adalah petani miskin.

Kalau ujung-ujungnya harga beras harus murah di konsumen, mengapa diperlukan subsidi input dan subsidi output (rastra)?mungkin pertanyaan ini muncul di benak pembaca kalau mau mengikuti definisi Mentan. Bukankah secara pengawasan maupun administrasi lebih mudah jika subsidi dilakukan sejenis saja?input saja atau output saja. Terus petani dapat apa?

Jawaban dari pertanyaan di atas adalah karena kedua subsidi tersebut yang disasar dua pihak yang berbeda. Subsidi input adalah subsidi produsen, yang disasar untuk menikmati subsidi adalah petani. Sedangkan subsidi output adalah subsidi konsumen, yang disasar untuk menikmati subsidi adalah konsumen beras.

Karena itu, pendapat Mentan bahwa beras yang faktor inputnya disubsidi harus dijual murah adalah salah satu kekeliruan konsep dalam kasus ini. Kalo itu terjadi (harus dijual murah), maka penikmat subsidi input bukan lagi petani tetapi pindah ke konsumen sebagaimana yg terjadi pada subsidi output. Petani tidak mendapatkan apa-apa, faktor produksinya rendah, tetapi dijualnya rendah pula.

Karena sasaran subsidi input adalah petani,  maka pemerintah membebaskan petani untuk menjual hasil pertaniannya kepada siapapun, kepada BULOG silahkan, kepada yang lainnya juga silahkan. Tidak ada  aturan yang mengatur soal harga dan tujuan penjualan hasil pertanian. Semua diserahkan ke mekanisme pasar, sehingga petani akan mendapatkan harga jual yang paling tinggi. Tujuan dari pemberian subsidi tercapai. Petani sejahtera.

Karena sasaran subsidi input adalah petani sebagai manusianya, maka pemerintah tidak mengharuskan petani untuk menanam padi. Petani boleh menanam apapun. Tidak ada larangan. Pada saat musim hujan petani menanam padi, pada saat kemarau petani menanam jagung, bawang, semangka, timun, kacang tanah, kedele, dan palawija lainnya. Itu semua pertimbangan musim dan selera, tidak diatur pemerintah. Jadi, pupuk bersubsidi itu dipakai petani untuk segala jenis tanaman yang mereka tanam.

Itulah sebabnya, kalau terjadi penyelewengan penggunaan pupuk bersubsidi, polisi hanya perlu memastikan bahwa pengguna pupuk itu bukan yang berhak menerima. Polisi tidak perlu repot-repot untuk memantau harga hasil pertaniannya apakah wajar apa kemahalan.

Logika penikmat subsidi pupuk dan benih (petani) ini juga terjadi di semua jenis subsidi input lainnya. Subsidi LPG, BBM, dan listrik. Sehingga pemerintah juga tidak membatasi harga gorengan yang dihasilkan dari kompor dengan LPG bersubsidi. Pemerintah tidak membatasi harga Kijang Innova yang diangkut dengan truk memakai BBM bersubsidi. Pemerintah tidak membatasi harga jasa tukang cukur yang memakai alat cukur dengan listrik subsidi. Jadi, jika PT IBU mau membeli hasil pertanian berapapun tingginya tidak ada yang melarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun