Sebenarnya, para cendekiawan telah meninjau secara kritis isu HAMÂ dalam bisnis. Telah banyak uraian teoritis dan publikasi ilmiah, sebagai rambu-rambu peringatan bagi bisnis. Supaya segala kebijakan, prosedur, dan tindakan bisnis dapat sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan yang melibatkan HAM.Â
Lantas, bagaimana perspektif para cendekiwan itu dalam membela isu HAM?Â
Secara terbatas, dua perspektif yang dapat penulis uraikan dalam tulisan ini yaitu perspektif Rawlsian yang dikembangkan oleh Rawls (1999), dan perspektif stakeholder theory yang dikembangkan oleh Freeman (2020).
Keduanya mengemukakan gagasannya secara inheren mengenai bisnis berkeadilan yang berorientasi pada isu HAM.
KONSEP KEADILAN BISNIS - HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Dalam konteks bisnis, prinsip-prinsip Rawls (1999) dalam teori Rawlsian dapat diaplikasikan untuk membahas distribusi keuntungan dan tanggung jawab sosial bisnis dengan mempertimbangkan unsur hak asasi manusia.Â
Rawls (1999) berfokus pada gagasan bahwa setiap bentuk ketidaksetaraan sosial atau ekonomi harus diorganisir sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat terbesar bagi yang paling tidak beruntung di masyarakat.Â
Dalam konteks bisnis, ini bisa diartikan sebagai tanggung jawab bisnis untuk meminimalkan dampak negatifnya pada isu hak asasi manusia dan berusaha menciptakan lingkungan bisnis yang berkeadilan.
Prinsip-prinsip Rawls (1999) tentang keadilan dalam bisnis yang dapat penulis catat di sini, meliputi:
- Prinsip Kesetaraan Dasar (The Principle of Equal Basic Liberties): Rawls (1999) berargumen bahwa setiap orang memiliki hak yang sama terhadap sistem dasar kebebasan. Dalam konteks bisnis, ini berarti bisnis harus memastikan bahwa semua individu yang terlibat dalam operasionalnya memiliki akses yang setara terhadap peluang dan kebebasan dasar yang merupakan hak asasinya, termasuk hak untuk bekerja, hak berserikat, dan hak untuk tidak mengalami diskriminasi.
- Prinsip Diferensiasi yang Adil (The Difference Principle): Prinsip ini menyatakan bahwa tidak boleh ada ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, oleh karena itu manfaat terbesar harus diberikan bagi yang paling tidak beruntung. Dalam konteks bisnis, ini dapat diterjemahkan sebagai tanggung jawab bisnis untuk menciptakan value-added yang adil dan mengurangi ketimpangan ekonomi antara berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas bisnis, seperti karyawan, konsumen, masyarakat sekitar dan pemegang saham hingga bagi keberlangsungan lingkungan hidup.
Adapun stakeholders theory yang dikemukakan oleh Freeman (2020) menekankan bahwa bisnis memiliki tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan bukan hanya kepada pemegang saham.Â
Teori ini menunjukkan bahwa bisnis harus mempertimbangkan dampaknya terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk karyawan, konsumen, masyarakat, dan lingkungan.Â