Di Indonesia, tak dipungkiri bibit kebencian, intoleransi, bahkan radikalisme masih ada. Terkadang kita tidak percaya, tetangga sebelah kita ternyata jaringan teroris. Kita tahu setelah tiba-tiba Densus 88 melakukan penangkapan. Kadang kita juga tidak mengira, tokoh atau ormas yang banyak pengikutnya, ternyata juga berafiliasi dengan kelompok radikal. Padahal, mereka selalu menunjukkan penampilan yang rapi. Selalu menggunakan pendekatan agama dan lain sebagainya. Intinya, banyak diantara kita yang tertipu.
Lalu, bagaimana agar kita bisa meningkatkan kewaspadaan? Memang tidak mudah. Terlebih pengaruh perkembangan teknologi, turut dimanfaatkan oleh kelompok ini untuk menyebarkan hoaks, hate speech dan propaganda radikalisme. Satu hal yang perlu kita lakukan adalah berpikirlah secara logis dan obyektif. Belajarlah agama berdasarkan konteksnya. Serta pahamilah nilai-nilai kearifan lokal kita serta memahami prinsip kebangsaan.
Semua itu diperlukan karena nilai-nilai itulah yang bisa menjadi vaksin, untuk menangkal bibit kebencian, intoleransi, provokasi dan propaganda radikalisme. Nilai-nilai itulah kadang sering ditinggalkan, karena dianggap usang dan tidak relevan. Padahal, nilai-nilai itulah yang sejatinya bisa menjaga kita semua dari segala paham yang menyesatkan. Kenapa penting? Karena perkembangan teknologi informasi, banyak generasi penerus justru melirik paham-paham dari luar, yang jelas tidak relevan jika diterapkan di Indonesia.
Perlu kita pahami, karakter Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, yang dipenuhi dengan keanekaragaman suku, budaya, bahasa dan agama. Karena kemajemukan itulah, kita semua harus tetap mengedepankan toleransi dan saling menghargai. Kita harus bisa hidup berdampingan dalam keberagaman. Meski mayoritas masyarakta Indonesia memilih menjadi muslim, bukan berarti Indonesia adalah negara Islam. Sistem pemerintahan harus bisa mengakomodir segala kepentingan. Keberagaman ini seringkal dijadikan alasan oleh kelompok radikal, untuk menyerang pemerintah karena dianggap tidak berpihak pada mayoritas muslim.
Bibit kebencian kelompok radikal ini, harus segera dicarikan cara untuk meminimalisir peredarannya. Di awal 2021, pemerintah telah mengelauarkan Perpres No 7 tahun 2021 tentang rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme tahun 2020-2024. Ibarat vaksin, perpres ini harus juga diimbangi kedisiplinan dan komitmen dalam menjalankannya. Perpres ini akan tidak ada gunanya, jika hanya didiamkan saja.
Keluarnya perpres ini merupakan bentuk komitmen pemerintah, untuk terus memerangi ideologi radikal, yang terus merongrong generasi penerus dengan berbagai cara. Seperti kita tahu, agama telah diganggu oleh kelompok ini dengan mereduksi arti yang sesungguhnya, agama dijadikan sebagai tempat aspirasi bukan sebagai sumber aspirasi. Agama apapun di negeri ini, tidak pernah ada yang mengajarkan kebencian apalagi memprovokasi melakukan tindakan intoleran.
Perpres diatas semoga bisa menjadi 'vaksin' yang bisa menguatkan imunitas masyarajat Indonesia, dalam menyikapi maraknya hoaks, provokasi dan radikalisme di dunia maya. Mari kita implementasikan perpres tersebut dalam kehidupan yang nyata, agar 'vaksin' tersebut benar-benar bermanfaat bagi kita semua. Salam keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H