Dalam beberapa hari terakhir ini, dunia maya banyak sekali diramaikan dengan istilah 'santri milenial'. Wajar, karena pada 22 Oktober kemarin diperingati sebagai hari santri nasional.
Mungkin banyak yang bertanya, kenapa santri harus ikut aktif di dunia maya? Bukankah para orang tua menginginkan anaknya menjadi santri yang paham tentang ajaran agama? Jika di era milenial ini, para santri aktif di dunia maya, apa bedanya dengan anak-anak 'alay' seperti sekarang ini? Karena itulah, istilah 'santri milenial' ini mungkin membuat bingung oleh sebagian masyarakat.
Mari kita mundur kebelakang dulu. Ketika era kemerdekaan, mungkin para orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di pesantren, juga tidak akan berpikir ketika para santri memilih mengikuti perintah ulama, untuk menjalankan resolusi jihad. Mereka meninggalkan pesantren dan memilih berperang membantu TNI mempertahankan kemerdekaan.
Konsekuensi dari pilihan ini tidaklah ringan, karena nyawa para santri itu yang menjadi taruhannya. Namun, para orang tua ketika itu tidak pernah menyesal. Karena hasilnya kemerdekaan yang harus dipertahankan dengan nyawa itu, hingga saat ini masih bisa dinikmati oleh generasi penerus.
Dan generasi penerus itu, kini telah memasuki era milenial. Sebuah era ketika teknologi informasi berkembang begitu cepat. Sebuah era ketika segala sesuatunya bisa dilakukan melalui smartphone, tablet ataupun computer.
Sepanjang ada koneksi alias internet, segala sesuatunya bisa dilakukan. Mulai dari aktifitas jual beli, mencari informasi, mencari teman, hingga mencari pekerjaan bisa dilakukan. Aktifitas itu tidak terjadi di dunia nyata, tapi terjadi di dunia maya. Inilah sebuah era yang terjadi akibat perkembangan informasi, yang belum terjadi di era kemerdekaan dulu.
Di sisi lain, para santri juga merupakan bagian dari generasi penerus yang tinggal di era milenial. Semua suka tidak suka harus mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pesantren pun juga mulai modern. Mulai menggunakan computer, mulai mengajarkan bahasa Inggris dan pelajaran lain selain ilmu agama.
Jika ulama dan santri tidak beradaptasi dengan perkembangan zaman, tentu akan menjadi pribadi yang merugi. Begitu juga dengan aktifitas di dunia maya, para kyai dan santri juga harus aktif mengisi ruang-ruang yang masih kosong. Apa maksudnya? Agar generasi muda yang mencoba ingin mencari informasi atau pemahaman tentang agama di dunia maya, bisa mendapatkan ilmu yang benar.
Konteks milenial disini bukan hanya dimaksudkan melek teknologi, namun juga melek informasi. Santri harus mampu memahami berbagai ilmu selain ilmu agama. Ulama era dulu, tidak hanya menguasai satu ilmu. Imam Al-Ghazali misalnya. Selain memahami tentang Islam, juga menguasai filsafat, kedokteran, fiqih, matematika, dan sejumlah ilmu terapan lainnya.
Tantangan di era milenial ini tentu jauh berbeda dengan era kemerdekaan. Ketika ujaran kebencian masih sering kita temukan di media sosial, ini artinya santri dan ulama tidak boleh diam. Ketika masih dengan mudah kita temukan informasi bohong ada di media sosial, ulama dan santri tidak boleh diam saja. Pada titik inilah, para santri dan ulama harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi.
Adaptasi di era kemerdekaan, melahirkan resolusi jihad untuk mempertahankan kemerdekaan. Adaptasi di era milenial ini, tentu bukanlah harus perang antar sesama. Adaptasi di era milenial adalah perang melahan kebohongan, perang melawan kebodohan, dan perang melawan kemiskinan.
Semuanya itu hanya bisa dilakukan, jika para santri, ulama dan seluruh masyarakat bisa melakukan adaptasi di era milenial ini. Adaptasi yang dimaksud tentunya adaptasi yang memberikan pengaruh positif bagi bangsa Indonesia. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H