Kita sudah melampaui Pilkada serentak dengan baik. Baik artinya relative berlangsung dengan lancar kecuali Papua yang mengalami beberapa gangguan keamanan, tapi selebihnya berlansung tanpa hambatan yang berart. Padahal pesta demokrasi  bagi 171 daerah itu bisa dikatagorikan akbar dan tak sederhana.
Penerimaan masyarakat atas hasil-hasilnya di banyak daerah juga bisa dikatakan takada gejoak yang berarti, meski yang kita ketahui hasilnya saat ini adalah hasil dari hitung cepat lembaga-lembaga survey. Kita harus menunggu penghitungan manual dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan mereka akan mengumumkan secara resmi hasil Pilkada di seluruh Indonesia.
Penerimaan masyarakat atas hasil itu juga patut dihargai karena suasana kampaye di beberapa daerah terasa keras meskipun tidak sebrutal kampanye Pilkada Jakarta setahun lalu. Mungkin diantara kita ada yang ingat pada peristiwa kerusuhan di Bali tahun 1999 karena sebagian rakyat Bali kecewa karena ketua PDIP Perjuangan Megawati Soekarnoputri gagal menjadi Presiden RI dalam Sidang umum MPR . Kala itu poros tengah sebagai motor penggerak awal demokrasi era reformasi yang dipimpin oleh Amen Rais lebih memilih Abdurahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden.
Masyarakat Bali yang punya histori dengan keluarga Bung Karno (karena ibu Soekarno adalah seorang Ida Ayu  dan berasal dari Buleleng) merasa sangat kecewa dengan kelutusan MR itu.Â
Pada Oktober 1999 mereka meluapkan kemarahan dengan membakar kantor-kantor pemerintah dan merusak fasilitas umum di Bali. Meski tak timbulkan korban jiwa tapi kerusuhan itu melumpuhkan jalan poros dari Denpasar sampai pelabuhan Gilimanuk. Pohon-pohon perindang di jalan mereka tebang dan diletakkn di jalan. Kemarahan masyarakat Bali melingkupi kabupaten Badung, kota Denpasar, Tabanan, Buleleng (Singaraja) dan Jembrana (Negara).
Tiga hari kemarahan masyarakat dengan membakar banyak bangunan kantor pemerintah dan fasilitas umum ini menimbulkan kerugian ratusan Milyar. Membuat kegiatan perkantoran (Pemda, DPRD dan kantor partai) terhenti dan mereka memulai dari awal. Â
Fanatisme berlebihan itu tentu mengagetkan banyak pihak termasuk Megawati Soekarnoputri yang mereka banggakan. Megawati yang mengunjungi Bali seminggu setelah amuk massa itu sempat mengatakan bahwa fanatisme berlebihan tak boleh dikembangkan karena akan menimbulkan kultus individu.
Pada masa sekarang amuk massa itu memang tak terjadi lagi. Masyarakat makin dewasa dalam berdemokrasi sehingga mereka berbesar hati dengan berbagai perbedaan yang ada. Pasangan calon yang mengikuti kontestasi juga menunjukkan visi kebangsaan yang baik, kecuali beberapa pihak. Namun secara umum mereka bisa menerima kekalahan (meski belum resmi) dan terbuka (dengan mengucapkan selamat) pada pihak yang dinyatakan menang. Tak jarang mereka juga mengingatkan para pendukungnya untuk menerima kekalahan mereka dan mengajak untuk melupakan dan membangun secara bersama-sama daerah mereka.
Sikap sikap besar hati (dan rekonsiliasi) sangat penting untuk kemajuan politik dan demokrasi Indonesia, dan selanjutnya bisa melangkah untuk membangun Indonesia. Sikap siap kalah dan siap menang diharapkan tidak semata slogan kosong tanpa arti. Indonesia yang damai penting untuk bisa membangun negara ini dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H