Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Kurator sekaligus Edukator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerakan Sosial Nativisme, Mesianisme dan Milenarian di Kalimantan Selatan pada periode Perang Banjar

22 Oktober 2024   16:53 Diperbarui: 26 November 2024   22:30 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Rumah Banjar, Sumber : Koleksi Penulis)

Pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Kalimantan Selatan menjadi medan laga dari berbagai gerakan sosial yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kaum bangsawan yang dibalut oleh tirani kaum penjajah Belanda. Gerakan nativistik yang berpadu dengan elemen mesianis pertama kali muncul di wilayah yang subur, tempat lumbung padi yang berada di kawasan tanah apanase para Pangeran Banjar, kemunculan perlawanan dari masyarakat akar rumput ini menandai awal "pergerakan" dan perlawanan yang memicu konflik panjang hingga memasuki abad 20.

Ketidakpuasan dan ketertindasan ditengah masyarakat Kalimantan Selatan yang masih dekat dengan unsur magis-spiritual kemudian melahirkan keyakinan akan datangnya sosok pemimpin atau figur mesianis, ratu adil atau pemimpin yang mendapat mandat gaib, diyakini mampu membebaskan mereka dari penindasan dan mengembalikan tatanan kehidupan yang lebih adil. Gerakan semacam ini muncul sebagai respons atas perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam eksistensi masyarakat tradisional, khususnya ketika wilayah mereka mulai diintervensi oleh kekuatan asing yang membawa pengaruh luar.

Friksi panjang yang terjadi antar para elite (bangsawan) utama Kesultanan Banjar yang berujung pada usurpasi tahta pada tampuk tertinggi penguasa Kerajaan yang sudah barang tentu akan berdampak pada stabilitas politik dan merubah peta kekuasaan. Pihak usurpator yang berhasil menyingkirkan putra mahkota dan membuangnya ke Cylon (Srilangka) berkat bantuan militer dari VOC akhirnya harus membayar "utang jasa" itu melalui kesepakatan yang dibuat antara Sultan dan pihak VOC pada tahun 1787 yang membuat Belanda berkuasa penuh atas Kesultanan Banjar. Disilah pihak kolonial Belanda mulai menancapkan taringnya, mengatur jalan kerajaan dan membuat sebuah tirani dalam wajah kekuasaan sang Raja Banjar, sekian dekade dan masa berlalu, pemerintahan yang tiran kemudian menemukan muaranya. 

Gerakan Sosial Nativisme-Mesianis di Muning.

Saat Belanda mengukuhkan Pangeran Tamjid II untuk menjadi Raja/Sultan yang berujung pada penentangan dari berbagai pihak tak terkecuali dari rakyat Banjar. Pengangkatan Pangeran Tamjid II oleh Belanda yang dirasa sudah sangat jauh mencampuri adat Kerajaan. Belum lagi penarikan pajak atas tanah-tanah apanase para pangeran membuat rakyat geram. Lalu munculah suatu gerakan sosial di daerah Banua Ampat di kampung Kumbayau dekat kampung Lawahan sekarang. Daerah Muning pada mulanya adalah tanah apanase yang dimiliki Pangeran Prabu Anom putera Sultan Adam tetapi setelah Pangeran ini dibuang ke Jawa, daerah Muning jatuh ke tangan Pangeran Tamjid II, Daerah ini, merupakan daerah rawa atau daerah aliran pasang surut. Rakyatnya hidup dari hasil sawah sambil mencari ikan air tawar (Ideham, dkk 2003).

Gerakan ini menarik, mirip seperti gejolak tjiomas (dekat Sukabumi) yang terjadi tahun 1886 yang berangkat dari kaum petani, dipimpin oleh Apan yang berperan seolah Imam Mahdi yang menyerukan perang suci, ia memakai gelar Panembahan yang juga merupakan tipikal gelar yang sering dipakai pemimpin gerakan mesianisme untuk menarik orang-orang berkumpul dirumahnya untuk melakukan sembah penghormatan layaknya seorang raja (Kuntowijoyo, 2008)

Gerakan di Muning pada tahun 1859 itu dipimpin oleh Aling pria tua yang merupakan tokoh masyarakat Kampung Kumbayau. Diceritakan Sambang anaknya (yg bersaksi di sidang Belanda) bahwasanya ayahnya (Aling) pada 10 Rajab 1275 atau 2 Februari 1859 telah kesurupan setelah melakukan sebuah tirakat. Setelah peristiwa itu tersebarnya kabar bahwa aling bisa menyembuhkan orang yang sakit. Beratus-ratus orang berduyun mendatangi kampung Kumbayau. Aling mendiringkan kerajaan tandingan dan memberi gelar kepada dirinya sendiri "Panembahan Muda Aling", anaknya pun demikian seperti Saranti yang mengaku Junjung Buih dan Sambang yang memakai gelar Sultan Kuning. Panembahan Aling berperan sebagai ratu adil, raja sementara karena dia ingin tahtanya tersebut akan diduduki oleh putra mahkota yang terbuang (P.Antasari). Gerakan ini dipenuhi oleh ritual mistik, sinkretis Islam, mereka juga membagikan jimat-jimat yan diyakini memiliki kekuatan dan kekebalan terhadap senjata. Gerakan sosial Aling telah menghimpun 3000 prajurit dan dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pasukan tersebut menyerang tambang batu bara Orange Nassau dan sempat hampir menduduki Keraton kerajaan Banjar. Gerakan ini menandai pecahnya Perang Banjar yang dahsyat dan berkepanjangan yg berlangdung dari tahun 1859-1905.

Gerakan Baratib Baamal

Gerakan yang bernuansa revivalisme ini muncul dalam satu instrumen dari bagian "Perang Banjar" periode pertama pada tahun 1861. Gerakan ini berkembang pesat pada wilayah Amuntai, Balangan dan Tabalong yang dipimpin oleh Penghulu Muda Abdul Rasyid, ciri khas dari gerakan ini adalah ritual amalan-amalan seperti zikir khusus yang mengarah kepada kelompok tarekat. Gerakan ini dimotori oleh semangat jihad yang tinggi, diinduksi oleh para ulama-ulama setempat. Fanatisme masyarakat Banjar terhadap Islam  ditambah pengaruh ulama sehingga membuat gerakan ini begitu menakutkan pihak lawan kendati bermodalkan senjata-senjata sederhana seperti parang dan tombak mereka mengamuk tanpa rasa takut karena "mati syahid" adalah salah satu tujuan mereka. Dalam rangkaian pertempuran yang dilakukan gerakan "Baratib Baamal" seorang perwira Belanda Van Haldren tewas.

Gerakan Sosial Hantarukung (Hamuk Hantarukung).

Gerakan ini terjadi pada periode perang Banjar fase ke II, yakni dipenghujung abad 19 tepatnya pada tahun 1898. Diawali dari keresahan karena kerja paksa, konflik agraria yang picu oleh sikap pemerintahan Hindia Belanda menjelang kebijakan politik etis diberlakukan. Hantarukung sebuah desa kecil di Distrik Amandit. Bukhari adalah seorang "Pemayung Sultan" yang terkenal akan kesaktian dan ketangkasan saat menjadi pelindung Sultan Muhammad Seman (anak Pangeran Antasari), kemudian atas perintah ia pulang ke kampung halamannya di Hantarukung. Bukhari berhasil menghimpun masyarakat untuk melakukan perlawanan. Dengan senjata yang seadanya perlawanan pecah, peristiwa ini diingat merupakan peristiwa paling berdarah yang pernah terjadi disepanjang Perang Banjar 1859-1905. Konflik ini melibatkan masyarakat sipil melawan serdadu modern Hindia Belanda dengan senjata lengkap yang jauh lebih modern.

Dipati Kertas Melayang dan semangat Mesianisme. 

Pada tahun 1883 seorang pemuda delapan belas tahun bernama Guan menyebut dirinya Pangeran Dipati Kertas Melayang, ia merupakan seorang Bakumpai yang berdiam di desa Tumbang Kukung. Ia tiba-tiba memproklamirkan dirinya sebagai Nabi baru dan menggunakan gelar Imam Mahdi. Ia dan pengikutnya bergabung dalam barisan perjuangan Sultan Muhammad Seman banyak yang tewas diantara mereka pada pertempuran Mandaruian tahun 1883. Bagi Sultan Muhammad Seman, "Imam Mahdi" ini besar jasanya dalam menyumbangkan keberanian dan nyawanya demi perjuangan (Helius Sjamsuddin-Pagustian dan Tumenggung).

Gerakan Mesianisme misterius pasca padamnya Perang Banjar

Tahun 1906 pengaruh mesianisme dengan "imam mahdi" kembali terjadi. Kali ini dengan amat misterius. Segerombolan orang yang pemimpinnya bernama Gusti Muhammad Said  mengklaim srbagai keluarga dari (alm) Sultan Muhammad Seman, melakukan perjalanan dari Cantong di pantai timur Kalimantan ke daerah Amuntai. Mereka bermaksud membalas dendam atas kematian Sultan Muhammad Seman dan menyerang benteng Belanda di Kandangan. Mereka hanya membawa senjata-senjata sederhana seperti senjata tajam dan setiap orang membawa jimat. Mereka percaya Imam Mahdi yang tidak tampak akan menolong mereka dalam pertempuran. Mereka berhasil membunuh Kontroler Belanda, namun mereka berhasil dilumpuhkan.

(* Gusti Muhammad Said disini bukan Panembahan Muhammad Said yang merupakan anak Pangeran Antasari akan tetapi orang misterius yang mengaku kerabat Sultan Mat Seman). Gerakan Gusti Muhammad Said ini sangat menarik karena modelnya merupakan campuran antara ide-ide millenarian lokal dengan kepercayaan islam terkait Imam Mahdi.

---Epilog

Pada akhir abad ke-19, Kalimantan Selatan bergolak dalam bayang-bayang terhadap tirani kekuasaan Belanda dan elite lokal. Penindasan, pajak yang mencekik, dan pengkhianatan pada tradisi kerajaan menyulut api perlawanan sebagian kaum elite dan masyarakat di akar rumput. Di tengah rakyat yang haus akan keadilan, munculah sosok-sosok mesianis yang membawa harapan akan seorang pemimpin adil yang diharapkan mampu menghancurkan cengkeraman penjajahan dan menyudahi kekacauan mengembalikannya pada garis yang lurus. Gerakan sosial yang beragam baik itu muncul dari keresahan masyarakat atas kabut tirani yang mengutuk negeri.

Apakah gerakan semacam itu berpotensi muncul hari ini  ?

Daftar Pustaka :

- Penjelasan Sejarah (Kuntowijoyo, 2008) -Sejarah Banjar (M. Suriansyah Ideham, dkk 2003) - Pagustian dan Tumenggung ( Helius Sjamsudin, 2001) - Pangeran Antasari (Idwar Saleh, 1993) - Panembahan Muda Aling (Husni Abar) - Koran² era kolonial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun