Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Kurator sekaligus Edukator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Peristiwa 2 September 1949 di Munggu Raya

5 September 2024   15:15 Diperbarui: 5 September 2024   15:55 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Rendra

Kurator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan

“Kemerdekaan adalah hak mutlak setiap bangsa. Menyerah pada negosiasi yang mengabaikan martabat dan kedaulatan hanya akan mengikat kita pada belenggu yang baru. Merdeka berarti berdiri tegak tanpa syarat, tanpa kompromi, dan tanpa ketergantungan”.

Kata-kata di atas terlintas dalam benak saya ketika selesai membacakan sejarah singkat peristiwa 2 September 1949 disaat upacara peringatan peristiwa tersebut di bukit Munggu Raya tanggal 2 September 2024 kemarin.  Saat itu upacara berlangsung hikmat, dihadiri oleh ketua umum DHC 45 Hulu Sungai Selatan, bapak Syamsuri Arsyad, S.AP, M.A dan Ibu Penjabat Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hj. Mutia Anwary Endri, SH, MH dan beberapa pejabat Pemkab Hulu Sungai Selatan dan teman-teman dari DHD 45 Prov Kalsel, DHC 45 HSS, PMI, Pramuka, para siswa-siswi dan masyarkat setempat.

berfoto di tugu Munggu Raya 2 September 2024 (Sumber Foto : prokopim pemkab.hss)
berfoto di tugu Munggu Raya 2 September 2024 (Sumber Foto : prokopim pemkab.hss)

Saya ditugaskan oleh sekertaris DHC 45 HSS untuk membuat essay terkait sejarah pendek peristiwa 2 September 1949 di Munggu Raya sekaligus di diminta oleh Ketum DHC 45 HSS untuk lebih menggali makna penting dari peristiwa tersebut untuk dibacakan di bukit Munggu Raya di tengah keheningan upacara penghormatan di situs bersejarah tersebut.

Terik matahari pagi yang amat menghujam mata menyinari kertas bertuliskan rangkaian sejarah yang begitu menakjubkan. Dengan malu, gugup dan bergetar karna tak memiliki pengalaman membacakan sebuah narasi di hadapan orang banyak bak seorang mahasiswa sedang berorasi yang menyuarakan tegaknya demokrasi. Saya membacakan sejarah singkat tersebut dengan suara nyaring dengan mengindahkan intonasi yang sudah dilatih dan siapkan sejak memulai pagi.

Sembari membaca saya menghayalkan peristiwa itu terjadi di hadapan saya. Apalagi ketika sampai pada bunyi narasi :  

Suasana pagi di desa kecil dengan Munggu Raya-nya itu, mendadak sontak berpenduduk padat. Manusia berlimpah ruah, berjejal-jejal, ingin melihat dari dekat, para pahlawannya serta tamu-tamu dari rombongan delegasi Republik Indonesia. Bukit yang tadinya sunyi sepi, hanya suara kicau burung, kini ramai oleh banyaknya kendaraan roda empat militer dan kumpulan manusia, entah berapa ribu jumlahnya. Suatu kenyataan lagi bagi penjajah Belanda, bahwa mereka sia-sia ingin memaksakan kehendaknya di Kalimantan Selatan.

Kemudian dilanjutkan :

Dengan sikap sangat terharu, Jenderal Mayor R. Suhardjo menerima laporan itu. Sesaat beliau tak kuasa untuk membuka suara. Sebab begitu jelas, tandas dan tegas, meskipun suaranya lirih. Lalu kemudian dimulailah pelantikan para perwira ALRI divisi IV Pertahanan Kalimantan menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia secara resmi. Pelantikan itu berlangsung khidmat dan sangat tertib, penuh pengaruh dan wibawa, Kemudian Jenderal Mayor Suhardjo mengatakan dengan kehadirannya bersama Kolonel Neals dari Komisi 3 Negara itu atas undangan resmi dari pihak Belanda untuk menjadi “Penengah”. 

Sontak saya seperti merasakan kehadiran meraka pada saat itu, residu energi yang amat kuat dan perasaan haru, bangga berkecamuk dalam hati saat kalimat demi kalimat saya bacakan untuk menggambarkan suasana 75 tahun silam disaat puncak ketegangan dan perasaan “kemerdekaan” yang didambakan oleh pendahulu kita telah hampir selesai melalui proses penempaan yang amat dahsyat.

Saya saat membacakan sejarah singkat peristiwa 2 September 1949 di Munggu Raya. (Sumber Foto : prokopim pemkab.hss)
Saya saat membacakan sejarah singkat peristiwa 2 September 1949 di Munggu Raya. (Sumber Foto : prokopim pemkab.hss)

Perlu kita ketahui sejarah yang melatari peristiwa 2 September 1949 itu adalah semakin tersudutnya pemerintahan Belanda akibat peperangan yang dikobarkan oleh Divisi IV Pertahanan Kalimantan dibawah pimpinan Brigjend Hasan Basry. Mereka bersikeras menolak pendirian Negara Borneo dibawah kontrol kerajaan Belanda seperti konsep yang ditawarkan Van Mook (Gubernur Jendral Hindia-Belanda). Kemantapan tekad mereka berhasil merubah peta sejarah Indonesia. 

Mayor Jendral Soeharjo selaku wakil Angkatan Perang Republik Indonesia sengaja diundang ke Kalimantan Selatan untuk melantik para pemimpin gerilyawan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia untuk kemudian diperintahkan Mayor Jendral Soeharjo melakukan gencatan senjata/penghentian permusuhan dengan militer Belanda di hadapan delegasi UNCI dari PBB di Kalimantan Selatan.

Hal tersebut kebalikan pada wilayah lain yang juga terdampak perjanjian Linggarjati, dimana Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) “diusir” dari wilayah itu atas dasar perjanjian renville. Padahal secara aturan yang telah disepakati, yang artinya sebelumnya status ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan berubah statusnya menjadi “Gerilyawan Ilegal” alias pasukan sparatis pasca perjanjian Renville tersebut. Itu sebabnya kehadiran Mayor Soeharjo ke Kalimantan Selatan guna melantik para pimpinan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan menjadi bagian dari APRI agar dapat diberikan perintah secara resmi untuk penghentian tembak-menembak dengan militer Belanda.

Secara tidak langsung di hadapan UNCI dari PBB Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (APRI) mempunyai bargaining position atau nilai tawar karena secara de-facto meraka berkuasa atas sebagian wilayah Kalimantan Selatan dan hal itu tak terbantahkan oleh dasar fakta yang terjadi dilapangan disaksikan langsung oleh Delegasi UNCI dari PBB.

Meskipun pada penerapan “kesepakatan” tersebut pihak Belanda selalu berbuat curang dengan siasat liciknya agar ALRI Divisi IV melanggar kesepakatan tersebut, namun menyerahkan para pendahulu kita tersebut ?.

Tentu tidak, mereka tidak akan menyerah pada “ikatan” negosiasi yang mengabaikan martabat dan kedaulatan yang hanya akan mengikat pada belenggu-belenggu yang baru. 

Jika kita renungi pada masa lalu para pendahulu kita berhasil membuat bargaining position atau nilai tawar untuk Kalimantan Selatan. Hal yang tidak pernah terjadi di daerah lain di Indonesia. Sekarang kita sebagai pewaris Kalimantan Selatan Selatan, nilai tawar apa Kalimantan Selatan kepada Indonesia hari ini ? bisakah kita mencegah 1 gunung saja dari keganasan tambang batubara ? belum lagi kita akan berhadapan langsung dengan wilayah IKN maka akan ada arus baru yang menuntut kita untuk tidak haja "berdiam diri", apa nilai tawar kita setelah 75 tahun menyebut diri kita “Bangsa yang merdeka" ? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun