Dengan sikap sangat terharu, Jenderal Mayor R. Suhardjo menerima laporan itu. Sesaat beliau tak kuasa untuk membuka suara. Sebab begitu jelas, tandas dan tegas, meskipun suaranya lirih. Lalu kemudian dimulailah pelantikan para perwira ALRI divisi IV Pertahanan Kalimantan menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia secara resmi. Pelantikan itu berlangsung khidmat dan sangat tertib, penuh pengaruh dan wibawa, Kemudian Jenderal Mayor Suhardjo mengatakan dengan kehadirannya bersama Kolonel Neals dari Komisi 3 Negara itu atas undangan resmi dari pihak Belanda untuk menjadi “Penengah”.
Sontak saya seperti merasakan kehadiran meraka pada saat itu, residu energi yang amat kuat dan perasaan haru, bangga berkecamuk dalam hati saat kalimat demi kalimat saya bacakan untuk menggambarkan suasana 75 tahun silam disaat puncak ketegangan dan perasaan “kemerdekaan” yang didambakan oleh pendahulu kita telah hampir selesai melalui proses penempaan yang amat dahsyat.
Perlu kita ketahui sejarah yang melatari peristiwa 2 September 1949 itu adalah semakin tersudutnya pemerintahan Belanda akibat peperangan yang dikobarkan oleh Divisi IV Pertahanan Kalimantan dibawah pimpinan Brigjend Hasan Basry. Mereka bersikeras menolak pendirian Negara Borneo dibawah kontrol kerajaan Belanda seperti konsep yang ditawarkan Van Mook (Gubernur Jendral Hindia-Belanda). Kemantapan tekad mereka berhasil merubah peta sejarah Indonesia.
Mayor Jendral Soeharjo selaku wakil Angkatan Perang Republik Indonesia sengaja diundang ke Kalimantan Selatan untuk melantik para pemimpin gerilyawan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia untuk kemudian diperintahkan Mayor Jendral Soeharjo melakukan gencatan senjata/penghentian permusuhan dengan militer Belanda di hadapan delegasi UNCI dari PBB di Kalimantan Selatan.
Hal tersebut kebalikan pada wilayah lain yang juga terdampak perjanjian Linggarjati, dimana Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) “diusir” dari wilayah itu atas dasar perjanjian renville. Padahal secara aturan yang telah disepakati, yang artinya sebelumnya status ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan berubah statusnya menjadi “Gerilyawan Ilegal” alias pasukan sparatis pasca perjanjian Renville tersebut. Itu sebabnya kehadiran Mayor Soeharjo ke Kalimantan Selatan guna melantik para pimpinan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan menjadi bagian dari APRI agar dapat diberikan perintah secara resmi untuk penghentian tembak-menembak dengan militer Belanda.
Secara tidak langsung di hadapan UNCI dari PBB Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (APRI) mempunyai bargaining position atau nilai tawar karena secara de-facto meraka berkuasa atas sebagian wilayah Kalimantan Selatan dan hal itu tak terbantahkan oleh dasar fakta yang terjadi dilapangan disaksikan langsung oleh Delegasi UNCI dari PBB.
Meskipun pada penerapan “kesepakatan” tersebut pihak Belanda selalu berbuat curang dengan siasat liciknya agar ALRI Divisi IV melanggar kesepakatan tersebut, namun menyerahkan para pendahulu kita tersebut ?.
Tentu tidak, mereka tidak akan menyerah pada “ikatan” negosiasi yang mengabaikan martabat dan kedaulatan yang hanya akan mengikat pada belenggu-belenggu yang baru.
Jika kita renungi pada masa lalu para pendahulu kita berhasil membuat bargaining position atau nilai tawar untuk Kalimantan Selatan. Hal yang tidak pernah terjadi di daerah lain di Indonesia. Sekarang kita sebagai pewaris Kalimantan Selatan Selatan, nilai tawar apa Kalimantan Selatan kepada Indonesia hari ini ? bisakah kita mencegah 1 gunung saja dari keganasan tambang batubara ? belum lagi kita akan berhadapan langsung dengan wilayah IKN maka akan ada arus baru yang menuntut kita untuk tidak haja "berdiam diri", apa nilai tawar kita setelah 75 tahun menyebut diri kita “Bangsa yang merdeka" ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H