Oleh : Rendra
Kurator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan
“Kemerdekaan adalah hak mutlak setiap bangsa. Menyerah pada negosiasi yang mengabaikan martabat dan kedaulatan hanya akan mengikat kita pada belenggu yang baru. Merdeka berarti berdiri tegak tanpa syarat, tanpa kompromi, dan tanpa ketergantungan”.
Kata-kata di atas terlintas dalam benak saya ketika selesai membacakan sejarah singkat peristiwa 2 September 1949 disaat upacara peringatan peristiwa tersebut di bukit Munggu Raya tanggal 2 September 2024 kemarin. Saat itu upacara berlangsung hikmat, dihadiri oleh ketua umum DHC 45 Hulu Sungai Selatan, bapak Syamsuri Arsyad, S.AP, M.A dan Ibu Penjabat Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hj. Mutia Anwary Endri, SH, MH dan beberapa pejabat Pemkab Hulu Sungai Selatan dan teman-teman dari DHD 45 Prov Kalsel, DHC 45 HSS, PMI, Pramuka, para siswa-siswi dan masyarkat setempat.
Saya ditugaskan oleh sekertaris DHC 45 HSS untuk membuat essay terkait sejarah pendek peristiwa 2 September 1949 di Munggu Raya sekaligus di diminta oleh Ketum DHC 45 HSS untuk lebih menggali makna penting dari peristiwa tersebut untuk dibacakan di bukit Munggu Raya di tengah keheningan upacara penghormatan di situs bersejarah tersebut.
Terik matahari pagi yang amat menghujam mata menyinari kertas bertuliskan rangkaian sejarah yang begitu menakjubkan. Dengan malu, gugup dan bergetar karna tak memiliki pengalaman membacakan sebuah narasi di hadapan orang banyak bak seorang mahasiswa sedang berorasi yang menyuarakan tegaknya demokrasi. Saya membacakan sejarah singkat tersebut dengan suara nyaring dengan mengindahkan intonasi yang sudah dilatih dan siapkan sejak memulai pagi.
Sembari membaca saya menghayalkan peristiwa itu terjadi di hadapan saya. Apalagi ketika sampai pada bunyi narasi :
Suasana pagi di desa kecil dengan Munggu Raya-nya itu, mendadak sontak berpenduduk padat. Manusia berlimpah ruah, berjejal-jejal, ingin melihat dari dekat, para pahlawannya serta tamu-tamu dari rombongan delegasi Republik Indonesia. Bukit yang tadinya sunyi sepi, hanya suara kicau burung, kini ramai oleh banyaknya kendaraan roda empat militer dan kumpulan manusia, entah berapa ribu jumlahnya. Suatu kenyataan lagi bagi penjajah Belanda, bahwa mereka sia-sia ingin memaksakan kehendaknya di Kalimantan Selatan.
Kemudian dilanjutkan :