Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Kurator sekaligus Edukator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kalimantan Selatan, Urang Banjar terhadap suara "Representatif" pulau Kalimantan

3 Februari 2022   12:30 Diperbarui: 7 Februari 2022   10:16 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tidak hanya sampai disitu, saat bangsa ini memasuki masa paling kritis yaitu masa revolusi kemerdekaan. Kalimantan bernasib yang sama seperti Sulawesi dan daerah timur lainya yang harus lepas hubungan dengan NKRI akibat dampak dari perjanjian Linggarjati. Akibatnya Belanda (NICA) dengan dibantu pasukan Sekutu membabi buta merebut kembali bekas daerah jajahanya tersebut. Namun mayoritas masyarakat kalimantan selatan yang berjiwa republiken serta sudah terpancang semangat juangnya, kala itu tidak tinggal diam, organisasi-organisasi pergerakan bernuansa politik dan bersenjata menyeruak bermunculan di Kalimantan Selatan.


Tahun 1946 Gebernur Jendral Hindia -Belanda Van Mook membuat gagasan negara Boneka (jebakan) untuk daerah-daerah diluar kesepakatan Linggarjati. Dalam rangka itu pula pada pertengahan tahun 1946 diadakanlah sebuah konferensi di Malino Sulawesi Selatan yang dihadiri perwakilan dari daerah Kalimantan (Selatan, Timur dan Barat) daerah Timur Besar, Belitung dan daerah Kepulauan Riau. Dalam konferensi ini pemikiran federal mendapat penegasannya dari sebagian besar delegasi yang hadir. Mereka sebagian besar menyetujui pembangunan negara boneka (gagasan jebakan Van Mook) yaitu negara Kalimantan dan Timur Besar, kecuali perwakilan delegasi dari Kalimantan Selatan yang tampak “tidak sepakat” dengan keputusan pada konfrensi tersebut. Delegasi ini memutuskan tidak menerima hasil pertemuan Malino dan menunjukkannya dengan tidak mengikuti pertemuan selanjutnya di Denpasar, Bali. Hal ini justru sangat erat hubunganya dengan kondisi di Kalimantan Selatan  yang sedang lagi mati-matian memberikan perlawanan keras terhadap pihak Kolonial (NICA) yang tengah melakukan cengkraman penjajahanya lagi di Kalimantan


Untuk membantu kelangsungan perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Kalimantan. Para tokoh pemuda di Kalimantan Selatan kemudian menginisiasi sebuah kongres Pemuda se-Kalimantan yang akan dilangsungkan di Kandangan, tanggal 17-19 Maret 1947. Kongres tersebut akhirnya menelurkan sebuah organisasi gabungan pemuda se-Kalimantan yang bernama Gabungan Pemuda Pemudi Kalimantan (GAPPIKA) setelah itu dipilihlah H.M.Rusli dan Hasnan Basuki sebagai pimpinan GAPPIKA dan para pengurus besar GAPPIKA yang berkedudukan di kota Kandangan.


Organisasi-organisasi bersenjata yang tumbuh subur di Kalimantan Selatan tepatnya di Hulu Sungai itu juga terus mengalami pasang surut hingga pada giliranya bisa dengan solid melebur dalam satu komando khusus yaitu ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dimana dengan seiring menguatnya ALRI Divisi IV maka di deklarasikanlah sebuah Proklamasi berdirinya Pemerintahan militer sekaligus komando utama pasukan perang wilayah Kalimantan yang terpusat di daerah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan.


Proklamasi gubernur tentara ALRI D IV di Kalimantan Selatan juga sebagai penegasan bahwasanya Kalimantan adalah bagian dari Republik Indonesia. Proklamasi itu dibacakan di Ni'ih, Loksado (Kabupaten Hulu Sungai Selatan – Kalimantan Selatan). Peristiwa itu kemudian diperingati sebagai hari Proklamasi 17 Mei 1949 Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.


Gubernur Tentara ALRI Divisi IV yang saat itu dipimpin oleh salah seorang putra terbaik Banjar Brigjend H.Hasan Basry yang mana ia adalah pimpinan pemerintahan militer di Kalimantan Selatan sekaligus pemegang komando perang tertinggi di seluruh wilayah Kalimantan. ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan juga menugaskan pasukan-pasukanya untuk membantu perjuangan-perjuangan melawan tentara NICA di Kalimantan Barat, Tengah dan Timur wilayah Kalimantan


Juga tidak ketinggalan sebelumnya ada pasukan MN1001 yang dipimpin oleh Cilik Riwut seorang putra Dayak dari Kalimantan tengah yang diperintahkan oleh Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor bersama pejuang dari Kalimantan lainnya yang saat itu berada di Pulau Jawa untuk kembali ke Kalimantan guna melakukan konsolidasi perlawanan di daerah Kalimantan terutama Kalsel-teng. Didalam misinya itu Cilik Riwut juga banyak di bantu oleh teman-temanya dari orang Banjar.


Dari sekian banyak rentetan sejarah panjang keterlibatan “suara” Banjar untuk Kalimantan dari lokal maupun nasional yang mewarnai sejarah panjang bangsa ini. Jika kita kembali kepada kasus Edy cs dan rekan-rekannya dimana suara masyarakat Banjar terkesan “kurang” dianggap sebagai suara pribumi Kalimantan dan saya rasa itu adalah sikap yang sangat keliru.


Bahkan jika ada yang menganggap orang Banjar kurang memberikan perhatian lebih atas kasus ini itupun pun merupakan anggapan yang salah. Memang diwaktu yang bersamaan para aktivis hukum Kalimantan Selatan juga harus mengawal salah satu kasus serius di internal Kalimantan Selatan sendiri namun bukan berarti “melupakan” kasus yang kita sepakati bersama sangat melukai perasaan masyarakat Kalimantan. Tidak sedikit tokoh-tokoh dari Kalimantan Selatan juga membuat pernyataan di laman media online seperti bapak M.Rifqinizamy Karsayuda dan tokoh Kalimantan Selatan lainnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung sejak awal kasus ini bergulir disaat lagi ramai-ramainya beragam kelompok dari berbagai daerah di Kalimantan membuat video pernyatan mengecam saudara Edy Mulyadi cs, dari pihak politisi Kalsel dan juga kemudian Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalimantan Selatan turut mengambil sikap dan langkah yang elegan dengan menyambangi "Ditreskrimsus" Polda Kalsel untuk melaporkan sauadara Edy Mulyadi cs dimana kemudian laporan-laporan tersebut kini sudah diambil alih oleh Mabes Polri.


Belum lagi Wakil Ketua Komisi III DPR, H.Pangeran Khairul Saleh (dari Kalimantan Selatan) yang mendukung langkah masyarakat Dayak untuk melakukan sidang adat terhadap Edy Mulyadi. Dukungan itu kita ketahui ketika Pangeran Khairul Saleh memimpin audensi antara Komisi III DPR dengan Aliansi Borneo Bersatu. Salah satu yang menjadi tuntutan aliansi ialah membawa Edy untuk menjalani sidang sekaligus hukum adat.


Masyarakat Kalimantan “kekinian” tidak seharusnya menilai suara orang Kalimantan dengan kacamata egoisme semata dan menganggap hanya kelompok etnis tertentu saja yang merepresentasikan sebagai masyarakat asli Kalimantan. Dengan mengeyampingkan peran dan suara orang-orang Banjar yang juga masyarakat tempatan di bumi kita Kalimantan ini. Dimana WAJIB harus kita ketahui bersama dalam rentetan panjang sejarah bangsa ini orang Banjar juga turut andil dan tidak kecil pula perannya menyangkut pulau dan masyarakat Kalimantan yang kita cintai bersama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun