Ahmad Ali Rendra
Wakil Ketua (Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya) SARABA Hulu Sungai
-----------------------------------(Sebuah ulasan sosio-kultural masyarakat pribumi Kalimantan dalam persfektif historis di tengah polemik "Jin buang anak")
Akhir-akhir ini kita diperlihatkan diberbagai media entah itu Televisi, harian berita online, maupun pada halaman sosmed tentang penyampaian sebuah pernyataan oleh sekelompok oknum perihal pemindahan IKN ke pulau Kalimantan dalam sebuah konferensi pers.
Dari segi hak menyampaikan pendapat tidak ada yang salah dari para oknum tersebut. Negara demokrasi ini tentu menjamin kebebasan berpendapat setiap warga negaranya namun demikian tetap diharapkan pendapat tersebut tentunya bisa disampaikan dengan cara dan bahasa yang “baik”. Polemik timbul ketika salah satu oknum yang terkesan “vokal” menyampaikan pendapatnya dengan berapi-api, namun ada beberapa diksi atau istilah yang kurang “patut” kemudian terlontar ringan dari mulutnya, bahkan justru cenderung menghina dan sangat menyakiti masyarakat Kalimantan yang sudah tentu dalam hal ini padahal bukan objek maupun subjek dari permasalahan yang ia kemukakan.
Pasca video itu bergulir masyarakat Kalimantan tentu sangat tersinggung dengan apa yang terlontar dari mulut oknum tersebut. Tidak sedikit para tokoh maupun ormas-ormas dan lembaga adat di Kalimantan kemudian membuat pernyataan sikap dan “protes” terhadap apa yang diungkapkan oknum tersebut.
Menariknya dalam hal ini “suara” protes lebih terdengar dari corong saudara-saudara kita dari masyarakat Dayak di Kalteng, Kaltim, Kalbar sedangkan dari Kalsel seakan tidak begitu terdengar dan tenggelam suaranya. Kalsel “dianggap seolah” tidak begitu banyak memberikan pernyataan keberatanya terhadap peristiwa ini. Golongan masyarakat Banjar yang bersuara juga seolah dianggap bukan bagian dari orang “Dayak”, kurang bahkan mungkin dianggap tidak dapat merepresentasikan masyarakat “tempatan” atau golongan pribumi Kalimantan.
Memang pernah ada oknum tertentu yang menarasikan bahwasanya masyarakat Banjar (urang Banjar) kurang merepresentasikan sebagai pribumi Kalimantan, orang Banjar juga sering disebut “hanya” etnis pendatang, penjajah, bukan orang dayak, bahkan di tuduh sebagai musuh orang dayak dan tidak peduli dengan Kalimantan. Tentu anggapan itu salah besar dan kami juga sangat memaklumi asumsi seperti itu pasti berangkat dari sebuah wawasan yang dangkal mengenai Banjar dan Kalimantan Selatan.
Secara garis besarnya wilayah Kalimantan Selatan memang mayoritas dihuni oleh masyarakat yang menamakan mereka sebagai “masyarakat Banjar” yaitu kumpulan dari masyarakat etnis tempatan (Dayak) yang dahulu kala tinggal didalam suatu wilayah politik atau Negara (state) yang dikenal dengan Negeri Banjar (Kerajaan Banjar) dimana “wilayah inti” dari negri Banjar itu meliputi Kalimantan Selatan dan sebagian sebagian wilayah Kalimantan Tengah dimana masyarakatnya kemudian telah mengalami berbagai dinamika sosial hasil dari kuatnya pengaruh difusi kebudayaan.
Proses dinamika sosial dan pergeseran kebudayaan pada masyarakat Banjar yang awalnya berasal dari etnis tempatan (Dayak) lalu kemudian mendapat pengaruh kuat dari berbagai kebudayaan lain seperti melayu, jawa, arab, china dan lainya, disebabkan karena nenek moyang masyarakat Banjar yang telah berinteraksi dan mengalami pertukaran serta persilangan kebudayaan dengan berbagai kebudayaan dari etnis dan bangsa lainnya melalui interaksi dan proses difusi kebudayaan yang sering terjadi pada tempat-tempat yang memiliki pelabuhan besar terlebih lagi Kerajaan Banjar yang merupakan kerajaan maritim dan pernah mencapai puncak kejayaanya di abad ke 17-18 sebagai pusat perdagangan Lada dunia.