Mohon tunggu...
Ahmad Ali Rendra
Ahmad Ali Rendra Mohon Tunggu... Lainnya - Kartawedhana

Kurator sekaligus Edukator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hulu Sungai Ibu Kandung dari Kalimantan Selatan

4 September 2021   15:30 Diperbarui: 4 September 2021   15:34 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Rendra

Pemerhati Sejarah dan Budaya
Wakil Ketua Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya ( SARABA)  Hulu Sungai
Admin IG Sejarah :@tahukah_pian

Mayoritas penduduk di daerah Kalimantan Selatan pada masa lalu hingga masa sekarang terutama suku Banjar ditandai oleh budaya yang khas, yakni kebudayaan sungai. Sejak dulu sungai berfungsi sebagai jalur lalu lintas utama antara daerah pesisir dan daerah pedalaman, pada muara dan persimpangan sungai terdapat konsentrasi penduduk dalam bentuk kampung, bandar maupun  keraton.

Sungai menghasilkan air untuk keperluan rumah tangga juga untuk mengairi persawahan pasang surut dan juga menghasilkan ikan. Melalui sungai dikembangkan beberapa kebudayan baru dan ekspansi kekuasaan setempat. Beberapa sungai dibuat memanjang di sepanjang sungai, terdiri dari rumah ditebing dan rumah diatas rakit ( Idwar: 1978 : hlm.12).

Sungai Tabalong, Batang Alai, Batang Pitap, Labuan Amas, Amandit dan Tapin adalah tempat konsentrasi populasi sejak zaman dulu. Umumnya beberapa DAS pada wilayah Hulu Sungai tersebut berpangkal di Pegunungan Meratus yang juga merupakan anak dari sungai Nagara, dimana sungai Nagara pun merupakan anak dari Sungai (besar) Barito dan terus bermuara sampai di Laut Jawa.

Pasca perang Banjar tepatnya setelah tahun 1865 dari Banjarmasin ke Hulu Sungai dibuat jalan pos kuda (Idwar Saleh : 1978). Seluruh penduduk kampung disuruh pindah ke jalan besar di daratan. Berubahnya iklim kekuasaan dan jenis pemerintahan dari Kesultanan Banjar menjadi Pemerintahan Hindia-Belanda cukup besar mempengaruhi model transportasi dan susunan konsentrasi pemukiman masyarakat, Staatblad tahun 1898 no 178 tentang pembagian 2 Ibukota Hulu Sungai yang semula terpusat di Amuntai ( Banua 5) kemudian dibagi menjadi dua Afdeling yaitu Afdeling Kandangan dan Afdeling Amuntai.

Peraturan baru tersebut justru berpengaruh kepada konsentrasi pembangunan di daratan, khususnya daerah dibawah Afdeling Kandangan yg meliputi Onderafdeling Banua ampat dan Margasari, Onderafdeling Batang Alai dan Labuan Amas, dan Onderafdeling Amandit dan Nagara. Pembangunan kota-kota modern baru dikerjakan pemerintah dan konsentrasi pemukiman di Hulu Sungai dialihkan (lebih) ke daerah daratan rendah-sedang yaitu pada distrik Amandit, Batang Alai dan Banua Ampat.

Sejak zaman feodalisme kesultanan Banjar, wilayah Hulu Sungai juga terkenal mempunyai banyak padang/hutan perburuan yang kaya akan binatang buruan, di darah Tabalong yaitu didaerah Bongkang, Botok-botok, Mahi dan Sungai Rutas, sedangkan di Banua Lima ada di daerah Padang Paramian, Hakurung, Tampakang, Lampihong, Paringin dan Paminggir dan pada daerah Alai berada di Pagat, Birayang, Panyiuran dan Batu Mandi sedangkan didaerah Amandit-Nagara di Pulau Warik ( Bawah Pulantan), Sangiang Gantung, Bajayau, Balimau, Ulin, Sungai Raya, Jambu dan Lungau, di pada daerah Banua Ampat atau Rantau berada di Pinang Babaris, Karangan Putih, Margasari, Buas-buas dan Binuang ( Idwar Saleh : 1978 :hlm 22 ).

Selain itu di daerah Hulu Sungai juga terdapat beberapa macam upacara – upacara adat yang begitu khas sekaligus syarat akan di nilai kebudayaan. Seperti Manyanggar Padang di daerah Bangkau, Manyanggar Banua didaerah Barikin dan Aruh Ganal pada masyarakt perbukitan Meratus. 

Upacara atau ritual adat tersebut hemat penulis adalah bentuk dari local wisdom masyarakt wilayah kawasan Hulu Sungai terhadap alam sekitarnya. Mereka meminta perlindungan dan keselamatan kepada yang Maha Kuasa dan berharap hidup yang baik serta aman berdampingan dengan para mahluk gaib yang mereka yakini menghuni tempat yang sama namun pada dimensi berbeda dengan dunia yang mereka huni. 

Jika diperhatikan ritual-ritual adat tersebut berdasarkan lokasinya maka akan  terlihat seperti merepresentasikan tentang 3 bentuk kondisi gerografis wilayah Hulu Sungai. Mayanggar Padang untuk daerah masyarakat perairan dan rawa-rawa, Manyanggar Banua untuk masyarakat banua atau dataran rendah/sedang dan Aruh Ganal untuk daerah dataran tinggi atau pegunungan. 

Sejarah panjang wilayah Hulu Sungai juga mendominasi sebuah kerangka besar terbentuknya identitas dasar dan sosial kultur daerah Kalimantan Selatan. Dalam hal yang menyangkut sejarah panjang terbentuknya suatu komunitas sosial masyarakat di Kalimantan Selatan. 

Dalam “Urang Banjar dan Kebudayaannya (Suryansyah Ideham, ddk : 2005)” menyebutkan dalam sejarah Kalimantan Selatan, jauh sebelum kota Banjarmasin menjadi ibu kota Kerajaan Banjar, terdapat sebuah negara suku milik masyarakat Dayak Maanyan yang bernama Nan Sarunai (Nan Sarunai). Kerajaan Nan Sarunai sekarang terletak di dekat Amuntai dan dapat diklasifikasikan sebagai negara primitif. (Idem) Seiring dengan keberadaan Negara Nan Sarunai, muncul juga kerajaan Tanjung Puri. 

Kerajaan Tanjung Puri diduga berada di sekitar kota Tanjung merupakan kolonisasi orang-orang Melayu Palembang dari Sriwijaya yang melalui Laut Jawa sampai ke Kalimantan Selatan. (Idem) Setelah Tanjung Puri muncul lagi Imigran dari Jawa, dan mereka turut serta kemudian mendirikan kerajaan bernama Negara Dipa yang terletak di wilayah Hujung-tanah. 

Negara Dipa kemudian di Pimpinan oleh Junjung Buih dan Pangeran Suryanata, secara turun temurun sampai pada masa pemerintahan Raden Sari kaburangan pusat kekuasaan kemudian dipindahkan ke Muara Hulak, sedangkan Muarabahan dipilih sebagai pelabuhannya dan nama kerajaan itu berubah namanya menjadi Negara Daha.

Lahirnya identitas “Banjar” pun tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa perebutan tahta (usurpasi) di Kerajaan Negara Daha yang berada di Hulu Sungai, yakni antara Pangeran Temanggung dengan  Raden Samudera. Dalam kemelut istana tersebut, Raden Samudera mengasingkan diri ke hilir Sungai Barito dan dilindungi oleh komunitas Melayu yang dipimpin oleh Patih Masih. 

Di kemudian hari pangeran dari Hulu Sungai tersebutlah yang kelak mendirikan sebuah Dinasti dan Kerajaan yang disebut Kesultanan “Banjar”. Raden Samudera sendiri setelah memeluk Islam kemudian bergelar Sultan Suriansyah ia menjadi Sultan pertama Banjar yang kelak menurunkan dinasti Sultan - sultan Banjar, Kotawaringin dan menurunkan sebagian dinasti sultan-sultan di Sumbawa.

Beberapa peristiwa penting dalam kerangka besar sejarah daerah Kalimantan Selatan pun masih di dominasi peran dari daerah Hulu Sungai sebagai “inti” dari wilayah Kalimantan Selatan itu sendiri. Contohnya saat pecahnya Perang Banjar (1859-1863). Sulit untuk dibantahkan kobaran perang banjar yang begitu dahsyat tersebut sebagian besar pecah dan terjadi di wilayah Hulu Sungai. Gerakan Datu Aling di Muning, Tapin adalah pencetus awal kobaran Perang Banjar tersebut. 

Gerakan perlawanan di Muning kemudian disusul pertempuran di Munggu Thayor (Tapin) dan beberapa pertempuran di daerah Rantau, kemudian pertempuran benteng Amawang, pertempuran Tabihi, Gunung Madang, dilanjutkan serangkaian pertempuran pada beberapa titik di baerah Batang Alai timur dan selatan. Tak kalah hebat pula kecamuk beberapa rangkaian pertempuran di daerah Keadipatian Banua Lima (HSU) yang dipimpin Tumenggung Jalil.

Tidak berhenti sampai disitu, sebuah titik balik yang teramat penting bagi sejarah Kalimantan Selatan. Tatkala memasuki era Revolusi Fisik Kemerdekaan Republik Indonesia, daerah Hulu Sungai kembali membuat narasi tebal dalam kancah sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia di Kalimantan.

Pada  iklim Revolusi Fisik yang termat keras itu, daerah Hulu Sungai berubah menjadi “Mandala Yuda” yaitu sebuah ladang arena pertempuran dan segala macam bentuk upaya perjuangan kemerdekaan.

Keputusan para tokoh-tokoh perjuangan di Hulu Sungai pada saat itu juga sangat besar pengaruhnya bagi seluruh daerah Kalimantan yang termasuk dalam genggaman kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda.

Di Kalimantan Selatan didirikanlah sebuah pemerintahan militer yang berpusat di Hulu Sungai oleh Letkol Hasan Bassry pada tanggal 17 Mei 1949 dengan disertai sebuah Declare bersejarah yang dibacakan di Ni’ih Loksado, Hulu Sungai Selatan. Dilakukannya tindakan tersebut merupakan sebuah upaya tandingan terhadap legitimasi Pemerintahan Hindia-Belanda yang secara De Jure berkuasa atas Kalimantan melalui  kesepakatan  Linggarjati.

Pemerintahan Militer ALRI D IV Pertahanan Kalimantan yang di pimpin oleh Letkol Hasan Bassry sebagai Gubernur Tentara ingin menunjukan kepada dunia bahwasanya secara De Facto mereka (sebagai representasi bagian RI ) lebih berkuasa ketimbang pemerintahan Belanda yang mulai terdesak “kalah” oleh kekuatan Pemerintahan Tentara ALRI D IV Pertahanan Kalimantan [1].

[1]

-Terdesaknya Belanda membuat Residen Belanda AG Deelman memohon untuk “case Fire”   kepada Pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta & UNCI sebagai komisi bentukan   PBB yang bertugas  mendamaikan peperangan Indonesia – Belanda (tidak termasuk untuk mendamaikan daerah diluar kesepakatan Linggarjati).    Namun menariknya akibat dampak dari kesepakatan Linggarjati organisasi bersenjata ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan otomatis menjadi gerakan “ilegal” diluar    dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang di akui   pemerintah RI.    Fakta dilapangan saat itu memperlihatkan keberadaan dan kekuasaan Militer ALRI    di tahun 1949 secara de facto telah menguasai pulau Kalimantan khususnya   Kalimantan Selatan.

-Yang secara tidak langsung peristiwa dan sikap tersebut  adalah bentuk    “kekalahan”  pihak Belanda terhadap Pemerintahan Militer Gubernur ALRI.
 -Juga penting diketahui pada masa itu angkatan perang Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV yang berpusat di Hulu Sungai memiliki jumlah bala tentara kurang lebih 30.000 prajurit gerilyawan bersenjata yang tersebar diseantero Kalimantan.

Masa peralihan di Hulu Sungai

Masa perlihan, dari era pemerintahan kolonial Hinida-Belanda menjadi  sebuah bagian dari Negara Kedaulatan Republik Indonesia. Daerah kawasan Hulu Sungai dikembali  diwarnai dengan beberapa catatan bersejarah yang berdampak hampir kepada seluruh wilayah di Kalimantan Selatan.

Diawali dari sejak di akuinya Kalimantan adalah bagian dari Republik Indonesia. Permasalahan pun dimulai ketika  “rasionalisasi” para pejuang bersenjata ALRI D IV dan seluruh Lasykar bersenjata pendukungnya untuk menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia. Rasionalisasi personel yang menyangkut  30.000 anggota gerilyawan MPK ALRI (seperti yang dilaporkan Letkol Hasan Basry tanggal 2 September 1949 di Munggu Raya ) bukanlah hal yang mudah.

Kerangka acu rasionalisasi bidang ketenagaan oleh tim militer pusat menjurus kepada dua kategori, yaitu meneruskan karir kemiliteran dan kembali atau “dikembalikan” ke masyarakat. Belum lagi imbas dari KMB dan realisasi dari UU  Darurat No.4/1950 ( tentang peleburan pasukan KNIL kedalam APRIS). 

Sebagian anggota KNIL yang masuk dalam APRIS itu dijadikan pelatih dan komandan pasukan, dan mereka rata-rata dinaikkan pangkatnya dan sebagian besar mantan pejuang gerilya yang masuk APRIS malah berpangkat rendah dan prajurit biasa. Hal ini justru melahirkan pergolakan yang sangat besar bagi para pejuang gerilya dimana sudah menjadi rahasia umum, serdadu KNIL sejak awal dibentuk oleh Belanda dengan tujuan menumpas para pejuang gerilya. Belum lagi ditambah ejekan-ejekan mantan serdadu KNIL kepada mantan gerilyawan, yang menyebut “tentara kampung tak layak menjadi tentara nasional”.

Pada tahun 1950 Letnan II Ibnu Hajar alias Haderi komandan tempur pasukan utama ALRI D IV yang baru saja pulang tugas dari Pontianak tiba-tiba melakukan desersi atau melarikan diri dari kesatuannya lengkap dengan senjata yang dimiliki. Mantan perwira ini kemudian membentuk sebuah pasukan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT), yang bermarkas dikampung halamannya di desa Ambutun, Hulu Sungai Selatan. 

Letnan II Ibnu Hajar yang marah besar melihat banyak kawan seperjuanganya maupun mantan anak buahnya “dibuang” begitu saja bahkan diejek oleh mantan serdadu KNIL, ia melakukan pemberontakan bersama pasukan KRyT. Aktifitas KRyT dianggap mengarah kepada makar, melawan hukum dan sering menyerang bekas ganggota KNIL.

Selain kelompok KRyT  Ibnu Hajar, pemberontakan juga dilakukan beberapa kelasykaran bersenjata sepeti BLRM, GRR, AGIK, Tengkorak Merah, Kulabelti, Murba dan Tengkorak Putih yang ditenggarai oleh kekecewaan terhadap keputusan pemerintah yang dianggap merugikan dan merendahkan para mantan gerilyawan kemerdekaan dan terlalu memberikan ruang yang besar terhadap mantan loyalis Belanda. 

Namun tak jarang gerakan pemberontakan tersebut juga dimasuki banyaknya "penumpang gelap" yang ikut memperburuk keadaan. Era peralihan yang penuh dengan beberapa pemberontakan yang terpusat di kawasan Hulu Sungai tersebut dikenal dengan sebutan “zaman gerombolan”.

Orang Hulu Sungai tak henti-hentinya memberi kontribusi bagi daerah Kalimantan Selatan. Salah satunya di bidang pendidikan modern yang diinisiasi oleh para veteran pejuang Kalimantan Selatan yang kemudian membentuk “Dewan Lambung Mangkurat”.

Sudah barang tentu ada banyak nama-nama tokoh Hulu Sungai yang terlibat serta mendominasi didalamnya. Dewan ini kemudian berhasil melahirkan sebuah Perguruan Tinggi pertama di Kalimantan Selatan pada tanggal 21 September 1958 yang bernama Universitas Lambung Mangkurat dengan Rektor pertamanya yang juga merupakan salah seorang putra terbaik Hulu Sungai segaligus bapak gerilya Kalimantan yaitu Brigjend H. Hasan Bassry.

Begitupun dengan Institut Agama Islam Negeri Antasari ( sekarang Universitas Islam Negri Antasari ) yang didirikan pada tanggal 20 November 1964. Dengan Rektor pertamanya yang juga seorang pejuang yang berasal dari Hulu Sungai yaitu  K.H. Zafri Zamzam dari Kandangan. Saat awal kepemimpinannya, terdapat 4 fakultas yang berdiri yaitu Fakultas Syariah di Banjarmasin, Fakultas Syariah di Kandangan, Fakultas Tarbiyah di Barabai, dan Fakultas Ushuluddin di Amuntai.

Pendirian Perguruan Tinggi Islam pertama di Kalimantan Selatan tersebut pertama kali membentuk embrionya pada tanggal 28 Februari 1948 di Barabai. Dimana terjadi kesepakatan antara ulama dan tokoh pendidik untuk membentuk suatu badan yang dinamakan “Badan Persiapan Sekolah Tinggi Islam Kalimantan” yang berkedudukan di Barabai dan diketuai oleh H. Abdurrahman Ismail, MA.

Ulama yang hadir pada pertemuan tersebut adalah: K. H. Hanafie Gobit dan H. M. Nor Marwan dari Banjarmasin, H. Usman dan M. Arsyad dari Kandangan (Hulu Sungai Selatan), H. Mukhtar, H.M. As’ad, H. Abdurrahman Ismail, H. Mansyur dan H. Abdul Hamid dari Barabai (Hulu Sungai Tengah) serta H. Juhri Sulaiman, H. A. Hasan dan K.H. Idham Khalid dari Amuntai (Hulu Sungai Utara).

Dalam proses perjalanan panjang berdirinya Perguruan Tinggi Islam pertama di Kalimantan Selatan yang diinisiasi pada tahun 1948 hingga secara resmi berdiri pada tahun 1964 tidak sedikit keikutsertaan peran tokoh-tokoh Hulu Sungai didalamnya serta kawasan wilayah Hulu Sungai yang menjadi tempat-tempat penting bagi proses setiap perjalanan sejarahnya.

Dari sini dapat kita ketahui bagaimana peran “urang” Hulu Sungai dalam aspek pendidikan, khususnya tentang awal berdirinya beberapa Institusi Perguruan Tinggi modern pertama di bumi Banjar yang sudah barang tentu diniatkan untuk memajukan kualitas pendidikan di Kalimantan Selatan.

Benang merah dari talian peristiwa demi peristiwa dimasa lalu yang membentuk rentetan sejarah dalam kerangka sebuah identitas sosio-kultur budaya masyarakat Kalimantan Selatan yang tentu sulit untuk dibantahkan dimana sebagian besarnya merupakan warisan dari daerah Hulu Sungai.

Tradisi Hulu Sungai lah yang kemudian menjadi “dasar” dalam pondasi yang membentuk adat istiadat dalam budaya Banjar yang kemudian disesuaikan lagi dengan kebiasaan serta tradisi diberbagai penjuru Kalimantan Selatan seperti di daerah Banjar Kuala dan Banjar Pesisir.

Sebuah contoh dalam adat istiadat “Pangantin Banjar” yang condong “dasarnya” bermula dari tradisi yang ada pada Negra Dipa dan Daha di Hulu Sungai yang terus diwariskan dari generasi ke generasi dan mengalami beberapa penyesuaian kemudian.

Tidak luput pula dalam bidang kesenian misalnya, dimana sebagian besar kesenian khas adat suku Banjar dari Kalimantan Selatan juga merupakan dominasi dari warisan kebudayaan yang ada di Hulu Sungai. Daerah Hulu Sungai juga menelurkan banyak seniman-seniman tradisional Banjar maupun seniman kontemporer.

 Ada banyak kampung seni diwilayah Hulu Sungai seperti desa Barikin di Hulu Sungai Tengah contohnya, yang merupakan kampung seni yang masih dipertahankan selama ratusan tahun berkiprah melestarikan beberapa kesenian tradisional  suku Banjar di Kalimantan Selatan.

Penutup

Dalam kancah nasional tidak sedikit tokoh Hulu Sungai yang ikut berkiprah dan mengharumkan nama Kalimantan Selatan seperti M.Hanafiah ( Mentri Agraria pertama RI ), A.A Hamidan, A.A Rivai, Brigjend Hasan Bassry, Idham Khalid, Saadilah Musyid, Djohan Effendy, Syamsul Mu’arif dan banyak lagi yang lainya. Dalam goresan sejarah bangsa ini putra-putri Hulu Sungai memang tidak sedikit mencetak tokoh-tokoh besar dari bidang Politik, Seni, Militer dan bidang-bidang lainnya.

Kawasan geografis Hulu Sungai yang memang unik itu terdiri dari kawasan perairan yang meliputi sungai besar, danau dan rawa-rawa yang mayoritas di huni oleh suku “Banjar Batang Banyu” kemudian dataran rendah-sedang yang disebut “Banua” (sebutan oleh penduduk bukit meratus)yang mayoritas dihuni oleh suku “Banjar Pahuluan” dan daerah dataran tinggi pegunungan Meratus yang di huni oleh suku “Bukit”. 

Ketiga jenis kondisi geografis dan dominasi 3 karakter sub suku Banjar tersebut menjadi sebuah instrument yang menghasilkan komponen-kompenan sebuah dinamika unik serta menakjubkan yang berada di daerah Hulu Sungai.

Hulu Sungai adalah bagian utama dari daerah Kalimantan Selatan, mengutip dari Ketua Organisasi “Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya (SARABA) Hulu Sungai”, Andin Alpi Ansyarullah Naim “di Hulu Sungailah sebenarnya pusat peradaban dan kebudayaan orang Banjar terbentuk. Menjadi besar dan tetap hidup hingga sekarang ini. Rasanya akan sulit sekali untuk memahami Banjar tanpa memahami Hulu Sungai,” ujarnya dalam tulisanya yang berjudul “Mengenal Hulu Sungai, Tanah Banjar, Melayu Pedalaman yang Memengaruhi Nusantara”.

Memang tidak berlebihan jika Hulu Sungai dianggap daerah inti dari Kalimantan Selatan, sebuah akar dan batang yang kokoh dari peradaban Banjar itu sendiri.

Dalam beberapa dekade belakangan memang masykarat Hulu Sungai sering dicap sebagai golongan masyarakat kampungan, dengan segala streotipe tidak mengenakan lainnya saat kita sedang berada di Banjarmasin misalnya. Namun sekarang label-label itu hanya sebuah bentuk ketidaktahuan atau kebutaan tentang bagaimana proses besar peradaban di Kalimantan Selatan tumbuh dan berkembang.

Memang tidak berlebihan jika Hulu Sungai dianggap ibu kandung dari Kalimantan Selatan, sebuah akar dan inti batang yang kokoh dari peradaban Urang Banjar itu berasal. Hal ini bisa di buktikan dengan sebuah tes kecil. 

Coba kalian ambil beberapa buku yang membahas tentang sejarah Kalimantan Selatan secara menyeluruh, contohnya seperti buku Sejarah daerah Kalimantan Selatan (1977) Depmendikbud, Urang Banjar dan Kebudayaanya (2005) atau referensi dari buku yang sering menjadi rujukan tentang sejarah Kalimantan selatan seperti “Sejarah Banjar” (2003) dari Balitbangda Kalsel  (versi terbitan Ombak tahun 2020) dan buku-buku lain sejenisnya. Maka sudah bisa dipastikan lebih dari 50% atau bahkan mungkin lebih 70% isi pembahasan akan menyangkut wilayah Hulu Sungai, silahkan saja anda mencobanya.

Mengutip kata-kata seorang peneliti dan penulis buku Sejarah di Kalimantan Selatan yaitu bapak Wajidi : “dari hulu asalnya hilir,” ujar beliau, sebuah kalimat pendek untuk menggambarkan sebuah proses peradaban di Kalimantan Selatan.

Alam yang begitu indah dan kaya, masyarakat yang begitu unik, dinamika sejarah dan kebudayaan dari Hulu Sungai yang juga tak kalah menakjubkanya. Sampai disini masihkah kita malu sebagai putra-putri Hulu Sungai ? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun