Pada tahun 1870 Cultuurstelsel, yakni sistem pertanian yang kemudian berkembang menjadi sistem tanam paksa yang telah menyungkurkan sistem ekonomi subsistens petani Jawa yang berdampak terjadinya proses kemiskinan terstruktur ditiadakan. Pemerintah Hindia Belanda melakukan apa yang disebut politik pintu terbuka, yaitu ekspansi modal swasta dan  ekspansi teritorial ke luar Jawa. Ekspansi  teritorial ke luar Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda harus dilihat sebagai  alternatif baru bagi ekspansi modal asing terutama Belanda.  Ekspansi teritorial yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda berdampak semakin meluasnya areal, jenis dan jumlah produksinya. Salah satu contohnya adalah penanaman karet di Sumatera dan Kalimantan (Lindblad,2000:333).
Di daerah Kalimantan Selatan pasca di hapuskannya Kesultanan Banjar yang kemudian mulai memasuki era baru. Masyarakat Kalimantan Selatan telah mengalami perubahan yang begitu signifikan dari berbagai aspek. Pengaruh revolusi industri dunia juga dirasakan langsung  dampaknya di Kalimantan Selatan.
Bersamaan dengan itu pasar dunia sedang di banjiri oleh permintaan komoditi jenis baru yakni karet. Komoditi bahan karet sangat diperlukan oleh industri mobil yang baru mulai berkembang saat itu. Untuk itulah para pengusaha swasta yang telah diberi keleluasaan untuk menanamkan modalnya di wilayah tanah jajahan, ada yang mencoba untuk membudidayakan karet di daerah Kalimantan bagian Selatan. Senada yang diungkapkan J. Thomas Linblad, pada sekitar tahun 1900-an permintaan karet dunia juga sangat tinggi. Kondisi tersebut yang membuat penanaman karet di wilayah Kalimantan Selatan dan  Kalimantan  Timur sejak itu masif dimulai.
Para pengusaha Eropa mulai membudidayakan karet di daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1906. Terdapat tiga daerah perkebunan besar yakni Hayup di Tanjung, Tanah Intan dan Danau Salak di Martapura. Ketiganya menggunakan tenaga kuli kontrak dari Jawa maupun dari daerah sekitarnya. Jenis kuli yang terakhir inilah yang nantinya akan menjadi pengusaha karet pribumi. Setelah masa kontraknya, terutama yang dari Hayup selesai, mereka kembali ke kampungnya dan menanam karet sendiri. Mereka sudah mendapat cukup pengalaman dalam pengolahan karet selama bekerja di Perkebunan Eropa.
  Â
Pemerintah Hindia Belanda telah mendorong penanaman karet secara besar-besaran di Kalimantan Selatan yaitu di daerah Tabalong dan  Amuntai. Selain itu, dibuka juga perkebunan karet di Danau Salak Martapura, Sungai Tabuk di afdeeling Banjarmasin, serta perekebunan karet dengan jenis  Hevea dari Semenanjung  Malaya di Martapura; Karang Intan dan Danau Salak sejumlah 100.000 batang pohon pada tahun 1907 (Eisenberger, 1936: 92).
Pada Tata Pemerintahan Hindia-Belanda wilayah Hulu Sungai saat itu disebut Afdeling Hoeloe Soengai yang beribukota di Distrik Amandit berdasarkan pembagian organik dari Indische Staatsblad tahun 1913 no 199 dan 279. Afdeling Hulu Sungai merupakan wilayah yang paling berpengaruh dan penting di Karesidenan Borneo Selatan. Pada wilayah Afdeling Hulu Sungai juga terpusat berbagai jenis industri perkebunan.
Selain pemerintah Hindia Belanda, rakyat juga turut menanam karet, seperti wilayah Hulu Sungai dari  Rantau ke arah Sungai Balangan dan barat laut dari Sungai Birayang ke arah Tanjung sehingga dari hasil penanam karet berupa getah ,pemerintah Hindia Belanda memperoleh pajak sekitar 300 ribu gulden.
Pada awal 1910 terjadi perubahan kepemilikan perkebunan karet di Kalimantan Selatan, dimana Hilckes menjual Tanah Intan kepada Southeast Borneo Plantations Ltd yang berkedudukan di London, dan setelah itu didirikanlah anak perusahaannya Tanah Intan Estate Ltd di Banjarmasin. Setelah itu, menyusul C. Bohmer yang menjual perkebunan Hayup kepada Hayup Rubber Estates Ltd. Pada tahun 1917 perkebunan karet di Danau Salak yang dimanajeri oleh Hilckes dijual kepada Japanese Dutch Borneo Rubber Industry Company.
Harga karet yang tinggi sebelum Perang Dunia I mengakibatkan perluasan perkebunan karet di sana, terutama di daerah Hulu Sungai. Banyak tanah sawah yang dijadikan perkebunan karet. Tidak kurang dari 40% kepala keluarga di Hulu Sungai mempunyai perkebunan karet.