Kasus dekatnya AF dan LHI (yang ditangkap KPK) dengan beberapa wanita, kembali merebakkan istilah nikah siri di Indonesia. Inilah yang kemudian menjadikan istilah tersebut sepertinya masih menjadi objek perbincangan lokal yang belum akan selesai hingga ada keberanian baik otoritas ulama’ (agamawan) maupun umara’ (pemimpin) untuk merevitalisasi pencatatan perkawinan di Indonesia. Dikotomi agama dan negara dalam hal perkawinan tersebut kembali panas pasca keluarnya putusan MUI melalui Munas Alim Ulama tahun 2006 di Ponpes Gontor, yang tetap melegalkan perkawinan melalui legalitas agama, akan tetapi dalam berurusan dengan negara, MUI hanya memberikan himbauan agar pernikahan tersebut untuk tetap dicatatkan di hadapan KUA. Pertanyaan ringannya, mengapa putusan tersebut masih terus mendua ? untuk apa dualisme putusan tersebut dihadirkan ?
Pada dasarnya, perlawanan terhadap dikotomi agama dan negara telah ada sejak digulirkannya istilah penambahan rukun nikah pada hal pencatatan perkawinan, sehingga memunculkan “pemaksaan” dalil pendukung untuk menguatkan argumentasi tersebut. Argumentasi yang ada adalah, bahwa pencatatan perkawinan di-qiyas-kan (analogi) dengan sistem pencatatan hutang-piutang yang diperintahkan oleh Allah swt di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282. “Pemaksaan” argumentasi hukum seperti ini masih belum bisa diterima oleh kalangan Islam-Tradisionalis-Fundametalis-Konservatif karena bagi mereka, analogi yang dibangun tidak sesuai dengan jalan berpikir (metodologi) qiyas yang dihadirkan oleh para Imam Madzhab, khususnya Imam asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala. Oleh karenanya, penting rasanya untuk dirumukan ulang tentang pentingnya pencatatan perkawinan namun dengan tidak mengadirkan benturan baru dari segi local wisdom. Adapun rukun nikah yang dirumuskan oleh para ulama’ di Indonesia yang kemudian dibukukan di dalam Kompilasi Hukum Islam adalah ; (1) calon suami, (2) calon istri, (3) wali nikah, (4) dua orang saksi yang adil, (5) ijab dan kabul.
Melalui rukun nikah di atas, sesungguhnya status pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dari Kantor Urusan Agama (KUA) dapat dihadirkan melalui jalur saksi yang adil. Argumentasi seperti ini sejalan dengan historis hukum perkawinan yang ada pada masa Nabi Muhammad saw, Sahabat, dan terus hingga masuknya Islam di Indonesia sampai pada sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Di mana pada masa nabi Muhammad saw dan Khalifah empat, praktek perkawinan diketahui oleh para ahli agama (yang kemudian dikenal dengan istilah qadhi). Begitu juga di Indonesia, para ulama menjadi sangat penting dalam praktek nikah, hingga pasca Proklamasi, bangsa ini kemudian meluncurkan UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk yang berlaku hanya untuk Jawa dan Madura. Pertanyaannya kemudian adalah, apa duduknya para qadhi atau ulama’ dalam perkawinan tersebut? Tentunya, jikalau bukan sebagai wali hakim (pengganti wali nasab), maka mereka bisa menjadi saksi dari perjalanan pernikahan tersebut.
Melalui narasi di atas, maka sesungguhnya dengan menjadikan PPN sebagai salah satu dari saksi perkawinan, maka momok biaya nikah yang tinggi dapat dikendalikan dan praktek nikah siri dengan sendirinya akan tereleminasi. Mengapa demikian ? Karena dalam aturannya, jumlah biaya perkawinan yang hanya Rp. 30.000,- (jika dilakukan di KUA) dengan salah satu alokasi pembiayaannya adalah untuk saksi-saksi perkawinan maka dapat diminimalisir. Begitu juga jika perkawinan itu akan dilaksanakan di rumah pengantin, petugas sudah tidak perlu lagi repot-repot untuk mencari saksi dari kedua mempelai (padahal tidak pernah ada aturan tentang hal itu). Apalagi jika harus diwajibkan untuk melabelisasi status adil bagi seorang saksi, maka yang paling tepat adalah PPN itu sendiri, baik dari segi ilmu agama, maupun perundangan dan juga tentunya ‘amaliyah kesehariannya. Karena selama ini yang diprektekkan adalah, penunjukan saksi lebih karena status emosi, yang dikehendaki oleh kedua mempelai, bahkan kebanyakan asal tunjuk saja, yang penting acara selesai. Lalu di mana nilai sakralnya jikalau rukun yang begitu mengikat saja dengan begitu mudah dipermainkan.
Untuk itu, demi mendapatkan status keluarga yang sakinah (kebahagian dari segi material), mawaddah (kebahagiaan dari segi psikologis) dan rahmah (kebahagian dari segi teologis), apalagi di zaman yang lebih kompleks permasalahannya saat ini, maka pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dan sangat mendesak (dharuriyyah) dan tidak lagi hanya sebagai bagian pendukung (hajiyah), apalagi hanya untuk memperindah aturan semata (tahsiniyah). Contoh yang paling nyata adalah, status anak yang sah yang tidak lahir karena perzinahan, namun karena tidak melakukan pencatatan perkawinan semata, maka akan sama statusnya dengan anak yang lahir dari perzinahan. Maka mungkinkah Islam memberikan peluang dosa seperti ini ? Dengan merevitalisasi pencatatan perkawinan, ditambah dengan etikat yang kuat dari siapapun untuk taat hukum, dan juga tidak tergiur oleh lembaran-lembaran rupiah yang hanya memberikan kebahagian sementara, maka akibat negatif dari praktek nikah siri akan dengan sendirinya tereliminir. Inilah preventive action dari Islam, karena perlu difahami, bahwa Islam adalah proses bukan tujuan, yang akan menghantarkan kesalamatan teologis yakni akidah dan akhlak keluarga, kosmos dengan terjaganya alam raya, dan kosmis menuju kebaikan sosial kemasyarakatan. Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H