Beliau adalah KH. M. Ihya' Ulumiddin..
Seorang kyai dengan kharisma dan keilmuan yang sangat tinggi namun sangat rendah hati. Saya mengenal beliau dari ayah saya yang sudah berguru pada beliau sejak ayah saya masih di perguruan tinggi.Â
Dari beliau lah ayah saya terbentuk menjadi seseorang yang sanagt alim, yang senantiasa mengedepankan agama dalam segala hal, yang memimpin keluarga ini agar bisa menjadi keluarga yang bertaqwa tinggi kepada Allah.
Abi Ihya'.. itulah cara kami menyebut KH. M. Ihya Ulumiddin. Beliau merupakan orang asli Lamongan, Jawa Timur.
Abi Ihya merupakan sosok yang memiliki background religius yang sangat tinggi, keluarga beliau mendidik dan mengenalkan dunia pesantren sejak kecil. Beliau merupakan alumni dari pesatren Langitan dan kemudian melanjutkan studi ke Mesir. Disana, Abi Ihya bertemu dengan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani,Â
salah satu Wali Quthub yang ada di dunia. Abi Ihya begitu kagum dengan kecerdasan yang dimiliki Abuya Sayyid Muhammad, sehingga Abi Ihya memutuskan berguru pada Abuya Sayyid Muhammad dan tidak melanjutkan studinya di Mesir.
Abi Ihya juga menjadi santri pertama Abuya Sayyid Muhammad di pondok beliau di Mekkah, pondok tersebut bernama Rushaifah. Abi Ihya begitu tekun dalam belajar pada Abuya. Tidak hanya tekun, Abi Ihya juga sangat tawadhu dan senantiasa berkhidmah pada Abuya bahkan ketika kembali ke Indonesia, Abi Ihya sering mendapatkan panggilan beliau ke Mekkah dan tanpa berpikir sama sekali Abi Ihya langsung pergi menuju Mekkah.Â
Begitu besar khidmah Abi Ihya pada Abuya sehingga membuat Abuya Sayyid Muhammad sangat ridho pada Abi Ihya. Tidak heran, dengan keberkahan ilmu Abi Ihya bisa menjadikan beliau menjadi salah Kyai dengan reputasi sangat besar saat ini, bahkan masuk ke dalam 100 Orang Jawa Timur Paling Berpengaruh.Â
Setelah pulang ke Indonesia, beliau berdakwah ke para mahasiswa-mahasiswa muda terutama di Surabaya, ayah saya adalah salah satunya. Abi Ihya mendirikan pondok pertama di Pujon, Malang dan terus berkembang dan membuka cabang dan juga yayasan yang bernama Al Haromain. sampai saat ini, yayasan AL Haromain telah menjadi besar dan memiliki pondok cabang sebanyak lebih dari 100 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain menjadi sosok yang memiliki nama sangat besar, Abi Ihya memiliki pribadi yang sangat luar biasa. Beliau begitu rendah hati dan menyayangi para murid/santrinya baik yang ada di pondok ataupun tidak. Karena karakter beliau itulah santri-santri beliau pun banyak yang akhirnya mendedikasikan diri untuk berkhidmah pada beliau bahkan ketika santri tersebut lulus ataupun sudah berkeluarga.Â
Ada santri yang diutus untuk menjadi da'i di daerah yang masih minim pengetahuan agamanya, dan ada juga yang diutus untuk menjadi pengasuh pondok cabang beliau.
Ketika SMP, ayah saya memasukkan saya ke salah satu pondok cabang yang ada di Pujon, yang berdekatan langsung dengan pondok pusat sehingga saya bisa lebih sering dengan Abi Ihya. Kami para santri Abi Ihya ketika bertemu dengan beliau sebisa mungkin berusaha salim/mencium tangan beliau dengan harapan mendapatkan barokah dari ilmu-ilmunya. Mencium tangan beliau juga kami lakukan agar mendapatkan barokah dari sanad keilmuan beliau yaitu, Abuya Sayyid Muhammad.
Meskipun, saya jarang dididik langsung oleh Abi Ihya, tetapi orang-orang yang mengajarkan saya sejak kecil memiliki sanad keilmuan dari beliau sehingga sudah sepatutnya saya tawadhu pada guru saya tersebut yang sangat berpengaruh bagi saya dan keluarga saya.
Beberapa waktu yang lalu ketika momen idul fitri, keluarga saya sowan (berkunjung) ke kediaman beliau di Surabaya, kami bershilaturahim dan bercerita dengan beliau. Saya bercerita bahwa sekarang sedang menempuh studi di UIN Maulana Malik Ibrahim Prodi Perbankan Syariah, dan saya juga bercerita bahwa sekarang sedang proses menghafalkan alquran di sebuah pesantren mahsiswa di dekat kampus.Â
Abi Ihya mendengarkan sambil tersenyum dan saya sedang melihatnya. Cara beliau menghargai siapapun benar-benar saya kagumi dan saya ingin meneladaninya.
Saya senang dan bangga bisa memiliki dan berguru langsung pada beliau, dari beliau saya belajar banyak hal yang menjadikan saya seperti sekarang ini. Meskipun sekarang masih memiliki banyak kekurangan, tetapi setidaknya berkat beliau saya bisa memiliki kekuatan iman yang seperti sekarang.
Abi Ihya mengajarkan kepada para santrinya agar menanamkan sebuah prinsip hidup dalam diri masing-masing. Prinsip tersebut beberapa di antaranya adalah
- Jadilah orang yang selalu Jujur, Semangat, Ikhlas
- maa ziltu thooliban (Selamanya aku adalah seorang santri)
- Dadi uwong iku kudu nguwongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora nggelakno (Jadi orang itu harus memanusiakan manusia, membuat senang manusia, mengutamakan/memperhatiakan manusia, tidak menyakiti. Maksudnya adalah kita sudah semestinya memperlakukan orang lain selayaknya manusia tanpa menjatuhkan hak-haknya, membuat mereka nyaman, tidak menyakiti perasaannya, selalu mengutamakan orang lain dahulu ketimbang diri kita sendiri. Pada intinya adalah kita dalam bersikap tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri tetapi juga harus memikirkan orang lain juga.)
tapi di sini saya tidak hanya berterima kasih khusus pada Abi Ihya sebagai guru besar saya, tetapi pada setiap orang seperti orang tua saya yang mengajari dan mengenalkan saya pada dunia ini, guru saya mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, hingga Aliyah yang mana saya akhirnya bisa sampai di titik ini berkat beliau-beliau guru saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H