Ketika SMP, ayah saya memasukkan saya ke salah satu pondok cabang yang ada di Pujon, yang berdekatan langsung dengan pondok pusat sehingga saya bisa lebih sering dengan Abi Ihya. Kami para santri Abi Ihya ketika bertemu dengan beliau sebisa mungkin berusaha salim/mencium tangan beliau dengan harapan mendapatkan barokah dari ilmu-ilmunya. Mencium tangan beliau juga kami lakukan agar mendapatkan barokah dari sanad keilmuan beliau yaitu, Abuya Sayyid Muhammad.
Meskipun, saya jarang dididik langsung oleh Abi Ihya, tetapi orang-orang yang mengajarkan saya sejak kecil memiliki sanad keilmuan dari beliau sehingga sudah sepatutnya saya tawadhu pada guru saya tersebut yang sangat berpengaruh bagi saya dan keluarga saya.
Beberapa waktu yang lalu ketika momen idul fitri, keluarga saya sowan (berkunjung) ke kediaman beliau di Surabaya, kami bershilaturahim dan bercerita dengan beliau. Saya bercerita bahwa sekarang sedang menempuh studi di UIN Maulana Malik Ibrahim Prodi Perbankan Syariah, dan saya juga bercerita bahwa sekarang sedang proses menghafalkan alquran di sebuah pesantren mahsiswa di dekat kampus.Â
Abi Ihya mendengarkan sambil tersenyum dan saya sedang melihatnya. Cara beliau menghargai siapapun benar-benar saya kagumi dan saya ingin meneladaninya.
Saya senang dan bangga bisa memiliki dan berguru langsung pada beliau, dari beliau saya belajar banyak hal yang menjadikan saya seperti sekarang ini. Meskipun sekarang masih memiliki banyak kekurangan, tetapi setidaknya berkat beliau saya bisa memiliki kekuatan iman yang seperti sekarang.
Abi Ihya mengajarkan kepada para santrinya agar menanamkan sebuah prinsip hidup dalam diri masing-masing. Prinsip tersebut beberapa di antaranya adalah
- Jadilah orang yang selalu Jujur, Semangat, Ikhlas
- maa ziltu thooliban (Selamanya aku adalah seorang santri)
- Dadi uwong iku kudu nguwongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora nggelakno (Jadi orang itu harus memanusiakan manusia, membuat senang manusia, mengutamakan/memperhatiakan manusia, tidak menyakiti. Maksudnya adalah kita sudah semestinya memperlakukan orang lain selayaknya manusia tanpa menjatuhkan hak-haknya, membuat mereka nyaman, tidak menyakiti perasaannya, selalu mengutamakan orang lain dahulu ketimbang diri kita sendiri. Pada intinya adalah kita dalam bersikap tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri tetapi juga harus memikirkan orang lain juga.)
tapi di sini saya tidak hanya berterima kasih khusus pada Abi Ihya sebagai guru besar saya, tetapi pada setiap orang seperti orang tua saya yang mengajari dan mengenalkan saya pada dunia ini, guru saya mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, hingga Aliyah yang mana saya akhirnya bisa sampai di titik ini berkat beliau-beliau guru saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H