Demonstrasi sering dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, seperti mahasiswa, buruh, petani, dan lapisan masyarakat lainnya, sebagai bentuk penyampaian aspirasi dan protes terhadap kebijakan atau isu tertentu. Namun, aksi-aksi ini sering kali berlangsung singkat, hanya bertahan satu hingga dua hari, dan jarang mendapatkan hasil yang signifikan. Kondisi ini dapat dipandang sebagai pemborosan waktu dan tenaga jika aspirasi yang disuarakan tidak memperoleh perhatian atau tanggapan yang diharapkan dari pihak yang berwenang.
Keberhasilan demonstrasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk skala partisipasi, keberlanjutan aksi, strategi penyampaian pesan, dan respons dari pihak pemerintah atau institusi terkait. Dalam konteks gerakan sosial, mobilisasi yang masif dan berkelanjutan berpotensi meningkatkan daya tekan gerakan dan peluang tercapainya tujuan yang diharapkan.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas faktor-faktor yang menyebabkan banyak aksi demonstrasi dari berbagai kelompok seperti mahasiswa, buruh, dan petani menjadi kurang masif.
Mahasiswa bukanlah kelompok yang homogen, mereka memiliki berbagai latar belakang dan kepentingan yang berbeda. Fragmentasi ini sering kali mengakibatkan kurangnya kesepakatan tentang isu yang perlu diperjuangkan bersama. Ketika isu tidak cukup relevan atau tidak menggerakkan sebagian besar mahasiswa, dukungan untuk aksi tersebut berkurang. Selain itu, mahasiswa dihadapkan pada tuntutan akademik yang tinggi, serta beban ekonomi bagi sebagian dari mereka. Fokus pada studi dan kebutuhan untuk menekan biaya pendidikan seperti bekerja paruh waktu dan semacamnya dapat mengurangi waktu yang mereka miliki untuk berpartisipasi dalam aksi. Tuntutan percepatan masa studi yang diterapkan oleh banyak kampus juga menjadi faktor signifikan yang mengurangi partisipasi mahasiswa dalam aksi dan pergerakan sosial. Kebijakan tersebut mendorong mahasiswa untuk lulus dalam waktu singkat yang kemudian secara tidak langsung membatasi waktu dan energi mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan di luar akademik, termasuk demonstrasi. Percepatan masa studi menyebabkan mahasiswa yang aktif dalam aksi sosial segera lulus dan digantikan oleh mahasiswa baru yang mungkin belum mengetahui atau belum terpapar isu-isu yang diperjuangkan sebelumnya. Pergantian angkatan yang cepat ini membuat proses transfer pengetahuan dan semangat aksi menjadi kurang optimal, sehingga aksi menjadi kurang berkelanjutan.
Penulis juga berpendapat bahwa kondisi lapangan kerja yang terbatas mungkin menguntungkan pihak-pihak tertentu karena buruh yang berada dalam ketidakpastian ekonomi lebih mudah dikendalikan dan cenderung menahan diri dari tindakan kolektif. Ketidakstabilan pekerjaan ini juga menguntungkan pihak-pihak yang menginginkan stabilitas dalam kontrol tenaga kerja yang lebih tinggi, sehingga buruh lebih terfokus pada pekerjaan daripada pada aksi kolektif. Hal tersebut tercermin dalam banyaknya perusahaan yang menerapkan pengawasan ketat, bahkan melarang aksi buruh melalui kebijakan internal, ancaman sanksi, atau pemberian peringatan. Hal ini memperlemah posisi buruh dalam menyuarakan aspirasi. Persaingan di pasar kerja yang ketat juga membuat buruh cenderung memilih mempertahankan pekerjaan meskipun dalam kondisi yang tidak ideal. Keterbatasan lapangan kerja menyebabkan buruh lebih mementingkan stabilitas ekonomi pribadi daripada terlibat dalam aksi, dengan risiko kehilangan pekerjaan di tengah minimnya kesempatan untuk segera mendapat pekerjaan baru.
Banyak petani di Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang relatif terpencil, dengan akses terbatas terhadap informasi dan pendidikan. Hal ini menyulitkan mereka untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang hak-hak mereka atau isu-isu relevan dalam kebijakan pertanian. Kurangnya akses informasi juga memengaruhi kemampuan mereka untuk mengorganisasi aksi atau memahami cara efektif menyampaikan aspirasi. Selain itu, petani sangat bergantung pada lahan sebagai sumber mata pencaharian utama. Keterbatasan kepemilikan lahan dan modal membuat mereka rentan terhadap tekanan ekonomi, terutama ketika lahan mereka terancam atau hasil pertanian terganggu. Kondisi ini membuat petani lebih berhati-hati untuk terlibat dalam aksi yang dapat mengganggu pendapatan atau berisiko menimbulkan konflik dengan pihak-pihak yang lebih kuat secara finansial.
Lapisan masyarakat lainnya juga cenderung berpandangan negatif terhadap demonstrasi. Dalam banyak kasus, aksi demonstrasi sering diberitakan dengan narasi negatif, seperti mengganggu ketertiban umum atau merusak fasilitas. Media atau narasi tertentu kadang menggambarkan aksi sebagai kegiatan yang tidak produktif atau bahkan berbahaya. Stigma ini menyebabkan masyarakat memandang demonstrasi dengan skeptis dan menghindari keterlibatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H