Presiden Joko Widodo alias Jokowi, mencabut izin larangan ekspor pasir laut yang sebelumya sejak tahun 2002 telah dilarang. Melalui aturan Keputusan Presiden (Kepres) No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Jokowi mencabut larangan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang diundangkan pada 15 Mei yang lalu. Di cabutnya aturan mengenai pelarangan ekspor pasir laut, memicu polemik baru ditengah masyarakat. Di buka kembali keran eskpor pasir laut, dianggap dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem perairan.
Pro dan Kontra
Juru bicara Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Wahyu Muryadi membantah soal peraturan baru dapat berdampak pada kerusakan ekosistem perairan. Ia justru meyakinkan bahwa pemerintah ingin menyehatkan kembali daerah pesisir.
“Sesuai dengan amat UU laut, maka KKP harus melakukan pengambilan, pengelolaan terhadap sedimentasi agar kembali dipulihkan, sehingga menjadi sehat,” kata Wahyu dilansir bbc.com.
Wahyu menjelaskan bahwa pemerintah tidak mengambil pasir dipulau yang selama ini masyarakat bayangkan. Pulau-pulau yang sudah bagus, pemerintah tidak akan menyedot pasir dari pinggir pantainya. Tetapi kemungkinan bisa saja proses sedimentasi dilakukan di dasar laut atau area lainnya selain pesisir. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan segera mencabut aturan tersebut jika memang berdampak pada kelangsungan hidup di wilayah perairan.
“Kalau ada sampai kemudian karena proyek ini membuat satu pulau tenggelam, enggak boleh. Itu penambangan apalagi penambangan liar. Ini kan melakukan sedimentasi itu tanpa merusak lingkungan, tanpa mengganggu ekosistem, itu prinsipnya,” ujar Wahyu
Wahyu berpesan agar masayarakat dapat membedakan antara penambangan pasir dengan pengolahan sedimen yang tertuang dalam PP Nomor 26 tahun 2023.
“Sedimentasi laut kita bisa didapat akibat erupsi dan peristiwa oceonografi yang menumpuk di beberapa titik, yang berakibat menimbulkan ketidakseimbangan atau menggangu, mengganggu jalur laut, mengganggu kualitas dari biodiversity kita, terjadi pendangkalan sehingga menyulitkan dari pelayanan,” katanya.
Dilansir Mongabay.co.id, perwakilan masyarakat pesisir dari berbagai wilayah Indonesia, didampingi oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Walhi, Greenpeace Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Dastructive Fishing Watch (DFW) menolak terbitnya aturan tersebut. Beramai-ramai mereka menilai regulasi tersebut hanya akan memicu dampak negatif yang merugikan berbagai aspek kehidupan.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin menilai PP Nomor 26 tahun 2023 menggunakan politik Bahasa sedimentasi laut. Penggunaan seperti ini sudah sering dilakukan salah satunya Undang-undang Cipta Kerja, seolah-olah untuk membangun lapangan kerja. Ia juga menegaskan bahwa ini merupakan kemunduran dari komitmen Indonesia untuk melestarikan ekosistem laut. Ia menilai pemerintah memiliki kepentingan ekonomi dengan dalih pembangunan dan reklamasi.