Mohon tunggu...
Ahmad Nuril Mustofa
Ahmad Nuril Mustofa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder Yayasan Pesantren Alam Nusantara Kota Batu

Menulis adalah secercah harapan untuk masa depan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku Madrasah Pertamaku di Dunia

22 Desember 2019   17:01 Diperbarui: 22 Desember 2019   17:08 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal hidupku ditentukan oleh ibu. Aku tak terbayang jika saat itu ibu menyerah begitu saja. Ibu rela sakit demi aku, bayi mungil yang sangat merepotkan. Aku berteduh di rahim ibu, tetapi ibu sama sekali tidak mengeluh. Bulan demi bulan perut ibu semakin membesar, tetapi ibu tetap tersenyum seperti tanpa beban

Hari itu, aku berada ditempat asing dan aku sangat takut. Aku hanya menangis, menangis dan tetap menangis. Tetapi ibu segera meraihku dan aku dipeluknya. Aku melihat cahaya dari tatapan ibu. Mata Ibu bersinar. Senyuman ibu membuatku sejuk. Kehadiranku membuat semua orang diruangan itu bahagia.

Kasih sayang ibu tak kenal waktu. Ibu rela terbangun dari tidurnya saat aku menangis di malam hari. Berbagai cara ibu lakukan untuk membuatku tidur kembali. Meskipun aku selalu menangis setiap malam hari, ibu tak pernah bosan merawat dan menjagaku. Ibu selalu berusaha membuat aku tertawa.

Ibu mengajariku banyak hal. Ketika aku mulai belajar merangkak, ibu dengan sabar menjaga. Ketika aku mulai belajar berbicara, ibu dengan sabar mengenalkan bahasa tutur kata. Ketika aku mulai banyak bertanya ini itu, ibu selalu menjawabnya. Hingga aku mulai beranjak, aku duduk dibangku pendidikan. Madrasah dan Guru pertamaku adalah Ibu. Walaupun ibu sibuk bekerja, ibu selalu menyempatkan waktunya untuk mengajariku menulis, membaca, berhitung dan menggambar. Aku pintar karena ibu.

Kini aku semakin dewasa dan ibu semakin berumur. Aku pernah membuat ibu bersedih. Aku pernah membuat ibu kecewa. Aku sadar terlalu banyak kesalahan yang telah aku perbuat pada ibu. Sering kali aku tak mendengar perkataan dan nasihat ibu. Sering kali aku membentaknya dan membuat ibu menangis. Betapa durhaka nya aku. Entah berapa banyak dosa yang kulakukan padamu ibu. Namun ibu adalah malaikat, ibu sama sekali tak pernah dendam. Ibu selalu memaafkan semua kesalahanku.

Ibu adalah sahabat terbaikku. Aku selalu berkeluh kesah pada ibu. Aku ingin seperti ibu, ibu selalu tegar menghadapi semua masalah. Saat aku terjatuh, saat aku lelah menghadapi dunia, ibu selalu merangkulku. Ibu selalu membela aku. Ibu tak akan pernah rela aku disakiti oleh siapapun. Ibu kau pahlawanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun