Kemudian pada pembahasan ke 4 dari buku karia sayuti thalib yaitu membahas tentang waris menurut hukum islam yang memiliki poin poin tertentu, yang pertama tentang kedudukan seorang ahli waris yang mecakup kedudukan seorang anak yang merupakan ahli waris yang pertama disebutkan dalan al-qur'an dan sebagai bentuk hubungan antara seorang ayah dan ibu, Â selanjutnya adalah hubungan antara anak dengan ayah dan ibu, didalam islam mengatakan bahwa kedudukan anak lenih tinggi dari pada orangtua dalam hal kewarisan dan hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya harta yang diterima oleh anak daipada harta yang diperoleh orangtua, dan hal tersebut akan berlku selamanya walupun ana dan orang tua alam keadaan sama-sama mewarisi harta warisan. Kedudukan kedua merupakan kedudukan dari seorang bapak, disini seorang bapak memiliki beberapa kedudukan yaitu sebagai dzul faraid seperti yang dikatakan dalam surat an-nisa ayat 11. Yang diaksud dengan keudukan seorang bapa sebaga dzil faraidh adalah seorang bapak yang memilii seorang anak, baik anak laki-laki maupun seorang anak perempuan.
Selanjutnya adalah hubungan seorang anak laki-laki dengan bapak dan bapak dengan saudara, pembahasan ini beraa dalam surat an-nisa ayat 11 yaitu bahkan jika seorang anak dan bapak dalam stu garis keturunan yang sama-sama mewaris, maka kedudukan seorang anak lebih tinggi dari pada bapak, dengan kata lain seorang anak mempengaruhi kedudukan bapak dalam hal kewarisan. Kedudukan ayah yang selanjutnya adalah dalam kearisan patrilinela syafi'i, dala konsep patrilineal syafi'i, ayah memiliki 2 edudukan yaitu sebagai dzul faraidh dengan pembagian harta waris sebesar seper enam dari hartapeninggalan, senagkan kedudukan kedua yaitu sebgai tsulutsul baqi atau orang yang mendapat bagian sebesar sepertiga sisa dari pembagian harta waris.
Kedudukan ibu, kedudukan seorang ibu telah terjamin yaitu sebesar satu per tiga atau satu per enam, tetapi perolehan seorang ibu dapat dipengaruh oleh beberapa hal yaitu: diengaruhinya oleh seorang anak, anak dapat memerngaruhi perolehan seorang ibu dikarenakan anak adalah golongan pertama yang menerimawa ris yang disebutkan dalam al-qur'an. Selanjutnya adana hubungan seorang ibu dengan saudara, saudara yang mempenaruhi perolehan seorang ibu dapat dikatakan sebagai ikhwatun tetapi dengan demikian seorang ibu bisa mewaris secara bersama-sama dengan ikhwatun tersebut. Selanjutnya adalah perolehan seorang ibu dengan bapak dalam ajaran tsulutsul baqi, dalam ajaran tsulutsul baqi bagian ibu tetap lebih besar dari pada ayah dikarenakan sudah ditentukan oleh gari hukum surat an-nisa ayat 11e.
Kedudukan seanjutnya ditempati oleh suami atau istri yang hidup paing lama, jika yang hidup paling lama adalah soso suami maka suami tersebu akan menadi duda dan bagian duda adalah seperdua atau seper empat dari harta peninggalan, dikarenakan duda termasuk ke gologan dzul faraidh. Sedangkan jika yang hidup paling lama adalah pihak istri maka seorang istri tersebut akan menjadi jand dan bagian dari janda adalah seper empat atau seper delapn dar harta peninggalah dan juga jandan masih termasuk kedalam golongan dzul fataidh.
Kedudukan saudara dalam surat an-nisa ayat 12 dan 176, dalam ayat ke 12 dikatakan bahwa saudara selalu mendapatkan perolehan bagian tertentu dikarenakan saudara masih termasuk kedalam golongan dzul faraidh, sedangkan dala ayat 176 dikatakan bahwa sosok saudara bisa menjadi lebih kuat menjadi golongan dzul qarabath maupun menjadi ashabah. Kemudian saudara juga memiliki kedudukan dalam peristiwa masyarakah, yang dimaksud dengan musyarakah adalah apabla meninggalnya seorang wanita dengan meninggalkan suami, ibu, 2 saudara laki-laki seibu, dan mereka semua termasuk kedalam golongan dzul faraidh. Kemudian kedudukan saudara menurut ajaran zaid bin tsabit, kemudian teori anak pisang, yang terakhir asas kewarisan menurut al-qur'an, dalam al-qur'an tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan yang mmpunyai hubungan darah karena mereka masih menjadi keluarga dekat dari si pewaris.
Kedudukan yang terakhir adalah kedudukan kakek dan nenek yang bisa dilihat dari 2 sudut pandang yaitu sudut pandang bilateral dan sudut pandang bilateral, dan kedudukan yang terakhir adalah kedudukan toran seperjajian yaitu hubungan kewarisan dikarenakan ikatan persaudaraan (istilah sebalum islam datang)
Ahli waris merupakan seorang yang berha menerima waris, ahli waris tergolong kedalan beberapa golongan yaitu
1. menurut ajaran bilateral hazairin.
Menurut ajaran ini, ahli waris digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
a. golongan ahli waris dzulfa'id atau ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dan dalam keadaan tertentu. Adapun yang termasuk kedalam golongan ini adalah anak perempuan yang tidak didampingi dengan anak laki laki, ibu, bapak dalam hal anak, duda, janda, anak laki laki, saudara laki laki dan saudara perempuan yang bergabung dalam hal kalalah, serta yang terakhir saudara perempuan dalam hal khalalah. (khalalah adalah menurut hadist rasulullah dapat dsimpilkan sebagai seseorang yang telah meninggal dunia dengan tanpa meninggalkan satu pun keturunan atau anak.)
b. Golonga yang ke dua yaitu ahli waris dzhul karabat atau biasa dikatakan sebagai ahli waris yang mendapatlan bagian yang tidak tentu jumlahnya atau bisa dikatakan memperoleh bagian terbuka atau memperoleh bagia sisa, yang termasuk dalam golongan inj adalah anak laki laki, anak leremluan yang berhimpunan dengan anak laki laki, bapak, saudara laki laki dalam hal khalalah, saudara perempuan yang berhimouna dengan saudara laki laki.
c. Golongan Yang ketiga adalah ahli waris mawali atau ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti merupakan ahli waris yang menggantikan ahli waris yang sah untuk memperoleh bagian warisan  yang awalnya akan diperoleh orang yang digantikan posisinya.
2. Menurut ajaran patrineal syafi'i.
Menurut ajaran ini, ada beberapa golongan yang menjadi ahli waris dalam sistep pewarisan yaitu:
a. ahli waris dzul fara'id atau seperti yang telah dijelaskan oleh ajaran sebelumnya.
b. ahli waris asabah atau ahli wris yang hanya mendapatlah bagian sisa dari sebuah kewarisan, ashabah terbagi menjadi 3 golongan yaitu ashabah bi nafsihi atau ashabah karena kedudukannya sendiri, kemudian ashabah bil ghairi atau seorang perempuan yang ditarik menjadi ashabah oleh seorang laki laki, kemudian ashabah maal ghair atau saudara perempuan yang ikut mewarisi bersama anak perempuan.
c. Kemudian golongan terakhir dari ajaran inj adalah ahli waris dzul arham atau orang yang nempunyai hubungan darah dengan seorang pewaris.
Setelah tergabungnya atau bersatunya ahli waris dalam beberapa golongan, maka selanjutnya pasti akan ada pegutamaan terhadap para ahli waris tersebut, keutamaan setiap pewaris telah dijelaskan dalan ayat al-qur'an yaitu :
a. Keutamaan ahli waris dalam surat al anfal ayat 75 yaitu orang yang sepertalian darah itu lebih dekat dari yang satu dengan yang lain dibandingkan denga orang mukmin dan otang muhajirin lainnya.
b. Keutamaan ahli waris dalam ketentuan surat al-ahzab ayat 6. Pada ayat ini mengatur tentang keutamaan beberapa golongan yaitu golongan pertama, yang dimaksud dengan golonga lertama adalah dengan adanya seorang anak dalam kelompok ahli waris, kemudian kelompok ke dua yaitu tidak adanya sosok seorang anak dalam kelompok ahli waris dan sedangkan ada saudara di dalamnya, kelompok yang ketiga adalah jika dalam sebuah kelompok ahli waris sudah tidak ada sosok seorang anak dan saudara.
c. Keutamaan ahli waris dalam ketentuan hadiat ibnu abbas. Yang diatur dalam hadist ini adalh jika dalam pembgian harta waris  harus memenuhi urutan: pertama kepada ahli waris yang berhak menerima bagian tertentu, serta sisanya diberikan kepada sosok laki-laki yang terdekat.
d. Keutamaan ahli waris dalam ketentuan hadist zaid bin tsabit.
Pada pembahasa selanjutnya dibuku hukum kewarisan islam di indonesia ini membahas tentang sistem pembagian waris menurut hukum islam. Harta kewarisan merupakan segala jenis harta yang berhubungan dengan pewaris yang meninggalkan harta tersebut yang kemudian akan dibagikan dengan  keluarga yang berhak menerima warisan atau disebut dengan ahli waris. Dalam pembahasan ini dibagi menjadi beberapa poin penting yaitu ketentuan harta peninggalan dan cara pembagian, sisa pembagian dan radd, dan aul atau penyelesaian kerugian.
1. Memasuki poin pertama yaitu ketentuan harta peninggalan dan cara pembagiannya, yang dimaksud harta peninggalan yaitu harta waris yang akan dibagikan kepada ahli waris dengan kata lain merupakan harta keseluruhannya yg terlihat ada hubungannya dengan pewaris. Tentang cara pembagian harta waris telah dijelaskan oleh bilateral hazairi yang mejelaskan bahwa mula mula harta dihimpun dari perhitungan yang nampak secara keseluruhan dari harta kepunyaan pewaris atau orang yang meninggal tersebut. Kemudian ada ajaran patrilineal syafi'i yang mengatakan bahwa mula mula dihimpun dari semua harta yang nampak dari keseluruhan dari harta kepunyaan pewaris.
2. Poin yang kedua yaitu sisa pembagian dan radd. Sisa pembagian: jika ahli waris terdiri dari dzul faraid dan dzul qarabat maka harta peninggalan akan habis dibagikan kepada anak lertama dan sisanya diberikan kepada dzul qarabat yang bersangkutan. Akan tetapi jika ahli waris terdiri dari dzul faraid saja maka akan terjadi 2 kemungkinan yaitu harta akan habis pada pembagian pertama, atau pembagiannya masih ada sisa yang belum habis terbagi.
3. Orang yang berhak menerima radd adalah orang yang termasuk kedalam golongan dzul faraid, tetapi ada yang berpendapat bahwa janda dan duda tia termasuk kedalam golongan itu walaupun termasuk kedalam dzul faraid dikarenakan menurut surat al anfal ayat 75 radd hanya dapat diberikan kepada dzul faraid yang bertalian darah saja, sedangkan suami dan istri hanya memiliki ikatan semenda dan bukan pertalian darah, sehingga tidak mendapat bagian dari radd. Radd tidak akan berlaku kecuali adanya baitulmal, itu merupakan pendapat dari beberapa penganut ajaran syafi'iyah. Baitul mal adalah rumah harta atau semacam balai harta yang dikhususka untuk menerima, menyimpan dan mengatur harta umat islam dan agama islam.
4. Aul atau penyelesaian kerugian. Kebalikan dari radd adalah aul, jika radd terjadi jika mash ada sisa yang disebut sisa bagi sesudah pembagian harta oleh penerima warisan atau ahli waris, maka aul adalah kerugian dari hasil pembagian pertama lebih dari 1 dan hal ini biasanya akan diselesaikan degan cara mengurangi hasil pembagian harta dari setiap ahli waris yang menerima warisan. Disini yang dinamakan aul adalah pengurangan harta waris secara berimbang.
Kedudukan wasiat dalam hukum kewarisan islam. Dalam hal ini wasiat memiliki pengertian tentang kehendak seseorang mengenai apa yang akan dilakukan selanjutnya dengan hartanya yang dimiliki, maka dari itu, warisan merupakan sebuah hal yang memilii keterikatan dengan harta benda yang diwariskan kepada ahli waris. Wasiat marupakan pernyataan kehendak dari seseorang mengenai apa yang akan dilakukan kepada semua hartanya ketia kelak meninggal dunia. Adapun ayat al-qur'an yang mengatur tentang wasiat dalam kewarisan yaitu: surat al-baqarah ayat 180-182 yang mengatur tentang keqajiban dalam berwasiat ketika sudah meninggal dunia, dalam surat al baqarah ayat 240, dalam surat an-nisa ayat 12, dan surat al-ahzab ayat 6.
Dalam istilah wasiat dikenal nama wasiat wajibah, pada pemvahasa selanjutnya akan menyinggung tentang pembatasan wasiat wajibah. Dalam sahih bukhari menjelaskan bahwa wasiat tidak boleh melebihi 1/3 dari harta setelah dikurangi oleh semua hutang, walau demikian jika ada wasiat pewaris yang lebih dri 1/3 Â harta peninggalan maka diberlakukan 2 cara yaitu dikurangi sampai batas sepertiga harta peninggalan atau diminta kesediaan ahli waris yang ada apakah mereka mengikhlaskan kelebian wasiat atas sepertiga harta peninggalan tersebut.