Mohon tunggu...
ahmadnoor
ahmadnoor Mohon Tunggu... profesional -

Penggemar the Beatles yang main gitarnya gak pernah mahir-mahir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Takbiran

11 September 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:38 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Waktu aku kecil, malam takbiran merupakan momen yang paling dinanti. Pada hari itu, sejak sore, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul.  Tiap anggota keluargaku sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ibuku memasak makanan lebaran, opor ayam, rendang kalio, dan sambel goreng ati. Kakak-kakak perempuanku membantu membuat ketupat dan yang lain lain sibuk menggoreng kacang. Sementara adik-adiku membereskan ruangan, menyapu, membersihkan kaca atau mengganti taplak meja.

Kue-kue lebaran sudah jauh-jauh hari dibuat oleh adik perempuanku dan dimasukkan ke dalam toples-toples kaca sederhana.

Jam 8 malam biasanya aku keluar membeli kembang sedap malam di Pasar Pagi, dan aku masukkan dalam vas yang sudah disiapkan. Permen dan kue coklat untuk anak-anak juga sudah dimasukkan dalam toples ukuran sedang.

Sendau gurau terasa kental, menambah kehangatan di tengah sempitnya ruangan. Pokoknya, rumah kecil kami seperti sesak, karena beberapa saudara sepupu kami yang yatim biasanya ikut menginap. Hingga pukul 2 pagi barulah satu persatu memaksakan diri tidur untuk bersiap sholat Ied. Rutinitas tahunan yang seperti tak pernah hilang dari memoriku tiap kali gema takbir mengumandang.

Saat hari kemenangan tiba, kami semua berkumpul --sama seperti keluarga lain, saling bermaaf-maafan antar anggota keluarga. Menjelang siang, hingga sore tiba, tamu-tamu terus berdatangan. Kerabat-kerabat selalu datang ke tempatku. Maklum, Bapakku merupakan orang tertua di keluarganya yang ada di Jakarta. Rumah kecil itu kian sesak. Apalagi banyak anak-anak, keponakan yang berlarian ke sana kemari. Cape dan penat memang. Tapi itulah inti hari Kemenangan. Semua rasa lelah seperti terbayar lunas karena keikhlasan. Semua seperti kembali ke fitrahnya. Suci kembali.

Hingga bapakku wafat tahun 2006 suasana takbiran di tahun berikutnya, meski hampir sama, ada sedikit kehampaan tanpa kehadiran dirinya. Biasanya beliau kerap berkelakar dan ikut meramaikan suasana dan setelah itu duduk sendiri di kamar sambil bertakbir. Kini sendau gurau seperti terasa datar. Dan kian terasa ketika prosesi rutin bermaaf-maaf-an saat Idul Fitri tiba. Terasa sekali bedanya tanpa hadirnya bapakku.

Ibu, sepeninggal ayahku, acap terlihat murung. Sebagian jiwanya seakan tercerabut. Saat-saat seperti itu, aku dan kakakku seringkali mencoba besarkan hati ibuku. Rupanya kehilangan itu menyesakkan hati wanita yang terlihat semakin tua itu dan sepertinya memicu sakit yang akhirnya mengantarkan ibuku dirawat di rumah sakit beberapa kali. Beberapa momen lebaran bahkan dilewatkan ibuku di pembaringan.

Adikku lelaki yang paling kecil lah yang selalu mendampingi ibu saat dirawat di rumah sakit maupun di rumah. Rupanya Tuhan berkehendak lain, awal 2012 adikku justru dipanggil lebih dahulu. Dan hanya tiga bulan berselang, ibuku pun menyusul.

Tahun ini, tidak ada ketupat, opor maupun rendang kalio lagi dibuat di rumah itu. Tidak ada kelakar lagi seperti dulu. Rumah kecil yang dulu penuh kehangatan dan kelakar kini menjadi sepi. Kakakku dan adikku sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing. Tahun ini kerabatku setelah Ibu dan Bapakku meninggal juga tidak datang lagi.  Rumah seakan tak berjiwa lagi.

Mengenang masa-masa indah, seakan menyesakkan. Aku berkhayal, dan sedikit meminta, andaikan Tuhan bisa mengembalikan masa-masa itu... meski hanya sekejap saja.. Aku akan tunjukkan kepada orangtuaku aku sangat menyayangi dan mencintai mereka.

Tapi waktu telah bergulir ke depan. Jejak-jejak yang ditinggalkan memang masih terus ada dalam ingatan, meski akhirnya perlahan tersapu oleh angin waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun