Munculnya 4 versi UU Cipta Kerja menjadi preseden buruk dan memperkeruh keadaan sosial dan politik antara Pemerintah, DPR dengan rakyat Indonesia. Sebuah kecacatan prosedural dan proses dari sebuah produk setingkat UU yang mengatur hajar hidup rakyat Indonesia.
Rentetan ini berdampak kepada berlanjutnya protes dan unjuk rasa hampir di 34 Provinsi dan banyak kabupaten. Hari ini pun unjuk rasa penolakan terus berlangsung di sekitar Istana Negara. Rakyat mesti berhadapan dengan aparat kepolisian, penangkapan, pemukulan dan luka karena memperjuangkan aspirasi menolak UU Ciptaker.
Sampai saat inipun, keruhnya informasi, bertebarannya hoax, tudingan tanpa data dan fakta terhadap ada dalang unjuk rasa menambah marah rakyat, dan buteknya komunikasi pemerintah dengan rakyat.
Setidaknya, ada tiga tudingan bercampur dengan fitnah. Di samping empat versi draf RUU Ciptaker yang diketok baru diketik ulang menjadi sumber mis informasi dan haox.
Pertama, SBY dan Partai Demokrat. Tudingan fitnah ini muncul melalui buzzer terorganisir. Muncul setelah Partai Demokrat dengan tegas menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Fitnah yang ditebarkan adalah akasi demo besar-besaran dari organisasi buruh, mahasiswa didanai oleh SBY dan Demokrat. Fitnah serupa juga pernah ditudingkan pada aksi 411 yang digelar di Monas.
Kedua, KAMI menjadi dalang dan menunggangi aksi unjuk rasa dan juga kerusuhan yang terjadi. Dengan menggunakan media spanduk mencoba menggiring persepsi rakyat, bahwa penolakan ini tidak murni dari buruh, mahasiswa dan elemen rakyat lainnya. Apalagi dengan adanya penangkapan aktifis KAMI menambah bahwa pemerintah tidak serius mendengarkan keinginan untuk pembatalan UU Ciptaker.
Ketiga, Pihak Asing. Tudingan ini berasal dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Tentu ini menjadi bagian dari cara mengelak untuk tidak dipertanyakan persoalan sikap Prabowo dan Partai Gerindra ikut meloloskan UU Cipta Kerja dengan empat versi yang berbeda. Tudingan pihak asing menjadi hambatan tambahan untuk membersihkan halangan komunikasi pemerintah dengan rakyat.
Semestinya tugas pemerintah adalah memberikan rujukan "kebenaran informasi" bukan malah sebaliknya kebenaran sepihak beserta tudingan tak berdasar. Kebenaran informasi ini akan membuka ruang dialog dan kejernihan komunikasi untuk mampu meredam kemarahan rakyat yang aspirasi dan suara mereka didengar dan diakomodir.
Jangan sampai, kekhawatir kita tenggelam dalam perang informasi & perang hoax tak berkesudahan antara pemerintah dengan rakyat. Yang akan berujung kepada "chaos sosial" yang sangat merugikan kita sebagai bangsa.
Untuk langkah tersebut menghindari chaos sosial akibat saling tuding. Keinginan dari AHY mendorong pemerintah untuk dengarkan aspirasi masyarakat lewat upaya dialog dan buka saluran komunikasi adalah langkah terbaik. Bukan hanya kepada pihak yang dukung UU Ciptaker, tapi juga kepada pihak yang tolak UU Ciptaker.
Bagaimanapun, tanpa kebenaran informasi yang terbuka, transparan dan kejujuran, maka tudingan terus menjadi peluru dari bentuk ketidakmampuan mengambil langkah dialog dan membuka komunikasi. Dan akhirnya kehidupan berbangsa kita menjadi kerdil dalam berfikir, sempit nurani dan keruhnya hati.
Sebagai tambahan, cukuplah menggunakan buzzer terorganisir sebagai peluru hoax dan mengadu domba sesama anak bangsa, antara pemerintah dengan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H