Mohon tunggu...
Ahmad Muttaqillah
Ahmad Muttaqillah Mohon Tunggu... Dosen - Berjuanglah menuju persatuan dan kesatuan

Praktisi Pendidikan MP UIN Jakarta Dosen Luar Biasa UMJ/UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung dalam Sangkar

12 Juli 2021   19:03 Diperbarui: 23 Juli 2021   08:02 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokpri
Dokpri
Burung dalam Sangkar

Pagi begitu cerah, kira-kira pukul 7.00. burung tekukur lokal bersahut-sahutan di atas puncak genting tetangga yang yang berseberangan. Yang satu di sebelah barat dan seekor lagi di sebelah timur. Biasanya tekukur itu menderuk sendirian, kini ada dua ekor. Rupanya ia sudah berkawan. Bersahut-sahutan sambil memandangiku yang sedang menyiram beberapa tanaman di antaranya lengkuas, kunyit, salam, kembang sepatu, dan sebagainya.

Sengaja tanaman-tanaman itu kupeliahara agar tak selalu pergi ke dokter. Suatu hari anakku yang duduk di bangku kuliah, Arul sakit panas memerah di wajahnya. Aku bingung, lalu kutanyakan kepada istri.

"Neng, anak kita sakit, bawa ke dokter nggak?"

"Ah... nggak usah. Dia kurang istirahat karena terlalu sibuk di kampus. Biar saja ia beristirahat dulu. Terus kasih madu dan rebusan daun jambu batu."

"Kalau besok pagi masih panas badannya, baru segera kita bawa ke dokter." lanjutnya.

Aku segera mengambil tindakan darurat sesuai dengan saran istriku. Beberapa daun jambu batu yang tua-tua dan setengah tua aku rebus, setelah masak dan airnya sudah setengah wadah, segera kusaring dan kutuang ke gelas. Madu sesendok kucampurkan dan kuaduk-aduk, setelah itu kuminumkan.

Setelah itu, ia pun tertidur lelap sampai subuh. Pagi-bagi sekali ia sudah bangun dan tampak segar. Usai sarapan pagi kuminumkan lagi ramuan itu. Akhirnya ia pun sudah dapat beraktivitas kembali dan sehat. Badannya yang merah sudah kembali normal.

"Alhamdulillah sudah kembali normal." gumamku.

Siang dan malamnya kuminumkan kembali satu gelas. Kini ia tak jadi kubawa ke dokter.

Usai menyiram tanaman segera aku membeli roti sebagai teman hidangan kopi yang sejak bakda subuh sudah disiapkan istriku. Dua anak gadisku Amel dan Mahdiah keluar dari kamarnya segera membantu ibunya di dapur. Amel mencuci piring dan Mahdiah mengangi nasi yang sudah tanak.

Biasanya nasi itu dimasak di rise cooker atau kompor listrik, kali ini sengaja sudah beberapa hari tidak dimasak di kompor listrik supaya terasa lenak dan lezat. Namun setelah ditanak harus diangi terlebih dulu.

 Sambil menunggu nasi sarapan pagi dihidangkan istriku, aku menyempatkan diri untuk salat duha. Usai salat duha aku keluar menatap burung-burung tekukur yang masih bersahut-sahutan. Burung-burung itu memandangi kandang kosong yang digantung di pagar balkon rumahku. Ya, rupanya burung itu tak segera menjauh dari rumah sejak beberapa bulan kulepaskan. Ia pernah menghilang kini kembali dengan kawanan yang entah dari mana.

 Biasanya tiap pagi burung itu bertengger sendirian sambil menderuk di atas genting. Kini ia sudah berpasangan.

 Tekukur itu bukan milikku tapi milik anakku yang ketiga, Daffa. Beberapa waktu lalu ia mengmbilnya usai bermain bola saat menjelang magrib. Burung itu masih bayi, basah dan sangat kepayahan. Lalu ia membawanya ke rumah, dan memasukkannya ke kandang bekas yang masih kosong. Tiap hari diberi makan beras halus yang dipapaknya[2]. Lalu disuapinya perlahan-lahan. Sebulan, dua bulan, dan seterusnya tekukur itu sudah berbulu panjang, dan mulai menderuk. Setiap pagi aku menikmati suaranya.

 "Yah, burung itu, kan sudah bisa makan sendiri, lepas aja supaya bebas." saran Daffa padaku.

 Lama sekali aku enggan melepasnya karena suaranya yang merdu. Namun aku terus merenung, sambil mendendangkan lagu "Burung dalam Sangkar," yang pernah dinyanyikan oleh Emilia Contessa.

 "Wahai kau burung dalam sangkar
sungguh nasibmu malang benar
tak seorangpun ambil tahu
duka dan lara di hatimu

Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa

Batin menangis hati patah
riwayat tertulis penuh dengan
tetesan air mata

Sungguh ini suatu ujian
tetapi hendaklah kau bersabar
jujurlah kepada Tuhan

Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa

Batin menangis hati patah
riwayat tertulis penuh dengan
tetesan air mata

Sungguh ini suatu ujian
tetapi hendaklah kau bersabar
jujurlah kepada Tuhan

Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa."

 

Lagu itulah yang terdendang dalam hatiku setiap saat, dalam bebrapa bulan lamanya, kira-kira satu tahun aku segera melepaskannya karena sayap dan paruhnya sudah cukup kuat untuk terbang dan mencari makan sendiri.

 Aku masih mendengarkan suara tekukur yang bersahut-sahutan di atas genting. Bunga-bunga sepatu yang merah tua dan cerah sudah merekah. Mataku menatap tak melepaskannya. Bunga itu dulu kecil sekali kupotes dari kaki Gunung Salak saat liburan bersama keluarga, sebagai kenangan untuk anakku Amel, yang setiap pagi merengek minta bunga sepatu untuk praktik pelajaran ilmu pengetahuan alam. kini menjadi pemandangan indah sepanjang hari saat aku kelelahan dari pekerjaan.

Kosakata:

diangi: dikipasi agar dingin

potes: petik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun