Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Integritas yang Ternodai, Fenomena Aparatur Negara yang Melanggar Amanah Demi Rupiah

2 Desember 2024   07:03 Diperbarui: 2 Desember 2024   07:03 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Judul. (Sumber: ilustrasi pribadi)

Berdarkan penjelasan tersebut, penulis akan mencoba menjelaskan siklus terjadinya pungli secara sederhana, tanpa melibatkan teori-teori yang rumit.

Ketika seseorang masuk ke dalam instansi (sebut saja si “baru”), ia tentu menanggung hak dan kewajiban. Dalam realitanya, hak dan kewajiban seringkali tidak seimbang bukan? Kita dituntut melakukan banyak hal, dituntut ahli dan cakap dalam banyak hal. 

Namun terkadang reward yang kita dapatkan tak sesuai dengan output. Umumnya, bagi seseorang yang baru masuk ke dalam sebuah instansi, ia bisa mentolerir hal tersebut, ini bisa dikarenakan rasa excited karena baru diterima atau karena memang ia sudah terbiasa dengan siklus tersebut.

Singkat cerita, si “baru” ini berada pada sebuah kesempatan dimana ia bisa melakukan pungli, hanya saja ia memilih untuk tidak melakukannya. Mungkin karena prinsip atau rasa takut ketahuan atasan. Satu—dua kali pola yang sama terjadi si “baru” tetap kukuh, hingga akhirnya setelah beberapa kali melewati pola yang sama, muncullah rasa penasaran, dan sebuah tanya. Gimana sih rasanya pegang duit pungli?

Waktu pun berlalu, hingga datanglah kesempatan yang berikutnya untuk melakukan pungli, dan boom. Adanya kombinasi antara kesempatan dan kewenangan makin memuluskan jalannya, ia akhirnya melakukan pungli untuk pertama kalinya. tetapi setelah itu ia langsung menyesal. Ini wajar sebab saat itu si “baru” masih berpegang teguh pada prinsip hidupnya. 

Namun, perlu diketahui bahwa si “baru” ini, yang melakukan pungli karena ada kesempatan. Hanya persoalan waktu sampai ia menjadikan pungli sebagai salah satu bad habits miliknya. 

Bukan tanpa alasan, sebab dalam perjalanannya ia akan menyadari bahwa ada yang “tidak seimbang,” antara apa yang ia lakukan sebagai sebuah kewajiban terhadap negara (dalam hal ini, pekerjaannya sebagai aparat negara dan membayar pajak,), apa yang harus ia lakukan sebagai sebuah kewajiban terhadap keluarganya (dalam hal ini menafkahi secara lahiriah anak, istri, orang tua) dengan apa yang ia dapatkan sebagai sebuah hak (dalam hal ini, gajinya sebagai aparat negara, kasih saying keluarga, dsb).

Jika kita perhatikan, ada ketidakseimbangan antara ketiga hal tersebut. Dimana kewajiban lebih banyak dan cenderung lebih berat secara subtansi disbanding hak. Inilah yang kemudian memunculkan tekanan sosial. psikologis, dan ekonomi. 

Berimplikasi melahirkan dorongan dalam diri, untuk melakukan apapun yang bisa menjaga agar ketiga hal tersebut tetap seimbang. Salah satunya dengan melakukan perbuatan yang sama (pungli), hingga akhirnya si “baru” ini pun menjadi bagian dari oknum.

Namun, selain tekanan karena ketidakseimbangan, ada faktor lain yang bisa mempengaruhi si “baru”, yaitu lingkungannya. Kita semua tentu tahu kebanyakan instansi yang ada kini telah tercemar oleh perilaku-perilaku tidak terpuji.

Ketika orang-orang dengan perilaku buruk semakin meningkat secara kuantitas, maka dapat diprediksi, bahwa mereka yang ada di sekitarnya pun bisa terdampak perilaku buruk tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun