Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KDRT: Sebuah Kejahatan yang Bersembunyi di Balik Pernikahan

1 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 1 Desember 2024   23:12 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi judul. (Sumber: Hasil Editan Pribadi Di Apk canva.com)

Dan di daerah-daerah tertentu, lebih banyak lagi mitos yang beredar terkait KDRT, disebabkan kuatnya dominasi kultur adat yang masih sangat kental ibarat susu kental manis. Yang kemudian diyakini masyarakat kita sehingga mempengaruhi pola pikir dan tindakan terhadap KDRT.

Apakah kemudian mitos tersebut lah yang menjadi penyebab mengapa KDRT sulit terungkap? Iya, tapi kontribusi mitos di zaman sekarang tidak sesignifikan dulu, sebab perlahan tapi pasti teknologi menjawab bahwa ada cacat logika dalam beberapa mitos yang beredar di masyarakat kita.

Lalu mengapa KDRT masih sulit terungkap, bahkan sangat tinggi? Berdasarkan data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), jumlah kasus KDRT dari 1 Januari 2024 hingga saat ini (saat tulisan ini dibuat) sejumlah 24.277 kasus, dengan rincian 21.030 korban perempuan dan 5.327 korban laki-laki. Jumlah ini sangat tinggi dibandingkan masalah sosial lainnya seperti tawuran. Dan perlu diingat, ini baru yang tercatat secara resmi. Bagaimana dengan yang belum terinput? Sebanyak apa? Apa penyebabnya?

Penulis akan mencoba menjawabnya. Pertama, karena ruang lingkup KDRT itu sendiri yang memang cenderung tertutup (privat) Hal ini membuat pihak luar, seperti tetangga, kerabat, atau masyarakat, sulit mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam suatu hubungan rumah tangga. Dan karena sifatnya yang privat itulah banyak orang enggan ikut campur meskipun mereka curiga bahwa KDRT terjadi. Efek snowballnya? KDRT bisa terus terjadi tanpa adanya intervensi dari pihak luar.

Kedua, ini sebenarnya sudah dijelaskan diatas, KDRT  diyakini sebagai hal yang wajar sebab ia merupakan representasi atas kehendak suami dalam memperlakukan istri, yang bila kita coba runut lebih jauh kehendak ini didasari atas perasaan “memiliki hak” sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Perasaan “memiliki hak” ini tidak hanya didasarkan pada status sosial sebagai kepala keluarga tetapi juga sering kali diperkuat oleh pemahaman yang salah tentang nilai-nilai agama atau budaya tertentu yang memberi legitimasi pada dominasi suami atas istri.

Ketiga, KDRT terjadi dalam proses yang legal, yaitu pernikahan. Inilah yang kemudian menimbulkan kerumitan, sebab masih banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya KDRT sebenarnya sudah diatur dalam UU UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ketidaktahuan inilah yang kemudian menyebabkan penormalisasian masyarakat terhadap masalah KDRT, yang berimbas pada minimnya laporan KDRT yang diterima. Lebih lanjut, mereka memendam masalah tersebut sendiri disertai dengan kebingungan dalam menyelesaikannya.

Selain ketiga faktor tersebut, salah satu penyebab utama KDRT ini bisa bermain “petak umpet” adalah karena kuatnya dominasi budaya kita. Dimana budaya kita menekankan ikatan kekerabatan dan kekeuargaan yang begitu kuat. Sebagai contoh, jika seorang wanita mengalami kekerasan. Lalu ia pergi ke keluarganya (baik itu keluarga dari pihaknya mapuk dari pihak pasangan/mertua) untuk menceritakan kekerasan yang dialaminya tersebut. Bukannya menanyakan kondisi fisik dan psikis wanita tersebut, pihak yang dipercaya sebagai tempat untuk bercerita malah menanyakan “kamu sudah melakukan kesalahan apa sampai suamimu bisa marah dan memukulmu?”, pertanyaan ini bukannya menenangkan malah cenderung menyudutkan si wanita, seakan-akan dialah penyebab kekerasan itu terjadi, dialah yang menjadi tersangka dan si lelaki lah yang menjadi korban. Dan tak henti sampai disitu, pihak yang ditempati untuk bercerita malah memberikan pesan atau semacam wejangan agar istri bisa bersikap lebih patuh nan taat pada suaminya.

Stereotip Tentang Perempuan Sebagai Korban KDRT Di Masyarakat. (Sumber: Hasil Editan Di Apk canva.com)
Stereotip Tentang Perempuan Sebagai Korban KDRT Di Masyarakat. (Sumber: Hasil Editan Di Apk canva.com)

“kok masalah kayak gitu malah diumbar? Itukan urusan rumah tangga kamu”, seperti itulah kalimat yang mungkin sering kita dengar. Membuat pihak yang bercerita seakan-akan seorang tersangka yang membongkar masalah internal dalam dapur rumah tangga.

Setelah mengetahui penyebab-penyebab mengapa KDRT terus eksis sampai saat ini, bahkan meskipun telah ada UU terkait yang mengaturnya, muncullah pertanyaan fundamental tetapi sifatnya klimaks “apa yang bisa kita lakukan?”

Yang pertama, tentu saja membasmi berbagai mitos yang berseliweran tentang KDRT di masyarakat. Masyarakat diharapkan dapat bersifat lebih objektif dalam menyikapi persoalan KDRT yang terjadi di sekitarnya. Diharapkan masyarakat tidak lagi memandang KDRT semata-mata sebagai suatu sebab-musabab kesalahan perempuan tetapi tetapi sebagai masalah yang kompleks yang melibatkan berbagai faktor, termasuk dinamika kekuasaan dalam hubungan, norma-norma budaya yang cenderung berpihak pada kekerasan. Dengan begitu masyarakat bisa lebih aware dengan isu KDRT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun