Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK, Legacy Hukum yang Sekarang Berusaha Dikuasai oleh Aktor Politik

25 November 2024   07:16 Diperbarui: 25 November 2024   17:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wawancara. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)

Alasan penyiraman, serta singkatnya jangka waktu hukuman bagi para pelaku inilah yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah sebenarnya ada dendam pribadi dari instansi lain terhadap Novel selaku bagian dari KPK, yang kemudian membuat mereka melampiaskannya dengan melakukan penyiraman air keras pada beliau?

Selain terror terhadap para pegawainya, salah satu tantangan yang harus dihadapi KPK, yaitu pelemahan institusi melalui revisi undang-undang yang dilakukan oleh orang-orang legislatif. Jika kita melihat perkembangan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, UU ini telah melewati 2 kali revisi, yang pertama UU No. 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang. Lalu yang kedua UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ilustrasi Perubahan UU KPK. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)
Ilustrasi Perubahan UU KPK. (Sumber: Editan Pribadi Di Apk canva.com)

Bagi para ahli dan pengamat, revisi UU KPK ini hanya berpotensi melemahkan KPK, sebagaimana yang dikemukakan juru bicara KPK, Febri Diansyah bahwa terdapat 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK pada UU hasil revisi yang kedua, "Dua puluh enam poin ini kami pandang sangat beresiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan Kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini," kata Febri dalam keterangan tertulis, Rabu (25/9/2019).

Salah satu revisi yang lumayan dibahas saat itu adalah perubahan status pegawai KPK berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN), sebagaimana yang terdapat pada Pasal 24 ayat (2) “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”, ini tentu menimbulkan dilemma, sebab sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa sebagai sebuah lembaga khusus yang didirikan untuk tujuan khusus, seharusnya para pegawai KPK tidak berstatus ASN. Sederhananya, pemberian status ASN pada pegawai KPK, membuat mereka menjadi rentan dikontrol oleh pemerintah dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN tersebut. Dan ini kita baru membahas satu dari total 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK pada revisi UU kedua.

Sebenarnya, intervensi kepentingan politik terhadap KPK tidak bisa dihindari. Karena sejak awal, KPK dibuat oleh orang-orang eksekutif-legislatif. Bahkan ketika kita bicara proses pemilihan pemimpin KPK? Lagi-lagi itu melibatkan eksekutif-legislatif di dalamnya, Mulai dari proses pendaftaran sampai pelantikan. Apa akibatnya? Mungkin saja terjadi lobi-lobi politk dalam proses pemilihannya, yang mengakibatkan para pemimpin yang terpilih nantinya hanya membawa kepentingan dari kelompok mereka masing-masing, tanpa memedulikan lagi kepentingan masyarakat. Sebagaimana yang bisa kita lihat sekarang, revisi UU KPK sudah terjadi dua kali yang tentunya ada campur tangan kepentingan eksekutif-legislatif, belum lagi maraknya kasus korupsi yang sekarang marak melibatkan pegawai KPK itu sendiri. Itu semua adalah hasil campur tangan politik dalam proses penegakan hukum.

Padahal sejatinya, dalam proses penegakan hukum tidak boleh ada intervensi dari aspek non-hukum, ini tentu untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan secara efektif—menyeluruh. Dan sebagai sebuah warisan hukum, sudah seharusnya KPK bersifat independen dalam menjalankan tugasnya.

Tibalah di bagian kesimpulan, memang benar bahwa KPK merupakan representasi harimau yang diutus negara untuk berburu koruptor, dan sebenarnya track record pemburu utusan negara sekaligus warisan reformasi ini sangatlah bagus. Yang kemudian menjadi masalah adalah adanya upaya dari eksekutif—legislatif untuk memotong paksa taring dan cakar harimau milik negara ini. Bila cakar dan taring sudah hilang apalagi yang bisa diharapkan dari seekor harimau selain aumannya? Bila sebuah warisan sudah tercoreng subtansinya maka apalagi yang membuatnya bisa bernilai? Sekian terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun