Ada beberapa wilayah juga yang sudah menjadikan tawuran sebagai bagian dari tradisi/kebiasaan, entah itu dalam rangka mempertahankan harga diri dan kehormatan. Budaya semacam ini lah yang kemudian mendorong seorang individu untuk merespons masalah dengan agresif atau konfrontasi. Remaja di lingkungan seperti ini mungkin merasa bahwa mereka harus "melawan" atau mempertahankan kelompoknya demi mendapatkan pengakuan atau mempertahankan kehormatan. Tawuran menjadi semacam tradisi tidak tertulis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bagi sebagian orang, ini merupakan hal yang lucu, sebab yang kita yakini adalah bahwa sebuah budaya yang diwariskan haruslah budaya yang mampu membentuk karakter dan nilai positif dalam diri individu, serta berkontribusi terhadap keharmonisan dan kemajuan masyarakat secara keseluruhan, dan tawuran jelaslah tidak memenuhi kriteria tersebut.
Selain itu, lingkungan keluarga juga bisa menjadi cikal-bakal munculnya bibit “petarung” ini. Lingkungan yang minim pengawasan dari orang tua, keluarga, atau tokoh masyarakat cenderung membuat remaja lebih bebas untuk terlibat dalam aktivitas yang tidak sehat. Tanpa adanya bimbingan atau arahan, remaja akan lebih rentan terpengaruh oleh teman sebaya atau kelompok dengan nilai-nilai negatif. Tawuran bisa menjadi bentuk pelampiasan kebebasan ini, di mana mereka merasa "bebas" untuk melakukan tindakan agresif tanpa takut konsekuensi.
Selain Faktor Lingkungan, Ada Juga Faktor Pengaruh Media Sosial
Tak dapat dipungkiri, bahwa ada banyak platform sosial media, yang saat ini digunakan, dan telah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat kita, seperti facebook, Instagram, twitter, whatsapp, dan sebagainya. Platform-platform ini memang memiliki banyak manfaat, tetapi ada juga dampak negative yang bisa ditimbulkan akibat penggunaannya, terutama dalam konteks tawuran antar kelompok. Tak jarang, seringkali dijumapi konten-konten yang bersifat negatif maupun dpat mengundang provokasi.
Banyaknya kemunculan konten yang bersifat provokatif, seperti gambar, video, atau tulisan yang mengandung kebencian, sering kali menyebar dengan cepat di media sosial. Konten ini bisa menyinggung kelompok atau individu tertentu dan memicu amarah, yang akhirnya berujung pada aksi tawuran. Dan akibatnya lebih mudah terpancing untuk kemudian menanggapi provokasi dengan kekerasan.
Ada satu fakta menarik yang ingin penulis sampaikan, jika kita perhatikan beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak menyebarnya virus covid-19, ada banyak orang-orang yang muncul di sosial media untuk menceritakan masa lalu mereka sewaktu sekolah, dimana mereka seringkali tawuran sampai menggunakan sajam. Sebut saja Katak Bhizer yang terkenal dengan slogan “Jangan Begitu Ya Lain Kali”, selain itu, masih ada Alex Bhizer, Yunus Sasmita, dan masih banyak lagi orang-orang yang bercerita tentang masa lalu mereka yang berkenaan dengan tawuran. Dimana bagi penulis, ini cenderung dilebih-lebihkan, sebab ada saja bagian yang tidak masuk akal, seperti cerita Katak Bhizer bahwa ia pernah melawan 150 orang sendirian. "Sangat Tidak Masuk Akal Bukan?".
Lucunya, di kalangan anak muda, mereka ini bak motivator, layaknya seorang pahlawan yang menceritakan perjuangannnya melawan penjajah. Bahkan beberapa ada yang menjadikan mereka sebagai idolanya,--dimana sebenarnya masih banyak orang yang jauh lebih layak untuk dijadikan idola daripada mereka. Dan dari sinilah bibit-bibit orang sok jago itu muncul, keinginan untuk meniru idola mereka, membuat mereka terbilang nekat untuk melakukan tindakan-tindakan berbahaya yang dilakukan idolanya itu.
Kadang kala konflik tawuran ini juga bermula dari komentar atau unggahan yang menyinggung, dan kemudian berlanjut menjadi perselisihan fisik. Pengguna sosial media saat ini cenderung “bertindak dulu baru berpikir”. Maksudnya seseorang terkadang berkomentar tanpa memikirkan dampak atau konsekuensi dari kata-kata mereka. Yang dimana tujuan awal komentarnya untuk candaan atau sekedar kritik ringan bisa dianggap sebaliknya oleh pihak tertentu, inilah yang kemudian disebut dengan istilah “mental sosmed” atau "mental online".
Penjelasan diatas tadi merupakan gambaran singkat terkait bagaimana eksistensi tawuran yang terus menerus meningkat selama beberapa tahun dekade belakangan ini. Serta bagaimana faktor-faktor psikologis serta realita di masyarakat mempengaruhi dinamika perkembangan eksistensi dari tawuran ini. Sebenarnya selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada lagi faktor-faktor lainya yang turut mempengaruhi arah perkembangan tren tawuran ini, baik itu faktor dalam bidang sosial maupun ekonomi, dan faktor dari bidang-bidang lainnya.