Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Hukum Tak lagi Berdiri Sendiri: Pengaruh Kepentingan di Balik Aturan

26 Oktober 2024   06:07 Diperbarui: 27 Oktober 2024   20:19 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Hukum Tak Lagi Berdiri Sendiri: Pengaruh Kepentingan di Balik Aturan

"Hukum itu tumpul ke atas tapi runcing ke bawah" merupakan istilah yang sangat sering kita dengar hari ini terutama ketika ada berita yang berkaitan dengan hukum, mulai dari konteks pembuatan produk hukum sampai proses penegakan hukum. Selain istilah diatas, "tebang pilih"dan "aparat hukum itu maju tak gentar membela yang bayar", merupakan contoh istilah berkonotasi negatif lainnya yang sering kali masyarakat gunakan ketika membicarakan hukum. Istilah-istilah ini muncul sebagai bentuk kekesalan dan kekecewaan dari masyarakat yang sudah "muak" melihat ataupun mendengar berita tentang ketidakadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Para penegak hukum yang seharusnya mengemban tugas sebagai pelindung dan pembela keadilan, justru bertindak di luar harapan dengan menunjukkan sikap yang berpihak pada kepentingan pihak tertentu. Dimana mereka sering kali dipengaruhi oleh uang, status, jabatan maupun koneksi dalam menjalankan proses penegakan hukumnya. Ketika kasus melibatkan individu dengan kekayaan atau posisi tinggi di masyarakat, proses hukum yang seharusnya berlaku tegas dan merata justru sering kali melemahkan, bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan finansial atau status sosial yang mentereng, perlindungan hukum terkadang terasa lemah atau bahkan diabaikan, menciptakan jurang ketidakadilan yang semakin meluas di mata masyarakat.

Hal ini tentu mengundang keprihatinan serta kecemasan, sebab hukum yang seharusnya menjadi sesuatu yang berdiri tegak, netral, dan tidak pandang bulu dalam penegakannya. Justru dalam kenyataannya, sering kali terlihat seperti alat yang dapat diarahkan oleh kepentingan tertentu. Kita tentu berharap semua orang mendapat perlakuan di muka hukum yang sama adilnya "equality before the law", tanpa dipengaruhi oleh status sosial, kekayaan, atau jabatan dan koneksi. Hukum yang benar-benar independen memungkinkan hal semacam ini ada. Dengan hukum yang “berdiri sendiri”, masyarakat akan merasa aman dan percaya bahwa sistem keadilan dapat melindungi mereka, tanpa khawatir pada pengaruh eksternal yang dapat mengganggu prosesnya. 

Namun, adanya campur tangan unsur non hukum dapat membuat hukum tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu sebagai sarana pengendali sosial dan perubahan. Dan ketika fungsi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, tujuan hukum yang dikemukakan Thomas Hobbes yaitu "untuk menciptakan ketertiban sosial" tidak akan tercapai.

Dan dalam realitanya, beberapa kekuasaan besar sering kali mencoba menerobos ke dalam ranah hukum, demi mengamankan kepentingan yang bersifat pribadi milik mereka masing-masing. Seperti yang terdapat pada ilustrasi diatas, hukum yang disimbolkan sebagai mahkota, dimana ini merujuk pada pemerintah atau otoritas negara, berusaha diraih oleh tangan-tangan orang dari politik, ekonomi, budaya bahkan agama. Tangan-tangan dari orang-orang yang tak tahu malu ini mencoba mengatur dan mengarahkan aturan-aturan yang berlaku agar sesuai dengan tujuan mereka.

Contohnya dalam konteks kepentingan politik. Terkadang, peraturan atau keputusan yang seharusnya tegas dan berwibawa bagai komandan perang bisa menjadi lunak bagai banci ketika melibatkan tokoh-tokoh yang berpengaruh. Misalnya, banyak kasus pelanggaran hukum yang dilakukan pejabat tinggi mendapatkan sanksi yang jauh berkali-kali lipat lebih ringan dibandingkan rakyat biasa. Hal ini tentu mencederai konsep keadilan yang seharusnya berlaku secara merata bagi semua kalangan. Tidak jarang pula para tokoh ini berusaha memanfaatkan reputasi dan koneksi mereka untuk mempengaruhi undang-undang atau peraturan demi mengamankan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Misalnya, mereka mungkin melakukan lobi untuk mendapatkan keuntungan dalam hal kebijakan pajak, regulasi lingkungan,dsb.  Sederhananya apa yang mereka berusaha lakukan adalah menciptakan celah dalam produk hukum yang dimana celah itulah yang akan dijadikan rute pelarian jika besok lusa mereka kedapatan melakukan kejahatan.

Sumber: Editan CANVA dan Lookism Chapter 504
Sumber: Editan CANVA dan Lookism Chapter 504

Contoh lainnya pada konteks ekonomi. Para pelaku bisnis memiliki andil dalam pengaruh terhadap hukum. Contohnya perusahaan besar, terutama dalam industri yang memiliki potensi merusak lingkungan (seperti pertambangan atau pabrik kimia), sering kali memerlukan izin khusus untuk beroperasi. Jika izin tersebut dianggap sulit didapat karena standar atau regulasi yang ketat, perusahaan mungkin menyuap pejabat untuk mendapatkan izin tersebut tanpa melalui proses yang seharusnya. Akibatnya, perusahaan bisa beroperasi tanpa memenuhi standar keamanan atau lingkungan yang memadai, sehingga membahayakan masyarakat dan alam sekitar. Contoh lainnya, Ketika sebuah perusahaan besar atau pengusaha kaya melakukan pelanggaran hukum—misalnya kontaminasi lingkungan, penggelapan pajak, atau pelanggaran hak pekerja, biasanya mereka menyuap aparat penegak hukum agar kasusnya ditutup atau tidak diijinkan lebih lanjut. Hal ini merusak proses penegakan hukum, karena pelaku ekonomi besar bisa “kebal hukum” berkat kekuatan finansial mereka, sementara pelanggaran tersebut dibiarkan tanpa ada sanksi. 

Secara tidak langsung, dua contoh dalam konteks ekonomi di atas menggambarkan bagaimana "hubungan kekerabatan” yang tercipta antara para pengusaha licik ini dengan aparat penegak hukum. Lucunya, hubungan kekerabatan yang tercipta di antara mereka ini bukan hubungan yang tercipta karena adanya  hubungan darah atau perkawinan, melainkan lebih pada perjanjian timbal balik yang saling menguntungkan. Hubungan ini didasarkan pada kepentingan bersama, di mana para pengusaha licik dapat memperoleh perlindungan atau fasilitas yang tidak seharusnya, sementara aparat penegak hukum mendapat keuntungan finansial atau ketidakseimbangan lainnya. Hal ini mengakibatkan munculnya stigma yang negatif terhadap integritas lembaga penegak hukum yang dinilai lemah. dan pada akhirnya berdampak negatif terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Dari dua contoh dalam dua konteks yang berbeda, yaitu politk dan ekonomi, dapat dilihat bagaimana kepentingan dari pihak non-hukum dapat menimbulkan ketidakadilan dan disintegritas hukum. Baik melalui tekanan politik yang mendorong keberpihakan maupun melalui kepentingan ekonomi yang menempatkan keuntungan di atas keadilan, hukum kehilangan otoritasnya sebagai instrumen yang seharusnya netral. Akibatnya, masyarakat sering merasa tidak dilindungi secara merata, dan hukum pun kehilangan kepercayaannya di mata publik.

Lalu bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengembalikan independensi hukum? Soerjono Soekanto, tokoh sosiolog di Indonesia pernah mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu; hukum itu sendiri, aparat penegak hukum , sarana dan prasarana , masyarakat , dan budaya yang berlaku. 5 faktor ini bisa dikaji untuk kemudian dijadikan landasan untuk membuat solusi yang bisa mengembalikan independensi hukum. Berikut pembahasannya;

Pertama, dari subtansi aturan hukum itu sendiri, penting untuk memastikan bahwa undang-undang dan peraturan yang dibuat benar-benar bebas dari kepentingan non-hukum. Aturan hukum harus dirancang dengan tegas, jelas, dan transparan, tanpa membuka peluang bagi celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak luar yang berkepentingan. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan melalui konsultasi publik atau rapat terbuka, aturan hukum dapat lebih mencerminkan kebutuhan kolektif masyarakat dan terhindar dari intervensi politik atau ekonomi.

Yang kedua, para aparat penegak hukum, independensi penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi menjadi kunci untuk menolak pengaruh eksternal. Penegak hukum yang profesional dan berintegritas tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan politik atau ekonomi yang merugikan. Untuk mencapai hal ini, pelatihan yang memperkuat integritas dan sistem akuntabilitas yang ketat sangat diperlukan. Pelatihan seperti pendidikan anti-korupsi dan etika profesional dapat membantu membentuk penegak hukum yang lebih berani dan fokus pada keadilan.

Sumber: Editan CANVA dan Lookism Chapter 450
Sumber: Editan CANVA dan Lookism Chapter 450

Selain itu, sarana dan prasarana yang memadai juga menjadi faktor penting. Ketika lembaga penegak hukum memiliki fasilitas yang memadai, mereka tidak perlu bergantung pada dukungan finansial atau sumber daya dari pihak luar yang memiliki agenda tertentu. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa sarana dan prasarana lembaga hukum, baik dalam hal teknologi, anggaran, maupun tenaga kerja, telah terpenuhi sehingga penegak hukum dapat beroperasi secara mandiri.

Masyarakat pun memiliki peran penting dalam menjamin independensi hukum. Dengan adanya kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat, proses hukum dapat diterapkan secara ketat dan transparan. Ketika masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya sistem hukum yang adil, mereka akan lebih kritis terhadap keputusan-keputusan yang tampak berpihak dan lebih vokal dalam menuntut transparansi. Partisipasi ini memberikan tekanan bagi lembaga hukum untuk bertindak adil dan mandiri tanpa dipengaruhi oleh kepentingan selain hukum.

Terakhir, budaya hukum yang berkembang di masyarakat turut mempengaruhi cara hukum ditegakkan. Budaya yang menghargai transparansi dan keadilan akan membentuk landasan yang kuat bagi sistem hukum yang independen. Untuk membentuk budaya seperti ini, pendidikan hukum sejak dini perlu ditanamkan agar masyarakat lebih sadar akan hak dan kewajibannya, serta memahami bahwa hukum adalah milik bersama, bukan milik pihak tertentu. Kampanye publik yang menekankan pentingnya keadilan dan independensi hukum juga dapat membantu membentuk budaya hukum yang positif.

Dengan solusi-solusi yang didasarkan atas pendapat Soerjono Soekanto, penulis berharap hukum dapat kembali ke jalur yang seharusnya—menjaga keadilan tanpa memandang bulu. Hanya dengan begitu, hukum akan mampu berdiri sendiri sebagai benteng keadilan bagi semua orang, tanpa memandang harta, jabatan dan status sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun