Dalam situasi semi formal, Bahasa Sunda sering digunakan dalam berbagai acara yang tidak sepenuhnya resmi, seperti pertemuan keluarga besar, acara komunitas, kegiatan organisasi lokal, hingga diskusi santai di lingkungan kerja. Dalam konteks ini, penutur biasanya menggunakan ragam bahasa sedang atau lemes, tergantung kepada siapa mereka berbicara. Misalnya, saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati, penutur akan memilih kata-kata yang lembut dan sopan, seperti menggunakan kata abdi (saya) dan punten (maaf) untuk menunjukkan rasa hormat. Di sisi lain, kepada rekan sebaya, ragam bahasa yang digunakan lebih santai tetapi tetap mempertahankan unsur kesopanan yDalam situasi formal, seperti rapat resmi, pidato dalam acara pemerintahan, atau upacara adat, Bahasa Sunda sering kali menjadi simbol identitas budaya dan penghormatan terhadap tradisi. Ragam bahasa yang digunakan dalam konteks ini biasanya adalah lemes pisan, yang merupakan tingkat tutur tertinggi dalam Bahasa Sunda. Misalnya, dalam pidato adat, pembicara sering menggunakan kalimat-kalimat yang penuh dengan metafora atau ungkapan tradisional, seperti "mugi-mugi urang sadayana salamet dina rahmat Gusti Nu Maha Suci" (semoga kita semua berada dalam lindungan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa), yang mencerminkan nilai religius dan kesopanan tinggi masyarakat Sunda. Penggunaan istilah-istilah adat juga memperkaya makna dari komunikasi formal, menjadikan Bahasa Sunda tidak hanya sebagai sarana penyampaian pesan, tetapi juga sebagai bentuk pelestarian tradisi leluhur ang menjadi ciri khas budaya Sunda.
Lebih jauh lagi, Bahasa Sunda dalam situasi formal juga sering digunakan dalam pengajaran di sekolah, khususnya di Jawa Barat. Sebagai mata pelajaran wajib, Bahasa Sunda diajarkan untuk memperkenalkan generasi muda pada nilai-nilai budaya dan identitas daerah mereka. Buku pelajaran Bahasa Sunda dirancang tidak hanya untuk mengajarkan tata bahasa, tetapi juga untuk membangun karakter, seperti rasa hormat, sopan santun, dan penghargaan terhadap keragaman budaya. Hal ini menjadi langkah penting dalam memastikan Bahasa Sunda tetap hidup dan relevan di tengah era globalisasi.
 Dengan demikian, peran Bahasa Sunda dalam konteks semi formal dan formal sangatlah penting, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai sarana pelestarian budaya. Kemampuan bahasa ini untuk menyesuaikan diri dengan berbagai situasi menunjukkan kekayaan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Pelestarian Bahasa Sunda di kedua konteks ini menjadi kunci dalam menjaga identitas budaya masyarakat Sunda agar tetap lestari dan terus diwariskan kepada generasi mendatang.Â
3. Basa Loma Basa Sunda dibagi menjadi empat bagian yaitu:Â
(1) Basa Loma biasanya digunakan saat bicara kepada orang yang seumuran, teman akrab, atau orang yang umurnya di bawah;Â
(2) Basa Lemes biasanya diucapkan untuk berbicara sopan dengan seumuran maupun yang lebih tua;Â
(3) Basa hormat digunakan untuk orang yang lebih tua; danÂ
(4) Basa Cohag adalah bahasa yang paling kasar dan seringkali diucapkan ketika marah.
Dalam berkomunikasi, seseorang akan mempertimbangkan status sosial dan usia lawan bicaranya untuk menentukan cara berbicara yang paling sesuai. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penggunaan bahasa mencerminkan rasa hormat yang tepat. Misalnya, jika berinteraksi dengan seseorang yang lebih muda atau dari strata sosial yang lebih rendah, penutur mungkin akan menggunakan bahasa atau dialek yang lebih santai. Di sisi lain, dalam konteks komunitas yang sama seperti tasikmalaya atau Ciamis, penutur dapat menggunakan dialek yang sama saat berbicara dengan orang dari daerah Priangan lainnya karena adanya kesamaan budaya dan bahasa yang memudahkan komunikasi dan menunjukkan solidaritas sosial.Â
Salah satu contoh penggunaan basa loma yang biasanya digunakan saat bicara kepada orang yang seumuran, teman akrab, atau orang yang umurnya lebih muda ialah sebagai berikut: Nissa: "Eh, Din, PR Matematika kamari geus parat acan?" Dini: "Heueuh, geus. Manh kumaha?" Nissa: "Acan euy, masih lieur knh ngerjakeun nomer lima. Bisa bantuan teu?"Â
Konteks dalam dialog di atas yaitu Nissa bertanya kepada teman sekelasnya apakah PR Matematikanya telah selesai. Dini menjawab sudah dan menanyakan kembali terkait PR Nissa. Nissa mengatakan ia belum mengerjakan PR dan masih bingung dalam mengerjakan nomor lima. Ia meminta bantuan Dini untuk mengajarinya. Dalam bahasa Sunda, kata "heueuh" (iya), dan "maneh" (kamu), dapat dikategorikan sebagai ragam rendah atau dalam bahasa Sunda disebut juga basa loma. Bahasa ragam rendah ini biasa digunakan kepada orang yang seusia atau orang yang telah akrab. Bahasa ini menunjukkan nada yang santai dan tidak formal. Ragam rendah pada dialog tersebut membuktikan diglosia dapat memengaruhi struktur sosial, dalam hal ini dilihat dari segi usia. Kata "heueuh" merupakan bentuk Loma dan bentuk lemes-nya yaitu "muhun". Istilah tersebut umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk percakapan yang santai dalam pergaulan. Kata ini menunjukkan aktivitas yang menunjukkan rasa akrab. Oleh karena itu, sering ditemukan dalam bahasa sehari- hari. Kata "maneh", merupakan bentuk loma dari "anjeun" (berarti 'kamu' dalam Bahasa Indonesia), juga sering digunakan dalam bahasa informal. Kata ini menunjukkan kata ganti orang kedua dan umumnya ditemukan dalam percakapan di antara teman.Diglosia rendah digunakan dalam konteks yang lebih akrab dan informal, seperti dalam percakapan sehari-hari antara individu yang sepantaran. Â