"Ajakan kepada masyarakat bahwa pendapat yang bisa dipegang atau diikuti itu hasil dari musyawarah seperti hasil dari LBM, MUI dan sebagainya bukan dari hasil personal karena tidak pernah diuji," tutupnya
Pembahasannya adalah sebagian daerah badan panitia atau amil zakatnya diangkat langsung oleh pemerintah dengan SK resmi dan sebagian lain terutama pelosok, mereka berinisiatif membentuk sendiri badan panitia dan amil zakat agar mempermudah masyarakat tetapi tidak mendapat SK resmi dari pemerintah.Â
Lalu timbul permasalahan mengenai zakat fitrah berupa beras yang tidak dibagikan kepada mustahik secara keseluruhan, melainkan sisa beras tersebut dijual oleh Badan Panitia atau Amil untuk diuangkan dan dipakai sebagai kemaslahatan langgar atau musholla dan lain sebagainya.Â
Pertanyaan yang diajukan antara lain, Bisakah dibenarkan tindakan menjual beras yang dilakukan oleh panitia atau amil zakat tersebut? Jika dibenarkan apa dasarnya? Jika tidak dibenarkan apa solusinya mengingat permasalahan seperti ini kerap terjadi bahkan hampir setiap tahun?Â
Kesimpulannya yang disampaikan oleh KH Muhammad Naupal Rosyad, S.Pd adalah untuk orang yang ditugaskan menerima zakat fitrah itu adalah mustahik dan yang menerima tadi bukan sebagai wakil atau amil. Karena sudah disepakati orang yang disebut amil adalah yang diangkat pemerintah dengan SK, sedangkan yang tidak mendapatkan SK dari pemerintah disebut wakil atau mustahik. Yang lebih aman adalah sebagai mustahik karena ia berhak menerima dan menjual. Adapun amil tadi menjual itu tidak boleh kecuali darurat. Panitia yang di kampung statusnya sebagai wakil atau mustahik. Maka ambil sebagai mustahik. Jadi terserah ia mau memberikan ke mesjid, musholla, sekolahan maupun tempat akhirat lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H