#2019GantiPresiden Cacat Etika
oleh: Ahmad Munir
Sosial media selalu menjadi media komunikasi yang memiliki dua sisi berlainan, bisa menjadi media yang positif, tetapi juga menjadi media yang negatif. Tergantung siapa yang memanfaatkan, untuk tujuan apa pemanfaatannya? Atau sesuai tidak dengan prosedur dan tata cara berkomunikasi yang benar? Terahir melanggar aturan, norma dan etika atau tidak?
#2019GantiPresi ... menurut saya bermakna kampanye atau ajakan untuk mengganti presiden pada tahun 2019. Dari sisi bahasa #2019GantiPresi ... adalah tag yang digunakan untuk mengkomunikasikan kepada publik, tentang ganti presiden. Klausul "ganti presiden" bermakna mengajak mengganti presiden. Atau dalam bahasa kampanye, lebih mudah digunakan istilah "change" atau "perubahan". Jika dimaknai pada sisi objek yang dituju, maka ganti presiden yang dimaksud adalah mengganti Jokowi.
Kondisi ini jelas cacat etika. Etika sendiri dapat kita maknai standard untuk mengukur penilaian moral. Cacat pertama disebabkan, hastag itu sejenis proses kampanye, yang mendahului agenda pada proses pemilihan capres dan cawapres, tapi dilakukan dengan menggunakan medium gerakan sipil. Jika kita dudukkan posisi mengganti presiden sebagai proses kampanye, maka kedudukan mengganti presiden sama dengan kampanye perubahan, akan tetapi dilakukan sebelum masa kampanye.
Cacat Etika Pertama
Dalam tata hidup dan norma aturan di jawa khususnya, istilah "nguwongke uwong" sering digunakan untuk mengukur seberapa etik orang itu memperlakukan orang lain. Semakin beretika seseorang, maka semakin nguwongke atau dalam bahasa lain semakin mendudukan manusia pada derajat kemanusiaan.
Memanusiakan manusia bisa dari aspek nilai-nilai yang dianutnya, kalau di Jawa nilai unggah-ungguh misalnya, menghormati yang lebih tua, atau yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Presiden dalam kontek ini adalah kepala negara dan pemimpin pemerintahan, yang menjadi tulang punggung rakyat. Kepadanya amanah bangsa dan negara ini dijalankan. Sudah semestinya, kita "nguwongke" presiden, sebagaimana kita memilihnya untuk menjadi pimpinan kita. Tidak semestinya, kita menyampaikan pesan "Ganti saja presidennya 2019, pada saat presiden yang dipilih rakyat masih sedang bekerja". Dari sisi mana, hastag ini bisa kita anggap beretika.
#2019GantiPresiden dapat bermakna serakah. Keserakahan atas kekuasaan dan haus kekuasaan, untuk oknum yang hendak mengganti presiden di 2019. Dengan alasan apapun, tidak bisa dinilai etik, jika pada saat ada pemimpin yang sedang memimpin, tiba tiba anda bilang "ganti saja tahun depan". Ini menciderai pilihan rakyat Indonesia. Presiden yang dipilih rakyat dengan mandat rakyat, secara demokratis.
Catat Etika Kedua
Jika #2019GantiPresi.. dipakai untuk memenangkan Pilpres 2019, maka tag itu mencerminkan proses yang kurang sehat dalam alam demokrasi yang sedang kita bangun. Demokrasi yang menghendaki rakyat memilih pemimpinnya sendiri, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika proses ini dintervensi oleh elit oposisi, maka proses demokrasi dan pewacaaan ganti presiden adalah wacana yang tidak sehat, perspektif alam demokrasi.
Kita dipaksa menerima asupan mentah-mentah, oleh oknum yang menghendaki presiden 2019 diganti. Padahal oknum ini, belum menunjukkan prestasi kerja apapun terhadap pembangunan bangsa dan negara, baik pembangunan mental spiritual, maupun bangunan berwujud fisik. Kontribusi oknum ini tidak lebih, sebatas pada posisi mewacanakan. Mewacanakan kejayaan Indonesia, tanpa melakukan langkah-langkah kerja yang nyata. Kerja yang benar-benar manfaatnya dirasakan oleh suluruh rakyat Indonesia.
Namun rakyat dipaksa untuk menerima asupan wacana ganti presiden. Sementara yang mewacanakan, sekali lagi belum menunjukkan bukti kerja yang konkrit untuk Indonesia. Aktor hastag #2019GantiPresi.. menurut saya catat etika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H