Mohon tunggu...
Ahmad Munir Chobirun
Ahmad Munir Chobirun Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Penulis Lepas, Pengelola Blog ahmadmunir.page.tl

Selanjutnya

Tutup

Politik

Isu Pilgub Jateng 2018, Pabrik Semen Kendeng Jateng

4 Januari 2018   17:05 Diperbarui: 4 Januari 2018   17:14 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ISU PILGUB JATENG 2018:

Pola Relasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil pada Kasus Penolakan Masyarakat terhadap Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah

Oleh: Ahmad Munir

A. Pendahuluan

Isu penolakan masyarakat atas pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah termasuk dalam kategori unik. Pertama, kasus ini melibatkan pola relasi yang komplek. 

Kedua, kasus berkembang melebihi pola biasa yang muncul pada lahan tambang di lokasi lain. Alasan pertama, penolakan tidak serta-merta terjadi, akan tetapi melalui tahapan-tahapan penolakan, sampai pada pencapaian keterlibatan antar aktor yang kompleks. Alasan kedua, keunikan dari sisi kasus justru muncul di Daerah Jawa. 

Permasalahan pendirian pabrik semen muncul dengan penolakan yang demikian kuat. Dasar penolakan pembangunan pabrik semen adalah dasar hidrologis dan ekologis, yaitu hilangnya sumber daya air dan mematikan sektor pertanian di daerah sekitar. 

Beberapa dokumen yang dijadikan rujukan dalam penolakan warga adalah 1) Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah pasal 63 disebutkan daerah tersebut merupakan kawasan lindung. 2) Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang. 

Pada bagian ini, yang menjadi penting bukan pada substansi umum, tapi pada detail tata ruang yang hendak dimanfaatkan, jadi perlu telaah mendalam tentang posisi kawasan Pegunung Kendeng. Padahal pokok kebijakan peraturan-peraturan tersebut tidak berarti melarang berdirinya pabrik semen, akan tetapi serangkaian instrument kebijakan, untuk memastikan keseimbangan lingkungan secara ekologis dapat terjaga. 

Beberapa masalah yang mengemuka, dari kasus penolakan warga, dapat dijadikan pembanding antara dasar masyarakat dan dasar perusahaan. Beberapa pokok permasalahan yang mengemukan antara lain:

1.Identifikasi masalah paling objektif muncul pada prosedur rencana pendirian yang cacat prosedural. Cacat prosedural berarti teradapat prosedur dari rangkaian rencana yang tidak dipenuhi. Prosedur perizinan menjadi faktor penyebab kegagalan beberapa perusahaan berusaha berinvestasi di Wilayah Pegunungan Kendeng. 

2.Rasio luasan lahan untuk kebutuhan pabrik dengan luasan lahan irigasi pertanian di wilayah karst Pegunungan Kendeng Utara masih dalam rasio normal. 

3.Konflik kepentingan antar masyarakat telah terjadi lebih dahulu. Konflik tertutup terjadi sekitar tahun 2008, antar LSM kontra pabrik semen dengan LSM pro pabrik semen. Konflik berkembang menjadi konflik terbuka, pada tahun 2010 konflik berkepanjangan menjadi konflik. Para aktor mewujudkan kepentingan melalui jalur musyarah, konflik hingga hukum. 

4.Secara sistemik, isu penolakan warga direspon kalangan akademis, sehingga justifikasi pada proses akademis semakin menguatkan kekuatan masyarakat. Para aktor mewujudkan kepentingan melalui jalur musyarah, konflik hingga hukum. 

5.Respon pemerintah dalam kaitannya dengan kasus penolakan warga, lebih dominan pada struktur relasi kepentingan elit. Pemerintah dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan atas kasus penolakan warga didominasi.

Hipotesa yang dapat ditarik dari perjalanan kasus adalah relasi struktur kekuasaan dominan pada kasus tersebut. Hipotesa lainnya, pola relasi berkembang menjadi lebih kompleks dengan keterlibatan elemen di luar pemerintah dan masyarakat, apalagi sejak kasus ini masuk ke ruang publik. Kajian akademik ikut mendominasi kajian penolakan warga atas berdirinya pabrik semen di Pegunungan Kendeng. 

Pokok masalah yang muncul adalah apakah problem penolakan muncul akibat substansi dari masalah lingkungan atau substansi dari relasi kepentingan? Apa faktor kunci dan solusi penolakan pembangunan pabrik semen tersebut? 

Paper ini mendiskusikan pokok masalah dengan pendekatan analitis deskriptif, mengacu pada data-data yang digunakan oleh banyak pihak, utamanya pihak berkepentingan pada kasus tersebut. 

Dugaan sementara pada kasus ini, dokumen kebijakan lingkungan baik material maupun formal, pada dasarnya membolehkan berdirinya pabrik semen pada wilayah tersebut. Namun pola relasi kekuasaan tidak mendukung proses berdirinya pabrik. Relasi kekuasaan menjadi jembatan bagi masyarakat untuk memperkuat posisi mempengaruhi pengambil kebijakan.

B.Pembahasan

1.Relasi Struktur Kekuasaan

Relasi struktur kekuasaan didefinisikan sebagai hubungan asosiatif, disasosiatif maupun komplemen yang terbentuk dari struktur-struktur yang ada, baik mewakili kepentingan pemerintah, pengusaha (pemodal), maupun masyarakat sipil (LSM). 

Relasi tidak serta-merta terbentuk, melainkan melalui serangkaian proses keterlibatan, baik secara terbuka maupun tertutup. Pihak yang berhubungan menjadi lebih kompleks, saat isu penolakan masuk dalam ruang publik, serta mendapat tanggapan dari berbagai pihak dari luar.

Hal ini menunjukkan relasi posisi kekuasaan didominasi oleh kepentingan masyarakat. Tekanan masyarakat pada ruang pengambil kebijakan dan memanfaatkan simbol penentu kebijakan dari basis lokal sampai penentu kebijakan di level pusat.

Tekanan masyarakat juga didukung dengan justifikasi akademis, melalui serangkaian aktivitas riset/penelitian. Hasilnya dominasi kepentingan masyarakat menghendaki pendirian pabrik semen dibatalkan. 

Puncak dari besarnya dominasi publik tampak pada keterlibatan pemerintah sebagai aktor komplemen (pelengkap) yang menyatakan sikap ikut mencabut ijin lokasi penambangan tersebut. Fakta ini memperlihatkan dominasi masyarakat sangat kuat, tentu aktor lokal yang merepresentasikan masyarakat memiliki kekuatan dominan mengendalikan pihak pemerintah dan swasta (pemodal). 

2.Analisis Konflik Sumber Daya Alam

Oktaviana (2015) menyebutkan tahapan konflik telah berlangsung di lokasi rencana pendirian pabrik semen, melibatkan berbagai aktor dengan intensitaf konflik yang fluktuatif. 

Terdapat 4 aktor utama; Perusahaan, Pemerintah, LSM dan Warga baik yang pro maupun yang kontra. Konflik sumber daya alam yang dimaksud tidak lebih dari sebatas perebutan klaim akan fungsi jasa lingkungan berhadap dengan eksploitasi sumber daya untuk kepentingan nasional yang strategis. Kasus ini berbeda dengan perebutan SDA misalnya perebutan batas laut antar negara atas SDA laut dan ikan, perebutan pulau penghasil minyak dan lain-lain. 

Argumen lain yang dijadikan landasan pada penolakan adalah marginalisasi terhadap kelompok minoritas lokal. Aktor marginalisasi yaitu negara atau kelompok mayoritas. Kasus penolakan warga di Pegunungan Kendeng Utara tidak memenuhi syarat bagi proses marginalisasi, karena kultur warga adalah mayoritas, yang representasinya didukung oleh mayoritas. 

Mayaritas dalam konteks ini adalah mayoritas menurut organisasi sosial kemasyarakatan, agama, suku dan pendidikan. Jadi argumentasi konflik atas dasar perebutan SDA tidak dapat dibenarkan, melainkan perebutan para ruang klaim atas status Pegunungan Kendeng. 

3.Prosedur Pengelolaan Lingkungan

Diskursus AMDAL sebagai produk kajian pra-pelaksaan proyek di lingkungan tidak linier tanpa kritik. Kelemahan AMDAL sebagai produk kebijakan lingkungan sudah menuai kritik pada aspek pelaksanaan. 

Salah satu bentuk kritik dari kelemahan dokumen AMDAL adalah munculnya dokumen kebijakan lingkungan lain, sebagai antisipasi atas tidak terlaksananya dokumen AMDAL dalam skala rencana, sehingga muncul dokumen kebijakan lain yaitu dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). 

Aspek legalitas, berupa dokumen AMDAL sebagai pra-srayat pelaksanaan kegiatan berlangsung, harus mendahulukan kepentingan masyarakat banyak. AMDAL sebagai syarat prosedural tidak boleh diabaikan, namun tidak berarti pra-syarat tunggal. AMDAL menjadi bahan kajian, untuk dipertimbangkan mengenai dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari aktivitas yang akan dijalankan.  

Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui dalam penyusunan dokumen AMDAL. Jika salah satu tahapan tidak dipenuhi tentu pra-syarat AMDAL menjadi tidak sah. AMDAL juga harus diperbaharui secara berkelanjutan untuk memastikan dampak yang terjadi dari kegiatan proyek, tidak berdampak buruk bagi masyarakat.

 Jadi persyaratannya tidak sebatas mampu dipenuhi, akan tetapi memastikan tidak ada dampak bagi lingkungan dari aktivitas yang dijalankan. Indikator kualitas lingkungan yang paling mungkin berdampak adalah air, tanah dan udara. 

Tiga komponen lingkungan ini objek vital, yang berdampak pada hal lain di sekitar lokasi rencana pabrik. Tiga perangkat hukum yang menjadi instrumen penolakan aktivitas pendirian pabrik semen antara lain: 1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang, 2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2007, 3) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012. 

Perangkat hukum ini mengatur subjek makro atas lingkungan hidup misalnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masih diturunkan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Perangkat hukum yang dimaksud memberi batasan pada objek ruang untuk dibatasi dalam hal pemanfaatan. 

4.Strategi Penyelesaian Menurut Analisis Relasi

Relasi penentu kebijakan publik berhadapan kondisi sosial yang memberikan tekanan. Hal ini bermakna kelompok masyarakat menggunakan langkah mempengaruhi kebijakan publik sebagai penentu. Relasi antar aktor dengan kepentingan masing-masing perlu dipadukan. Luaran yang diharapkan tentu strategi untuk mendapatkan win-win solution, yakni solusi yang dianggap memenangkan semua pihak tanpa ada yang dikalahkan. 

Tabel 1. Berikut tabel pokok masalah yang dihadapi aktor konflik di Pegunungan Kendeng.

dok pribadi
dok pribadi
Strategis penyelesaian berdasarkan pada optimalisasi sumber daya alam menurut perspektif prinsip lingkungan, paling tidak harus memenuhi 4 persyaratan yaitu teknologi yang manajeble, sosial yang acceptable, ekonomi yang profitable, dan lingkungan yang sustainable. 

Keempat prasyarat ini dapat berjalan secara efektif, apabila pihak-pihak yang berkepentingan menyatukan pandangan pada persoalan yang bisa ditangani bersama. Sedangkan persoalan muncul pada saat ruang kesadaran bersama ini dihegemoni oleh salah satu pihak, utamanya pihak yang dominan. 

Kasus penolakan warga lebih banyak dipandang sebagai kehawatiran warga akan hegemoni perusahaan atas lingkungan dan hak atas pengelolaan sumber daya lahan bagi masyarakat sekitar. 

C.Penutup

Hasil analisa pola relasi kekuasaan, kasus penolakan warga atas berdirinya pabrik semen di Pegunungan Kendeng melibatkan dua komponen utama, yaitu pemerintah dan swasta berhadapan dengan masyarakat. Kekuatan komponen masyarakat menjadi dominan sejak isu penolakan mendapat respon dari masyarakat di luar, utamanya kalangan aktivis dan akademisi. Saran atas pemecahan masalah tersebut perlu mengunakan pola relasi win-win solution. 

Daftar Bacaan

Oktaviana, Ganies. 2015. Analisis Konflik Sumber Daya Alam di Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Bogor. Skripsi dipublikasikan.

Wirutomo, Paulus. et.al. (2012). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: UI-Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun