Sudah menjadi rahasia umum jika minyak bukan hanya berfungsi sebagai komoditas penopang sumber energi utama dunia tetapi juga merupakan komoditas politik bagi negara-negara besar di dunia. Sangat naif rasanya jika pembentukan harga minyak dunia hanya dipandang sebagai interaksi penawaran dan permintaan yang biasa dianalisa oleh para ekonom. Melihat perkembangan harga minyak tidaklah cukup hanya bermodalkan instrumen keseimbangan pasar dengan melihat apa saja variabel yang menentukan permintaan minyak dunia dan apasa variabel yang mempengaruhi penawarann minyak dunia. Jika dilihat dari sejarahnya komoditas yang satu ini menjadi komoditas yang sangat krusial sebagai instrumen politik negara adi daya dalam menjalankan politik luar negerinya.
Kejatuhan sistem standard emas bretton woods yang terjadi pada tahun 1971 serta stagnasi ekonomi Amerika pada dekade 70-an melambungkan komoditas yang satu ini menjadi komoditas paling penting di abad 21. Setelah kolapsnya sistem keuangan berbasis standard emas akibat keterbatasan jumlah emas di dunia yang tidak sebanding dengan pengeluaran besar Amerika dalam menjalankan politik luar negerinya yang sangat ekspansif seperti perang Vietnam, membuat negara tersebut harus mencetak uang lebih banyak dibandinkan jumlah emas yang ada. Dengan demkinan harga emas terus melambung jika dibandingkan dengan dollar AS.
Lambat laun Presiden Prancis Charles André Joseph Marie de Gaulle (1969) kala itu menyadari bahwa Amerika mencetak dollar lebih banyak dibandingkan dengan cadangan emas yang mereka miliki. Dengan ditariknya cadangan emas Perancis secara tiba-tiba membuat Amerika tak bisa lagi menjaga nilai dollar terhadap emas serta mempertahankan sistem bretton woods untuk tetap membiayai pengeluarnya yang ekspansif. Secara efektif sistem keuangan bretton woods kolaps pada tahun 1971 yang ditutup secara sepihak oleh Presiden Nixon.
Dengan stagnasinya ekonomi Amerika pada tahun 1973 akibat embargo minyak yang dilakukan negara-negara teluk akibat perang Arab-Israel pada tahun yang sama menyadarkan Amerika bertapa krusial komoditas yang satu ini. Embargo minyak arab membuat harga minyak melambung tinggi dan negara-negara Arab mendapatkan windfall dari embargo tersebut. Harry kisinger serketaris negara Amerika kala itu menyadari bahwa siapapun yang mengontrol harga minyak maka dia akan menguasai dunia.
Hal tersebut menyadarkan kissenger untuk bergegas mengontrol negara-negara Arab dengan mengajukan kerjasama saling menguntungkan antara negara-negara teluk dengan Amerika, di mana Amerika menjamin keamanan negara-negara Arab secara penuh dengan imbal jasa bahwa minyak Saudi Arabia hanya bisa diperdagangkan dengan US dolar. Seketika setelah perjanjian itu dilaksanakan, dolar Amerika menguat luar biasa dan minyak akhirnya berubah menjadi komoditas paling penting hingga dijuluki sebagai emas hitam (black gold). Nilai mata uang dolar yang tadinya disandarkan dalam emas kini telah digantikan dengan minyak sebagai penyanggah mata uang ini. Sistem keuangan ini yang sekarang kita kenal dengan petrodollar.
Menikmati harga minyak yang relatif stabil selama hampir 20 tahun, sontak negara-negara arab dan dunia disibukan dengan anomali harga minyak sejak tahun 2014, di mana harga minyak jatuh pada level terendah sejak 12 tahun terkahir. Teori ekonomi dengan sederhana menjelaskan bahwa kejatuhan harga minyak dipicu oleh meningkatnya produksi minyak dunia jika dibandingkan dengan konsumsi minyak dunia.
[Sumber: IES, 2016]
Peningkatan produksi minyak dunia dipicu oleh “revolusi” shale gas di AS yang sejak tahun 2010 produksi shale gas ini telah setara dengan 30% produksi minyak AS. Produsen shale gas di AS menggunakan metode berbeda dalam menggali minyak bumi di mana alih-alih melakukan eksplorasi vertikal ke dasar lapisan batuan yang mengandung Minyak, Shale gas mengambil sumber-sumber energi yang masih tersisa dalam lubang bekas penggalian sumber energi. Ada yang menyebutnya mengorek lubang bekas penimbunan energi. Cara ini efektif untuk menaikkan laju produksi sumur-sumur minyak yang ada.
Peningkatan produksi minyak AS yang terus berlangsung semenjak tahun 2010 seperti diperlihatkan praga di atas serta diiringi dengan penurunan import minyak AS akibat resesei ekonomi yang terjadi sejak krisis keuangan global membuat harga minyak jatuh dari level 100 US$/barel menjadi hanya 34 US$/barrel pada Februari 2016. Kejatuhan harga minyak juga dipicu oleh peningkatan produksi minyak Negara-negara OPEC terutama Saudi Arabia yang tidak ingin kehilangan pangsa pasar minyaknya yang terancam akibat peningkatan produksi shale gas di AS.
Dengan ongkos produksi minyak yang sangat murah berkisar antara 8-10 dollar/barrel dibandingkan dengan shale gas yang berkisar antara 40-60 US/barrel maka menjatuhkan harga minyak sampai ke harga 30 US$/barrel akan membuat produsen minyak AS keluar dari persaingan.
Jika kita lihat berita beberapa bulan terkahir efek samping dari kejatuhan harga minyak telah membuat beberapa produsen minyak di AS mulai kesulitan dengan kejatuhan harga minyak dan mengurangi investasi untuk eksplorasi. Sangat naïf rasanya jika seluruh dunia menganggap harga minyak dunia akan terus terjun bebas akibat peningkatan produksi shale gas di AS. Karena kita tahu bahwa harga minyak Rusia dan Arab Saudi sangat kompetitif untuk memasok energi baik ke Eropa maupun ke Tiongkok. Dengan ongkos rata-rata produksi yang relatif rendah seperti 15 US$/Barrel untuk Rusia sangat sukar untuk membayangkan bagaimana produsen minyak di AS dapat bersaing dalam jangka pendek dengan produsen minyak tradisional seperti Rusia dan Negara-negara Arab.
Harga minyak akan kembali ke level semula seketika saat produsen-produsen di AS menyadari tidaklah kompetitif bagi mereka untuk meneruskan eksplorasi minyaknya. lantas apa yang membuat pemberitaan mengenai shale gas benar-benar begitu mencuat sehingga secara cepat menjatuhkan harga minyak hampir 60% hanya dalam beberapa tahun?
Jika kita memasukan variabel politik dalam analisa kita dan melepaskan kaca mata kuda analisa ekonomi, kita dapat melihat betapa eratnya hubungan antara harga minyak dengan hubungan politik antara US dan Rusia. Baru-baru ini majalah The Economist mencoba melihat tren hubungan politik luar negeri antara AS dan Rusia.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/17/us-vs-rusia-jpg-56c43377ae9273f2069e7ade.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Jika kita lihat praga di atas setiap kali AS bersitegang dengan Rusia atau USSR sebelum soviet terpecah, setiap kali itu juga harga minyak jatuh seperti yang terjadi pada dekade 80-an saat USSR mencoba menginvasi Afganistan. Namun di saat USSR memiliki kesaman visi dengan AS harga minyak kembali naik. ketegangan di Ukraina dan Syria antara AS dan Rusia sepertinya bakal berbeda dengan ketegangan yang perna terjadi antara AS dan USSR. Eskalasinya menjadi sangat berbeda karena baik Rusia dan AS sepertinya tidak akan mengalah dalam menjaga kepentingan globalnya baik di Timur tengah dan Eropa.
Syiria dengan rezim Basar al-assad sangat berharga bagi Rusia karena hanya di negara inilah Rusia memiliki pangkalan militer yang besar di Timur-tengah. Selain itu Ukraina begitu penting bagi Rusia karena menjadi benteng terakhir bagi Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya di Eropa setelah begitu banyak pecahan soviet yang bergabung kedalam blok aliansi NATO setelah USSR runtuh. Hal ini terlihat dengan dianeksasinya Crimea oleh Rusia karena di sana terdapat begitu banyak basis militer Rusia untuk mempertahankan diri dari negara-negara NATO jika suatu saat konflik benar-benar pecah.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/17/market-share-minyak-russia-vs-arab-jpg-56c43620f49273b512373eb5.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Selain karena kepentingan yang berbeda manufer Rusia di Tiongkok dianggap "mengancam" hegemoni US dollar sebagai mata uang dunia dengan sistem petrodollar-nya. seperti yang dijelaskan di atas, minyak begitu penting bagi dollar Amerika sebagai penyanggah nilai mata uang tersebut karena negara-negara Arab seperti Saudi hanya mau menerima US dollar sebagai pembayaran atas ekspor minyaknya. Akibatnya, dollar AS begitu kuat dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain.
Hal ini akan berbeda kedepan karena Renminbi atau Yuan telah menjadi mata uang internasional dan efektif pada September tahun ini. keengganan negara-negara Arab untuk menjual minyaknya hanya dalam dollar harus dipikir ulang mengingat Rusia telah bersedia menerima Yuan sebagai alat pembayaran ekspor minyaknya. Fleksibilitas Rusia dalam menerima Yuan sebagai alat pembayaran membuat Rusia menjadi negara pengekspor minyak terbesar bagi China seperti yang diperlihatkan tabel di bawah.
[caption caption="Sumber :RBC Capital, 2016"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/17/import-minyak-china-dari-beberapa-negara-jpg-56c43c69e422bd4e07aadabf.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Jika Skenario ini terus belanjut, kemungkinan generasi kita semua akan jadi saksi sejarah keruntuhan petrodolar...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI