Akibat konflik tersebut, baik Rusia maupun negara-negara sekutu saling balas memblas dalam memberikan sangsi ekonomi bagi kedua belah pihak selama satu tahun terakhir. Revolusi shale gas di Amerika serikat yang membuat harga minyak dan gas terjun bebas disengaja atau tidak membuat Rusia yang ekspornya bergantung hampir 80 persen dari ekspor gas dan minyak terpukul. Ekonomi Rusia hanya tumbuh kurang dari satu persen tahun lalu akibat kejatuhan harga minyak dunia. selain itu, kejatuhan harga energi dunia juga membuat mata uang Rusia, Rubel, terjun bebas terhadap dollar AS. Namun, penguatan Rubel beberapa bulan belakangan ini terhadap dollar AS kembali menunjukkan bahwa ekonomi Rusia tidaklah selemah yang diperkirakan barat. Dengan tekad Vladimir Putin untuk terus beridiri tegak mempertahankan dominasi Rusia di Eropa Timur akan membuat para politikus di Amerika Serikat berfikir ulang untuk menambah dosis agar memperlemah ekonomi Rusia.
Salah satu cara yang paling realistis adalah memperkuat mata uang dollar tahun ini agar mata uang Rubel kembali terjerembab. Cara yang dimaksud adalah meningkatkan suku bunga acuan The Fed tahun ini agar mata uang dollar menjadi superior dibandingkan mata uang lain. Dengan meningkatnya suku bunga acuan The Fed maka tidak hanya Indonesia yang akan menaikkan suku bunga domestiknya untuk menahan capital-outflow tetapi juga Rusia. Dengan meningkatnya suku bunga domestik Rusia maka tidak hanya akan membuat Rubel terdepresiasi tetapi juga memukul perekonomian domestik Rusia secara cepat. Dari semua analisa tersebut, kita akan menjadi saksi sejarah pada tahun ini apakah variabel ekonomi atau politik yang lebih mendominasi kebijakan ekonomi The Fed tersebut.          Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H