Mohon tunggu...
adi
adi Mohon Tunggu... -

pemerhati

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Saatnya Import Substitution Strategy untuk Timnas Senior Indonesia

27 November 2014   10:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:43 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dalam ilmu ekonomi ada istilah import substitution policy. Istilah ini merujuk kepada sebuah konsep kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk mengganti produk-produk luar negeri yang biasa diimpor dengan produk dari dalam negeri agar industri dalam negeri dapat tumbuh dan bersaing dengan produk-produk dari luar negeri. Banyak negara menerapkan kebijakan ini di dekade 70-an untuk mendorong industri dalam negerinya sehingga mempercepat proses industrialisasi di negara-negara yang tergolong masih berkembang.

Agaknya kebijakan import substitution strategy ini sangat pas bagi industri sepakbola Indonesia yang masih berkembang. Kekalahan memalukan 4-0 atas Filipina menandai mendesaknya strategi tersebut untuk dijalankan. Kekalahan 4-0 atas Filipina bukanlah faktor utama betapa pentingnya kebijakan ini harus dijalankan tapi bagaimana cara timnas senior kalah itulah yang menjadi keprihatinan mendalam bagi pencinta sepakbola tanah air.

Sejak pertandingan pertama menghadapi Vietnam, gelagat tidak enak sudah diperlihatkan Riedl dengan menempatkan dua gelandang bertahan saat menghadapi Vietnam serta memaksakan Boas jadi pemain tengah yang biasanya berperan di sayap atau striker.  Tanpa memasukan Firman Utina atau  Evan Dimas sejak menit awal sebagai gelandang serang menunjukan Riedl sudah siap dengan strategi bertahan. Strategi yang sangat ironis dan melukai hati pencinta sepak bola tanah air yang ingin melihat tim kesayangannya gagah berani menguasai pertandingan.

Menghadapi Filipina di pertandingan kedua publik kembali disuguhkan dengan pola permain yang itu-itu lagi – umpan panjang langsung ke depan. Betapa bosanya publik tanah air disuguhkan dengan cara bermain timnas senior yang tak pernah berubah sejak dekade 90-an, umpan-umpan panjang langsung ke depan serta sporadisnya sistem bertahan dan menyerang timnas senior membuat seperti ada yang hilang dari cara beriman timnas senior Indonesia dibandingkan layaknya timnas sepakbola lain yang bermain secara moderen.

Bahkan dengan gamblangnya pelatih Filipina menyebut Indonesia tak ubahnya seperti timnas Laos yang tidak pernah mengerti cara mengalirkan bola dari belakang ke tengah kemudian ke depan. Seperti ada suatu kata kunci yang hilang dari timnas Indonesia, mereka lupa bahwa tim sepak bola layaknya sebuah organisasi bisnis di mana setiap individu memiliki tugas dan peran masing-masing. Setiap individu harus saling tolong-menolong agar sebuah organisasi bisnis tetap utuh menghadapi berbagai tekanan persaingan yang ketat bukan saling menunggu dan hanya melihat ketika satu divisi tak bekerja sesuai target.  Riedl sesungguhnya pernah menunjuakn bahwa timnas pernah menjadi satu kesatuan yang harmonis empat tahun lalu di mana Ahmad Bustomi dan Firman Utina adalah CEO dan CFO nya.

Kita menyaksikan empat tahun lalu bagaimana seorang Bustomi dengan sigap mundur jauh kebelakang membantu teman-temanya ketika tekanan datang kepada back-back Indonesia. ketika Bustomi juga terlihat kesulitan Firman Utina dengan sigap mendekat dan membuka ruang bagi Bustomi sehinga bola begitu mengalir dari tiap lini lapangan. Tapi itu dulu, empat tahun lalu. Keputusan aneh yang diambil Riedl dengan mencoret Bustomi dan tidak memasukan Evan Dimas bersama firman Utina pada saat bersamaan mengubah cara bermain sepak bola kembali ke jaman purba.

Secercah harapan untuk melihat Indahnya sepak bola dimainkan kembali bersemi. Indra syafri sosok luar biasa yang berhasil membawa timnas Indonesia juara Piala AFF U-19 tidak hanya membuat publik sepakbola bersorak gembira tetapi juga tersipu-sipu melihat sepak bola pepepa (tiki-taka ala Indonesia) di mainkan di bumi pertiwi dengan 100 % produk lokal tanpa naturalisasi. Tapi lagi-lagi budaya serba instant yang sepertinya mendarah daging di tubuh PSSI membuat Indra syafri harus kehilangan jabatanya sebagai pelatih hanya karena sekedar gagal lolos dari fase grup Piala Asia U-19. Bukan membela Indra Syafri, tapi bisa mengimbangi peermainan Uzbekistan dan Australia di fase grup yang levelnya jauh di atas Indonesia seharunya dilihat sebagai prestasi tersendiri.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Indra syafri resmi tak lagi menjadi pelatih timnas Indonesia dan tak ada jaminan apakah ada lagi Indra syafri lain yang dapat menyulap sepak bola kuno Indonesia menjadi tiki-taka kembali. Inilah momentum yang tepat bagi PSSI untuk menebus semua kegagalannya dan mengubah budaya serba instant dengan menerapkan import substitution strategy mengganti produk asing dengan produk lokal yang terbukti mumpuni. Terlepas dari apapun hasil yang didapat Indonesia saat menghadapi Laos, publik sepertinya sudah bosan dengan cara bermain Riedl. Agaknya suduah cukup pantas bagi Indra Syafri menggantikan Riedl menempati posisi terhormat sebagai pelatih timnas senior. Tanpa pemain naturalisasi saja pepepa berhasil mengguncang Asia Tenggara apalagi dengan naturalisasi ?!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun