Masalah Kebangsaan
Oleh Ahmad Maskur
*Tulisan ini telah dimuat di harian umum Suara Karya Senin, 17 Desember 2012
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari berbagai ragam suku, agama, budaya, etnis yang tersebar di berbagai pulau. Ini merupakan sebuah kekayaan yang patut menjadi kebanggaan besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, kebanggaan ini menjadi tidak bermakna ketika kebhinekaan yang ada tidak menjadi bagian dari diri setiap anak bangsa dan akan memunculkan sifat sekretarian, yang akan menggerus rasa nasionalisme. Ini masalah kebangsaan yang senantiasa muncul di tengah masyarakat.
Kesadaran yang utuh akan kebhinekaan yang termanifesatsikan dalam tindakan nyata keseharian adalah kerangka dasar yang akan menggerakkan sifat nasionalisme yang tinggi. Sehingga kebhinekaan yang ada dapat terajut nilai-nilai kebersamaan di tengah ketunggalikaan yang berlandaskan moral Pancasila.
Kita tentu sangat prihatin dengan beragam konflik yang terjadi belakangan ini, seperti konflik yang terjadi antar suku di Papua, kekerasan yang berlatar belakang agama di Sampang, konflik terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Mesuji dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang pada dasarnya disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa merajut persatuan dalam keragaman bangsa Indonesia. Kita kurang menyadari bahwa negara ini terbentuk dari beragam perbedaan yang tidak akan bisa berjaya tanpa semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang dilandasi perbedaan itu. Oleh karena itu, persatuan dan kesatuan bangsa merupakan refleksi dari perbedaan itu dan menjadi harga mati yang harus dicapai demi terciptanya kesejahteraan bangsa Indonesia.
Secara nyata kita harus menyadari bahwa kebhineka-an merupakan hukum alam yang tidak bisa dipungkiri. Ibarat dua sisi mata pisau, kebhinnekaan pada satu sisi menjadi sebuah potensi yang dapat memberikan nilai lebih. Keragaman yang ada jika diolah dengan baik akan menciptakan kehidupan indah yang penuh dengan warna dalam satu kesamaan, di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan asas Pancasila. Namun, pada sisi lain kebhinekaan tersebut jika tidak dapat dikelola dengan baik juga berpotensi mengancam keutuhan bangsa besar yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil di khatulistiwa ini.
Kiranya statemen ini terkesan klasik, namun nyatanya hal ini masih belum bisa diimplementasikan dengan baik sehingga terus menjadi gurita da-lam persoalan kebangsaan kita. Minimnya teladan yang baik (uswah hasanah) dari para elite negara terkait persatuan dan kesatuan juga menjadi hal yang patut dipertanyakan. Dalam situasi yang kian mencekam, di parlemen para wakil rakyat justru sibuk beradu pendapat dan kepentingan, sedangkan kesejahteraan rakyat terabaikan.
Begitu pula, sebagai pemimpin yang baik, mestinya pemerintah dan lembaga tinggi negara yang lain memberikan uswah hasanah. Tidak malah larut dalam konflik yang hanya bertujuan menguntungkan pribadi dan kelompoknya. Oleh karena itu, tidak usah heran ketika beragam konflik dari berbagai macam latar belakang sering terjadi dan mudah disaksikan di layar televisi, sebab pemerintah sendiri belum becus mengurus dirinya sendiri.
Kiranya, pendidikan menjadi satu-satunya tumpuan harapan ditengah karut marutnya persatuan dan kesatuan bangsa. Karena di dunia pendidikan inilah pola pikir dan karakter anak bangsa diasah dan dibangun. Pendidikan harus mampu menciptakan kader pemimpin bangsa yang berjiwa Pancasila. Karena pada dasarnya setiap persoalan bangsa sudah diatur dalam Pancasila. Mengingat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya oleh founding fathers digali dari falsafah bangsa Indonesia sendiri. Sehingga melalui Pancasila dengan bahasa yang luwes dan bernilai universal seluruh kepentingan rakyat dari latar belekang yang berbeda-beda mampu diakomodasi tanpa ada suatu diskriminasi antara yang satu dengan yang lainnya.
Misalnya, ketika kita berbicara masalah ketuhanan maka yang harus menjadi rujukan adalah sila yang pertama yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa. Nilai-nilai kemanusian sudah terwadahi dalam sila yang kedua yakni sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pecahnya persatuan bangsa sangatlah bertentangan dengan sila yang ketiga yaitu sila Persatuan Indonesia. Bagaimana menyelenggarakan pemerintahan yang benar sudah terjawab oleh sila keempat yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pada akhirnya dengan menerapkan empat sila di atas akan tercipta keadilan bagi seluruh bangsa tanpa ada diskriminasi apapun, sesuai amanah sila kelima yaitu Keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.
Oleh karena itu, agaknya dibutuhkan penanaman karakter Pancasila sejak dini. Hal tersebut membutuhkan peran pendidikan. Yaitu pendidikan karakter berbasis Pancasila yang menanamkan nilai-nilai Pancasila sejak masa kanak-kanak. Pendidikan yang tidak hanya mengedepankan aspek kognitif namun juga mengutamakan aspek afektif dan psikomotorik. Jika perlu sejak di play group anak-anak bangsa harus sudah diperkenalkan dengan Pancasila. Instruktur pengajarnya harus memberikan contoh sikap yang mencerminkan moral Pancasila.
Dengan demikian, anak-anak bangsa sudah terbiasa dengan nilai-nilai Pancasila yang menekankan persatuan dan kesatuan meski kita hidup dalam kebhinekaan. Prinsip saling menghargai dan menghormati serta sikap toleransi dalam perbedaan menjadi darah pemuda bangsa.
Sehingga, misalnya sikap sektarianisme yang ada di sebagian anak bangsa menjadi semakin pudar seiring dengan perjalanan waktu. Melalui jalan ini, masalah kebangsaan teratasi dan persatuan serta kesatuan dalam kebhinekaan Indonesiapun akan tercapai. Sehingga akan tercipta kehidupan bangsa Indonesia yang damai, sejahtera dan bermartabat di mata dunia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H