Mohon tunggu...
Ahmad Mamun
Ahmad Mamun Mohon Tunggu... Guru - Pejuang

Aku ingin seperti mereka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Monumen Sementara

26 April 2020   03:30 Diperbarui: 26 April 2020   04:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Sementara (dok. pribadi)

"Akhir akhir ini aku suka sekali melukis, lalu kuceritakan lukisanku pada benda-benda mati yang sering dihidupkan oleh sastrawan, saling berbagi dan bertukar pengalaman, seolah olah hanya mereka yang tak lekang social distancing abad ini,  bahkan mereka pernah cerita perpisahannya dengan langit, dan mereka bilang itu sesuatu yang dirindukan (monumen)"

Sangat merinding ketika aku mendengar tangis dan jeritan mereka tiap kali organ-organnya di cabik-cabik oleh penyakit hati makhluk bernama manusia itu. Meski jelek, tapi tak pantas kita menjelekkan hidupnya, Harus diakui mereka adalah bagian dari tujuan hidup kita, aku, kamu dan kalian semua. Kali ini mereka lagi tengkurep sambil menyimak ceritaku....

Dengarkan...
Sejak bangsa virus resah dan kebingungan mencari arah, mereka terbiasa keluar rumah untuk mencari nafkah, meski yang mereka temui adalah masalah, tapi tak mengurangi rasa semangatnya untuk menjarah. Sebetulnya mereka punya arah, tapi tergoda oleh adiknya yang bergairah, sehingga lupa arah dan menjadi gila darah. Selain lupa arah, mereka juga lupa hutang-hutang keluarganya dirumah. Aku percaya di tengah kesengsaraanku ini,ada yang berasa di taman surga. Taman surga-taman surga-an, atau momen sementara.

Aku berasa kehilangan banyak momen beberapa pekan ini, momen yang aku bangun melalui rapat-rapat formal terpaksa menjadi bahan ramalan, pakek asas prasangka tak terduga. bahkan momen yang aku bangun lewat mimpi harus aku ikhlaskan demi bangunan bangsa virus itu. 

Mereka mencoba negosiasi pakek politik transaksional tapi tak rasional, tukar momen tanpa tawaran yang menjamin pada bangsa kami, bahasa dan geraknya misterius sehingga menguras tenaga kami untuk sekedar mengerti tawarannya. Sampai ratusan nyawa dibuat pesawat-pesawat-an sama mereka. mereka bilang hanya sementara tapi tak tertera sampai-sampai kami buta aksara hingga membangun kemandirian dengan sangat terpaksa.

Aku rindu bercengkrama dengan sebangsaku, membahas agenda rutinan yang diakhiri dengan foto bersama. Belajar melukai dan mengobati antar sesama supaya terkesan lebih berirama, kalau perlu makan bersama diluar asrama, sambil bercerita tentang pengalaman asmara. Sungguh menakjubkan momen itu. Tak terbayang apabila mereka bisa meredakan hasrat sebagngsaku. Sesuatu yang bersejarah dan sangat dirindukan, sebut saja monumen.

Aku dan sebangsaku juga rindu main perkosa-perkosaan, perkosa aturan, perkosa prinsip dan perkosaan yang lain. Tapi kita ikhlaskan dengan momen kita. Disitu kita saling bermaaf-maafan tanpa main kalkulasi kesalahan. Spesial gitu.

Kini, tanpa terasa semua menjadi monumen, sebetulnya pesan mereka saat merenggut momen kami terlalu politis, mereka cuma bilang gabut dan sering batuk ketika di rumahnya, dan memilih keluar untuk beli minum, loh kok ternyata yang bikin mereka gabut adalah sebangsa kami. Entah marah atau senang aku juga kurang paham, sampai se misterius ini. Tapi pesan terakhirnya mereka bilang sebentar, jadi monumen itu cuma sementara, bak orang minum karena dahaga, lepas itu balik atau lanjut perjalanan.

Lihat saja ketika mereka kembali ke keluarganya, mereka bilang sudah puas, padahal kami bukan alat pemuas. Mereka bilang sudah bosan dengan cara bermainnya, padahal kami bukan alat mainan. Mereka akan menjadi monumen, bersejarah tapi tak dirindukan, siapa yang rindu kehilangan momen.

Diajak Negosiasi tidak becus, sukanya berafiliasi, agar dianggap punya resistensi. Kalau masih lama-lama dengan momen mereka, aku dan sebangsaku tidak mau nganter pulang nanti. Biarkan mereka terlantar dan mati-mati di pinggir kali, supaya bisa berasa bagaimana hidup tanpa momen yang berarti.

Saat ini tabungan rindu sebangsaku semakin banyak, apalagi ketika teringat peristiwa lomba ego egoan, waktu itu pas acara..
.....Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun