Tapi obrolan singkat dengan Tuan penambal ban itu seperti menyiapkan mental dan menyiagakan kognisi saya untuk mengakui kompleksitas hidup dan mengakuisisi majemuknya kenyataan. Hal-hal ini kadang memang membuat kita tak menemukan pilihan dan jawaban. Namun menggugatnya sama saja mengutuk cermin di hadapan.
Gus Dur memang membuat saya yakin perbedaan itu penting diperjuangkan. Ia sering menunjukan sikap pembelaan yang radikal. Saya mengagumi itu dengan sungguh-sungguh. Tapi kecintaan saya akan hal-hal seperti itu hadir setelah sugesti Tuan penambal ban bersarang di kepala saya. Jika tidak, mungkin saya tetap geming dari sikap curiga terhadap muslim yang suka nongkrong bareng dengan pemeluk agama lain.
Saat ini, waktu mengingat lagi Tuan penambal ban, saya yakin ia lebih pintar, paling tidak dari saya dan beberapa teman saya. Kami belum bisa membuat orang seperti saya yang kala itu remaja SMA katrok, karena jarang membaca dan berdiskusi, memahami dan menghayati persoalan rumit seperti ini.
Kita, kaum muslim, boleh mengklaim tiap tempat suci sebagai masjid. Di mana kita hendak sembahyang, bahkan di gereja, tak bakal ada yang mengutuk. Tapi kita masih juga tak puas dan sibuk bergerombol demi mengutuki dan memaksa tempat ibadah bukan Islam mesti dilengkapi surat izin, padahal kita kerap mengendarai motor tanpa surat izin. Berapa kali kita harus menjadi teroris agar yakin bahwa hal-hal begini hanya menuju pada kesia-siaan?
Mengingat itu saya sungguh beruntung sempat bertemu Tuan penambal ban. Misalnya mereka, gerombolan pengutuk itu, sempat menemuimu, Tuan…
(dipublikasi juga di sini)