Hampir tiap pagi, enam hari dalam seminggu aku memecah dingin. Berpacu dengan waktu sambil bercengkrama dengan Si Jagur: motor tua keluaran tahun 2000-an silam. Jaket sedikit usang jadi sahabat sejati, karena hanya itu pahlawanku dari gerogotan dinginnya hawa pagi. Si Jagur dan jaket yang aku kenakan, jadi penawar mimpi-mimpi aneh yang kerap hinggap. Ah, aku gak terlalu persoalkan cibiran orang: soal gayaku yang norak ini. Soal motorku yang murahan. Yang ada di benakku, hanya sampai tepat waktu.
Dalam perjalanan inilah, pandanganku kerap kali terganggu. Hampir tiap sepuluh meter, photo besar dengan beragam ekspresi, berjejer sepanjang jalan. Bagai rentetan baliho tujuh belasan. Semua menjajakan ungkapan menarik dan menjanjikan, lengkap dengan sunggingan senyum agak menyakitkan. Aih, aku lupa. Konon, mereka itulah harapan kita. Di atas pundak merekalah, nasib kita digantungkan. Dalam saku saparinya, harapan kita dititipkan. Percaya atau tidak, begitulah adanya.
Aku sempat berpikir, benarkah janji kemerdekaan itu akan mereka wujudkan?
Pikiranku sejenak menerawang jauh. Mencoba memutar rekaman ceramah orang-orang pintar. Membuka halaman-halaman buku yang pernah aku baca. Sontak aku ingat sesuatu, tentang kondisi nyata negeri ini. Dengan sistem presidensial-multipartai yang dianut, Scott Mainwaring(1993) sempat berpesan, bahwa hal ini akan berimplikasi pada beberapa hal. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen mengakibatkan deadlock. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik antara kedua lembaga.
Kedua, dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensial ketimbang parlementer.
Halah aku tidak terlalu paham analisa itu. Tapi setidaknya, aku sering menonton di TV, bahwa yang mulia Pak Presiden kerap dibuat bingung dalam mengambil kebijakan. Rayuan serta ancaman aneka partai, tidak jarang menjadi hambatan.
Oh ya, aku sempat membaca celotehan seorang pengamat, bahwa hal itu pula yang telah membuka peluang perselingkuhan, baik di kalangan elit maupun akar rumput. Seringkali perselingkuhan ini dibangun di atas landasan pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik negatif. Hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi material, bukan pertukaran gagasan. Hubungan antarelit politik juga didominasi nafsu purba: “who gets what, when, and how.”
Aduuh, aku makin pusing. Lagian, ngapain mikir hal-hal demikian. Tugasku sederhana: kerja banting tulang untuk sesuap nasi, lima tahun sekali menjatuhkan pilihan, lalu manggut setia. Persoalanku juga sederhana, hanya seputar naiknya harga bensin Si Jagur, harga makanan kantin yang terus meningkat. Atau kelimpungan tidak bisa makan jengkol, tahu dan tempe yang sudah puluhan tahun dinikmati.
Agaknya benar, perselingkuhan itu berbahaya. Setidaknya, ia telah berdampak langsung pada Si Jagur: bensinnya terus melambung. Lalu, Si Jagur berkomentar, “Kecil harapan kita pada orang-orang dalam photo itu. Karena pada akhirnya, orang-orang berduitteballah yang akan bersinggasana. Persetan apakah ia berprestasi atau tidak.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H