sini.
Tulisan ini berangkat dari pikiranku yang tergelitik mengenai suatu perdebatan di kanal YouTube Kompas TV mengenai 'Silent Majority'. Untuk video lengkapnya, bisa ditonton diDalam diskusi ini, dihadirkan M. Qodari - Direktur Eksekutif Indo Barometer, Siti Zuhro – Peneliti Utama Politik BRIN, Rocky Gerung – Pengamat Politik, Alissa Wahid – Tokoh Gerakan Nurani Bangsa, dan Eep Saefulloh Fatah – CEO PolMark Indonesia.
Singkat cerita, perdebatan mengenai definisi silent majority ini mencuat begitu M. Qodari  mengatakan bahwa pendukung Prabowo-Gibran adalah rakyat silent majority, yang selama ini diam dan belum mengekspresikan pandangan mereka bahwa selama ini mereka mendapatkan act of terror dari pendukung pasangan capres-cawapres lain. Ia mencontohkan bahwa salah satu tindakan teror yang dilakukan oleh pendukung 01 dan 03 adalah mereka yang mengatakan bahwa mendukung pasangan 02 adalah tindakan tidak bermoral, tidak bisa dibenarkan, dan membuat pendukung 02 malas untuk menjelaskan.
Definisi silent majority ini kemudian dipertanyakan oleh Rossi, selaku pembawa acara. Rossi berpendapat bahwa definisi silent majority yang digunakan oleh M. Qodari merupakan definisi yang salah. Rossi menjelaskan bahwa silent majority adalah suara-suara dari mereka yang takut dengan kekuasaan. Ia pun menambahkan argumen untuk menyanggah definisi M. Qodari, bahwa jika suara mereka sejalan dengan Pemerintah, sejalan dengan kekuasaan, kenapa harus takut?
M. Qodari pun mendeskripsikan lebih detail bahwa silent majority tersebut kebanyakan berasal pendidikan rendah yang takut akan suara-suara intelektual semacam guru besar atau Rocky Gerung. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa teror saat ini justru datang dari sesama warganet.
Kemudian Rocky Gerung pun menanggapi dengan mengatakan bahwa definisi yang mereka pakai (Rossi dan Rocky) adalah masyarakat yang diam tapi menghanyutkan. Sedangkan definisi yang dipakai M. Qodari adalah masyarakat yang diam tapi dihanyutkan oleh berbagai kecurangan seperti bansos menjelang pemilu dan propaganda satu putaran. Sedangkan bagi Eep, silent majority adalah bentuk perjuangan untuk melawan orang yang tidak menyenangkan dan sedang berkuasa.Â
Sampai titik ini, baik Rossi, Rocky, dan Eep mendefinisikan silent majority berhubungan dengan ‘perlawanan’ terhadap penguasa. Sehingga definisi M. Qadari tidaklah tepat.
Istilah silent majority sendiri dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. Kala itu ia meminta dukungan kepada silent majority dari masyarakat Amerika, yakni mereka yang tidak mendukung demonstrasi anti perang Vietnam atau bergabung dengan gerakan counterculture.Â
"And so tonight—to you, the great silent majority of my fellow Americans—I ask for your support."
Nixon saat itu jelas-jelas merujuk kepada publik yang tidak vokal menyuarakan pendapat mereka karena tertutupi suara minoritas yang vokal di media.
Istilah silent majority sendiri pada awalnya berasal dari seorang penulis Romawi, Petronius, yang menggunakan istilah ini untuk merujuk kepada ‘mereka yang telah mati’; karena jumah orang mati lebih banyak daripada yang hidup.
Berbagai tokoh yang menggunakan istilah ini selalu menghubungkannya dengan kevokalan di mana silent majority ini adalah lawan dari mereka yang vokal menyuarakan aspirasi. Di kasus Pemilu 2024 ini, nampaknya apa yang dikatakan oleh M. Qodari lebih mendekati definisi dan pemakaian awal dari istilah silent majority ini.Â
Dalam negara demokrasi, kekuasaan terbagi-bagi dalam berbagai lembaga. Bahkan, ketua-ketua umum partai itu juga merupakan ‘penguasa’ . Dan seperti yang kita tahu, ketiga capres tersebut merupakan calon yang diajukan koalisi-koalisi partai sehingga mereka semua adalah bagian dari ‘penguasa’. Dengan demikian definisi silent majority untuk melawan penguasa tidaklah pas karena semua orang memilih kandidat-kandidat yang lahir dari penguasa. Setidaknya untuk kasus ini.
Selain itu, di negara demokrasi, media juga bisa jauh lebih berkuasa daripada pemerintahan. Mereka bisa membentuk dan menggiring narasi dengan berbagai berita yang bias dan tak berimbang. Berapa banyak politisi yang lahir dari rahim media? Bahkan sekelas Jokowi pun merupakan anak dari media karena medialah yang mempopulerkan Jokowi pada saat itu. Maka wajar jika media juga bagian dari apa yang disebut ‘penguasa’, karena mereka menguasai narasi dan bahkan mereka juga bisa berasal dari bos-bos besar yang tak jarang juga bagian dari jaringan politisi.
Jadi, menurutku, kita harus mengembalikan definisi silent majority sebagai mereka yang memang tidak vokal menyuarakan pendapat mereka. Sedangkan untuk alasan, apakah karena takut, malas, atau apakah karena dihanyutkan, itu merupakan persoalan lain. Kelompok minoritas, mereka bisa jauh lebih vokal menyuarakan opini mereka.
Dalam kasus Pemilu 2024, jelas sekali bahwa kasusnya bukanlah karena dihanyutkan. Berapa banyak bantuan sosial yang diberikan? Itu tidak cukup untuk membuat selisih 02 sebanyak ini terhadap 01, apalagi 03.Â
Menurutku, silent majority di Pemilu 2024 adalah mereka yang tidak menyuarakan aspirasi  secara vokal di media atau internet karena memang malas menghadapi buzzer-buzzer elitis dari pasangan lain serta lelah dengan narasi media yang tidak berimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H