Mohon tunggu...
Ahmad Khoirul Aziz
Ahmad Khoirul Aziz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Aku bekerja di bidang penulisan. Aku tertarik dengan filsafat, sastra, dan ilmu bahasa. Namun di sini, aku akan berfokus untuk menulis topik-topik terkait politik dan kehidupan bernegara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Silent Majority: Ditindas Penguasa atau Media?

18 Februari 2024   01:00 Diperbarui: 18 Februari 2024   01:03 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat dengan Bing

Berbagai tokoh yang menggunakan istilah ini selalu menghubungkannya dengan kevokalan di mana silent majority ini adalah lawan dari mereka yang vokal menyuarakan aspirasi. Di kasus Pemilu 2024 ini, nampaknya apa yang dikatakan oleh M. Qodari lebih mendekati definisi dan pemakaian awal dari istilah silent majority ini. 

Dalam negara demokrasi, kekuasaan terbagi-bagi dalam berbagai lembaga. Bahkan, ketua-ketua umum partai itu juga merupakan ‘penguasa’ . Dan seperti yang kita tahu, ketiga capres tersebut merupakan calon yang diajukan koalisi-koalisi partai sehingga mereka semua adalah bagian dari ‘penguasa’. Dengan demikian definisi silent majority untuk melawan penguasa tidaklah pas karena semua orang memilih kandidat-kandidat yang lahir dari penguasa. Setidaknya untuk kasus ini.

Selain itu, di negara demokrasi, media juga bisa jauh lebih berkuasa daripada pemerintahan. Mereka bisa membentuk dan menggiring narasi dengan berbagai berita yang bias dan tak berimbang. Berapa banyak politisi yang lahir dari rahim media? Bahkan sekelas Jokowi pun merupakan anak dari media karena medialah yang mempopulerkan Jokowi pada saat itu. Maka wajar jika media juga bagian dari apa yang disebut ‘penguasa’, karena mereka menguasai narasi dan bahkan mereka juga bisa berasal dari bos-bos besar yang tak jarang juga bagian dari jaringan politisi.

Jadi, menurutku, kita harus mengembalikan definisi silent majority sebagai mereka yang memang tidak vokal menyuarakan pendapat mereka. Sedangkan untuk alasan, apakah karena takut, malas, atau apakah karena dihanyutkan, itu merupakan persoalan lain. Kelompok minoritas, mereka bisa jauh lebih vokal menyuarakan opini mereka.

Dalam kasus Pemilu 2024, jelas sekali bahwa kasusnya bukanlah karena dihanyutkan. Berapa banyak bantuan sosial yang diberikan? Itu tidak cukup untuk membuat selisih 02 sebanyak ini terhadap 01, apalagi 03. 

Menurutku, silent majority di Pemilu 2024 adalah mereka yang tidak menyuarakan aspirasi  secara vokal di media atau internet karena memang malas menghadapi buzzer-buzzer elitis dari pasangan lain serta lelah dengan narasi media yang tidak berimbang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun