Dalam waktu yang tidak lama lagi kita akan masuk kembali dalam tahun politik. Jika sebelumnya kita baru saja menyelesaikan lima jenis pemilu (pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten serta Presiden dan Wakil Presiden) tahun depan kita akan dihadapkan dengan pilkada serentak. Sebanyak 270 daerah akan melaksanakan pilkada. Dari 270 tersebut, 9 diantaranya merupakan provinsi, 224 kabupaten serta 37 kota.
Penyelenggaraan pilkada yang semakin dekat dimanfaatkan oleh para bakal calon kepala daerah untuk aktif menyosialisasi dirinya. Mulai dari spanduk, baliho, media massa sampai media sosial tak luput dari media sosialisasi bakal calon.
Yang tak kalah menjadi perhatian adalah gencarnya sosialisasi yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap bakal calon dari petahana. Dimedia sosial kita akan melihat banyak sekali ASN yang secara masif condong mempromosikan bakal calon kepala daerah petahana yang notabene merupakan pimpinan mereka. Ada yang melakukannya secara terselubung ada pula yang secara terang-terangan.
Sosialisasi secara terang-terangan dilakukan dengan beberapa cara. Diantaranya adalah dengan membuat pernyataan dalam status facebook atau instagram dan media sosial lainnya. Ada lagi yang melakukannya dengan cara mengunggah foto diri yang sedang menunjukkan simbol-simbol yang identik dengan bakal calon tertentu dan lain-lain.
Hal ini sudah diamati oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hasil kajian Bawaslu hampir 70 % ASN melakukan pelanggaran yang berlatar belakang keterpaksaan, 20 % karena niat pribadi serta 10 % karena peruntungan. Bahkan Bawaslu sudah mengirim imbauan kepada ASN melalui Kepala Daerah dan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya (BKPSDM) di setiap instansi pemerintah daerah tentang kewajiban menjaga netralitas ASN dalam rangka pilkada serentak mendatang.
Mayoritas ASN yang ikut menyosialisasikan bakal calon petahana beralasan hal tersebut dilakukan diluar masa kampanye dan belum adanya calon kepala daerah (cakada) yang ditetapkan oleh KPU. Status bakal calon yang masih menggantung ini dijadikan dalih pembenaran oleh para ASN.
Fenomena ini terjadi akibat kurangnya pemahaman ASN tentang hubungan antara birokrasi dan politik. Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan hubungan birokrasi dan politik yang disalahgunakan oleh politisi. Terlebih lagi politisi yang menjadi kepala daerah.
Kepala daerah, selain mejadi pejabat Negara ia juga adalah pejabat pembina kepegawaian. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Yang artinya kepala daerah berhak mengangkat, memindahkan dan memberhentikan dari jabatan sebagai pejabat eselon dilingkungannya.
Dengan wewenang tersebut, ASN yang memiliki jabatan atau bahkan tidak memiliki jabatan menjadi tersandera. Dengan dasar itu kepala daerah menekan pegawainya. Kalaupun tidak ditekan, pegawai ASN akan tertekan dengan sendirinya. Karena takut jika salah bersikap akan berimbas pada jabatan yang didudukinya. Atau bagi staf yang tidak memiliki jabatan akan takut dimutasi ke daerah pelosok.
Hal ini membuat ASN lebih memilih bersikap logis dan realistis. Dengan memilih untuk lebih mendekatkan diri kepada bakal calon petahana dengan cara menunjukkan gestur keberpihakan. Karena jika hal itu tidak dilakukan, kedudukan dan jabatan bisa menjadi taruhannya.
Sebenarnya sudah sejak lama ASN atau yang dulu disebut PNS menjadi komoditas dalam meraup suara. Pada masa orde baru ASN dijadikan alat untuk memenangkan partai tertentu atau golongan tertentu.