Sekarang, jika mengetahui atau menyaksikan jalannya pemungutan dan penghitungan suara di TPS merupakan hak dari masyarakat, kenapa Hendardi minta kegiatan Tamasya Al Maidah dilarang? Adakah sesuatu yang membenarkan bentuk penghilangan hak orang lain? Adakah sesuatu yang membenarkan bentuk perlakuan tidak sama di muka hukum? Begitu tegakah ia hingga meminta Polri dan Bawaslu melanggar aturan perundang-undangan?
Setelah dicari-cari cukup lama, ternyata hanya satu alasan kenapa Hendardi minta Polri dan Bawaslu melarang kegiatan tersebut. Ini semua terkait tuduhannya bahwa Tamasya Al Maidah adalah teror dan intimidasi politik yang pasti memengaruhi pilihan warga. Ingat, ini hanya tuduhan! Tapi atas tuduhan itu ia kemudian membangun argumennya.
Mungkin dalam bayangan Hendardi, Tamasya Al Maidah adalah kegiatan sekelompok manusia berjubah, bersorban, berjenggot, lengkap dengan senjata pedang di tangannya. Mereka datang ke TPS DKI (tiap TPS 100 pasukan) menakut-nakuti tiap orang yang ingin memberikan hak suaranya. TPS pun mencekam, menakutkan penuh dengan teror.
Padahal berkali-kali sudah diwarta-beritakan: kegiatan Tamasya Almaidah jauh dari teror dan intimidasi. Justru, kehadiran mereka untuk menyaksikan sekaligus menjaga dengan senang hati di bawah semangat persatuan dan kesatuan agar pilkada berjalan damai, jurdil, demokratis dan berintegritas. Walaupun seandainya yang menang nanti adalah gubernur non-Muslim, mereka akan terima jika semua proses dilakukan dengan fair dan demokratis.
Apakah pernyataan sikap yang terang benderang demikian dianggap main-main dan bukan jaminan? Silakan Bung Hendardi bandingkan sendiri dengan pernyataan Iwan Bopeng yang mengamuk di TPS sampai ingin potong-potong TNI dan jadi viral di media sosial. Mana yang lebih mengancam hak pemilih dan berpotensi menggagalkan Pilkada, Bung? Hal seperti itukah yang anda inginkan terjadi pada saudara-saudaramu yang Muslim, Bung?
Kelompok Curang
Kedua, sikap dan argumen Rustam Ade yang mengaku Ketua Pemuda Islam Kebangsaan. Ia melaporkan Ketua Panitia Tamasya Al-Maidah ustaz Ansufri ID Sambo ke Bawaslu DKI. Argumen yang dia ajukan tidak begitu jelas. Ia hanya ingin penyelenggara Pilkada memastikan Pilkada berlangsung jurdil, luber dan setiap warga DKI bebas menggunakan hak pilihnya dengan aman.
Rustam sama dengan kelompok yang menolak kegiatan itu: membangun argumen di atas  khayalan sendiri seolah-olah Umat Islam itu teroris, fundamentalis, suka kekerasan, perusak NKRI dan keberagaman.  Padahal sudah dibuktikan, umat Islam selama ini tidak pernah menebar teror. Massa umat Islam paling tertib dan teratur sebagaimana ditunjukkan dalam aksi-aksi sebelumnya. Justru, provokasi dan teror datang dari Cagub Non-Muslim dengan video kampanye yang sangat menakutkan.
Kuat dugaan,mereka yang menolak Tamasya Al Maidah adalah kelompok yang ingin berbuat curang karena panik dengan konstalasi politik mutakhir. Pasalnya, hasil potret sejumlah lembaga survei terkait peta kekuatan/dukungan terhadap kandidat sudah terpampang nyata siapa yang bakal menangi Pilkada.
Kelompok ini sedang melakukan segala cara mengejar ketertinggalan dukungan untuk menang. Salah satunya: mengintruksikan seluruh kader daerah ke JKT untuk memenangkan jagoannya, membuat video agitasi & propaganda untuk membangun image Umat Muslim brutal dan anti-kebhinnekaan, melancarkan money politik dengan bagi-bagi sembako, termasuk peluang berbuat curang pada hari pelaksanaan pemungutan dan pengitungan suara 19 April nanti.
Yang mereka kehendaki, sebisa mungkin pada hari pelaksanaan aksi mereka bebas dari pengawasan, kecuali oleh pihak/elemen yang sudah dikondisikan. Apa iya semua elemen sudah dikondisikan? Di sini tidak boleh dan tidak perlu berprasangka buruk. Yang jelas salah satu kaidah pokok Pilkada ialah: jangan pernah percaya sama siapa pun kecuali pada pengamatan/kesaksian sendiri. Ini rumus yang tak bisa ditawar.Orang yang sudah jungkir balik pengalaman di Pemilu/Pilkada pasti paham soal ini.